Dalam suatu diskusi publik, ada seorang peserta yang bertanya begini, “Haruskah seorang Muslim itu dakwah kepada orang lain? Tidakkah cukup seorang itu memperbaiki diri sendiri dan komitmen dengan ketaatannya kepada Allah saja?”
Sekilas pertanyaan tersebut amat terlihat logis. Bahwa, dengan berusaha memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas ketakwaannya sendiri, sudah lebih dari cukup. Orang tersebut bisa juga beranggapan, mengemban tugas dakwah itu hanya dilakukan/dipasrahkan oleh orang lain yang berbakat dalam bidang dakwah.
Sesungguhnya anggapan tersebut kurang berdasar. Artinya, berdasarkan dalil-dalil syar’i dan ‘aqli, dakwah menyerukan ajaran agama Allah itu wajib bagi setiap Muslim tanpa terkecuali. Namun, sekali lagi, tidak sedikit umat Islam yang mengabaikan tugas dakwah.
Alasan orang enggan mengemban tugas mulia ini adalah antara lain tidak memiliki ilmu yang cukup. Memang, seorang dai haruslah memiliki bekal ilmu dan kemampuan dakwah yang mumpuni. Yang demikian ini adalah sebuah keniscayaan bagi seorang dai.
Meskipun demikian, tidak lantas menjadikan kita berlepas dari kewajiban dakwah. Banyak dari kita merasa minder, tidak pantas melakukan aktivitas dakwah. Kecuali, setelah kita mengetahui dan menguasai semua hukum, kandungan Alquran dan hadis.
Berkaitan dengan hal di atas, Abdullah bin Abdul Aziz al-Aidan dalam Laka Risalah (2002), memberikan argumentasi yang cukup menarik. Anggapan mengenai seorang dai harus menguasai semua hukum merupakan suatu cara berpikir yang keliru. Karena permasalahan agama dan hukumnya itu sangat luas dan kompleks, sehingga tak mungkin seorang Muslim menguasai semuanya.
Berkaitan dengan anggapan di atas pula, baiknya kita renungkan sabda Rasulullah SAW., “Sebarkanlah ilmu yang aku sampaikan, sekalipun hanya satu ayat!”. Ini hadis yang terkenal namun tak banyak yang mengamalkannya.
Hadis ini dengan jelas memberikan tuntunan kepada kita untuk mendakwahkan agama Allah, tidak harus menguasai semua ajaran-Nya. Namun, cukup dengan menyampaikan satu ayat Alquran dan satu titik saja dari sekian banyak permalahan syariat, sudah termasuk dakwah.
Syekh Muhammad bin Utsaimin dalam Ash Shahwah al Islamiyyah Dhawabith wa Taujihat menjelaskan bahwa “Seorang dai tidak disyaratkan memiliki kapasitas ilmu yang banyak. Namun, ia disyaratkan memahami ilmu yang hendak ia sampaikan kepada umat. Tidak boleh orang yang bodoh terhadap suatu hal berani menyampaikannya kepada orang lain berdasarkan kecenderungan atau hawa nafsunya saja.”
Singkat kata, kita semua sesungguhnya bisa menjadi seorang dai. Tentu sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Misalnya, kita mengetahui hukum shalat, tata cara wudlu, prinsip-prinsip moderasi Islam dan lain sebagainya. Maka harus kita sampaikan kepada orang, terlebih kepada orang lain yang belum mengetahuinya.
Dan hal tersebut termasuk aktivitas dakwah, tanpa harus menunggu menguasai segudang ilmu. Memang, idealnya seorang dai, memiliki kapasitas ilmu yang luas dan mendalam. Namun, dalam rangka membumikan ajaran Allah yang rahmatan lil alamin, apa yang kita ketahui asalkan sumbernya dapat dipertanggungjawabkan—meskipun ilmu ini tidak seberapa, maka sampaikanlah kepada orang lain.
Alasan lain yang kerap dijadikan legitimasi seorang untuk enggan melakukan aktivitas dakwah adalah tidak memiliki kesiapan dan kemampuan. Sebagian orang menghindar dari aktivitas dakwah dengan alasan tersebut. Lagi-lagi alasan seperti ini tampaknya mengandung sebuah kebenaran. Padahal semua itu tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan kewajiban berdakwah.
Satu hal yang harus kita, bahwa dakwah itu tidak melulu harus di mimbar-mimbar masjid, panggung pengajian, dan bergelar ustadz atau kiai. Aktivitas mengajak teman sebaya, keluarga dan lingkungan untuk menjalankan nilai-nilai Islam sudah termasuk aktivitas dakwah.
Apalagi di zaman seperti saat ini, di mana telah banyak bermunculan aneka sarana yang efektif dalam menjalankan misi dakwah. Karena itu, mari sampaikan ajaran Islam dengan penuh kesantunan, perdamaian, persaudaraan dan moderat. Mungkin sebagian yang lain juga mempunyai alasan lain, yakni dakwah sudah dilaksanakan oleh lembaga-lembaga seperti, majelis taklim, yayasan, ormas dan lain sebagainya.
Mari ingat dan renungkan! Lembaga-lembaga tersebut menjalankan aktivitas dakwah sesuai dengan potensi, SDM dan kemampuan lapangan yang mereka garap. Artinya, dakwah mereka tak akan mampu menjangkau semua wilayah dan bidang. Pada posisi inilah, kita harus mengisi atau paling tidak menjadi pelengkap atau sinergis dengan lembaga-lembaga dakwah yang sudah ada.
Risalah dakwah harus kita tunaikan. Terlebih jika kita memperhatikan dengan betul dan peduli, bahwa sesungguhnya musuh-musuh Islam senantiasa merongrong kita. Mereka menghalang-halangi, bahkan mengaburkan ajaran Islam yang damai, santun dan indah menjadi ajaran yang terasa ekstrem.
Musuh-musuh tersebut tidak hanya sekedar membajak ajaran Islam, namun mereka juga membelokkan pengikut agama ini dari jalan yang lurus.
Sebagai perintah Allah dan Rasul, dakwah harus tetap kita jalankan hingga akhir hayat kita. Ibnu Qayyim menegaskan, “Tidaklah seorang itu murni sebagai pengikut Nabi Muhammad sampai ia mau mendakwahkan apa-apa yang didakwahkan oleh beliau dengan ilmu yang mendalam dan akidah yang lurus.”
Artinya, dakwah tidak boleh asal-asalan, melainkan harus berlandaskan ajaran Alquran dan hadis serta akidah yang lurus. Dakwah yang berada dalam jalur yang lurus ini disebut dakwah Islam wasathiyah. Oleh sebab itu, tak ada alasan bagi kita untuk meninggalkan tugas berdakwah Islam.
Terlebih belakangan ini muncul fenomena yang ironi. Beberapa orang menyebut dirinya ‘ustadz’, namun gemar menggunakan mimbar dakwahnya untuk memprovokasi umat, gampang mengkafirkan dan menyesatkan sesama muslim yang lain pendapat dengan kelompoknya. Cara demikian yang demikian ini bukannya menciptakan kedamaian, justru malah menyulut api pertikaian dan konflik di tengah masyarakat yang plural.
Dalam bingkai inilah, dakwah dan praktik/amaliyah Islam washatiyah menuntut untuk digelorakan. Paling tidak, kita dapat menerapkan dan meneladankan prinsip-prinsip Islam washatiyah, seperti tawassuth (mengambil jalan tengah—tidak ekstrem dan tidak pula liberal), tawazun (berkeseimbangan—dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dengan ikhtilaf (perbedaan), tasamuh (toleransi) dan musawah (egaliter).
Inilah yang tidak boleh Muslim tinggalkan. Jika dakwah Islam wasathiyah kita tinggalkan, maka yang akan berkuasa dan menjejaki ruang publik adalah mereka yang mengaku dai, namun sadar atau tidak justru gemar provokasi dan mengajak permusuhan sesama masyarakat.