Nabi Muhammad saw. dalam merumuskan dan mengenalkan Piagam Madinah, tidak bisa lepas dari kondisi sosial dan kultural masyarakat Madinah pada waktu itu. Sebagaimana kita ketahui, masyarakat Madinah merupakan masyarakat yang heterogen. Terdapat berbagai kelas sosial dan delapan di antaranya beragama Yahudi. Sedangkan penduduknya terdiri dari tiga komunitas besar, yaitu kelompok Yahudi, Arab Pagan, dan penganut Kristen.

Masyarakat Yahudi yang terkenal pada masa itu di antaranya adalah Bani Qainuqa’, Bani Nadzir, dan Bani Quraidzhah. Kabilah-kabilah inilah yang banyak menyulut peperangan antara kabilah Aus dan Khazraj dalam rentan waktu yang cukup lama, bahkan  mereka terlibat langsung dalam perang Bu’ats dengan memihak sekutu masing-masing.

Madinah dulunya adalah bernama Yatsrib, kemudian diubah oleh Nabi Muhammad saw. menjadi Madinah. Yang sangat menarik perhatian dari sudut pandang politik adalah tindakan Nabi Muhammad saw., untuk mengganti nama kota itu menjadi Madinah. Tindakan Nabi saw. tentu bukan perkara kebetulan. Pergantian nama tersebut, tekandung makna yang luas dan mendalam, terhadap pola kehidupan politik Jazirah Arab dan sekitarnya baik aspek fundamental maupun revolusioner.

Sesuai dengan perjanjian Aqabah, Nabi saw. ditugasi dan bersedia memimpin penduduk Madinah. Dengan tugas pertama yang dilakukan yaitu mempersatukan dan mendamaikan penduduk Madinah yang sebelum kedatangan Nabi saw., saling bermusuhan tanpa akhir karena perbedaan etnis dan suku, serta kepentingan ekonomi yang di dominasi oleh orang-orang Yahudi.

Nabi saw. menunjukkkan kepada khalayak, bahwa beliau milik semua orang atau kelompok, bukan hanya milik kelompok tertentu. Atau milik suku Quraisy yang beragama Islam saja, akan tetapi juga kelompok-kelompok lainnya.

Nabi Saw adalah “milik bangsa” yang harus berperilaku adil, tidak setengah-setengah dalam menegakkan keadilan untuk semua golongan, dan sosok pemimpin yang dibutuhkan pada waktu itu. Sehingga untuk menyatukan semua kelompok, tidak dapat terwujud jika tanpa sesuatu yang disepakati untuk dipatuhi bersama. Tidak mengherankan jika kemudian muncul yang namanya Piagam Madinah (Mitsaq Madinah) yang oleh para sejarawan disebut sebagai konstitusi tertulis tertua yang ada di dunia.

Piagam Madinah adalah dokumen politik penting yang dibuat oleh Nabi Muhammad saw. sebagai perjanjian antara kaum Muhajirin, Anshar, dan Yahudi, serta lain sebagainya. Dokumen itu mengandung prinsip-prinsip atau peraturan-peraturan penting yang menjamin hak-hak mereka dan menetapkan kewajiban-kewajiban mereka, sebagai pedoman kehidupan bersama dalam membangun kehidupan sosial-politik.

Dalam membuat perjanjian tersebut, Nabi saw. tidak hanya memperhatikan kemaslahatan masyarakat muslim saja, akan tetapi juga memperhatikan kemaslahatan masyarakat non muslim. Hal ini dilakukan Nabi saw. sebagai upaya memperkokoh tatanan masyarakat dan negara yang baru dibentuk. Disi lain, Nabi saw. merupakan sosok yang dapat diterima oleh berbagai golongan, sekaligus mampu mempersatukan atau menanggalkan karakter masing-masing suku, agama, ras, dan etnis di Madinah pada saat itu.

Piagam Madinah menjadi landasan dan tujuan utama untuk mempersatukan masyarakat Madinah secara integral, yang terdiri dari unsur-unsur heterogen. Nabi saw. tidak ingin menciptakan persatuan orang muslim saja secara eksklusif, terpisah dari komunitas-komunitas lain dari wilayah itu.

Oleh karenanya, ketetapan-ketetapan Piagam Madinah menjamin hak semua kelompok sosial dengan memperoleh persamaan dalam masalah-masalah umum, sosial, politik. Sehingga Nabi Saw diterima oleh semua pihak, termasuk kaum Yahudi. Hal ini merupakan bukti nyata akan kemampuan Nabi Saw melakukan negosiasi dan konsolidasi dengan berbagai golongan masyarakat Madinah, sejak awal pembentukan negara tersebut.

Dengan penetapan Piagam Madinah, Nabi saw. berhasil membangun sebuah masyarakat yang bersatu dari unsur-unsur heterogen, multikultur; yaitu Muslim, Yahudi, Nasrani, penganut paganisme, dan Kabilah atau suku yang ada, disamping menciptakan persaudaraan nyata di kalangan Muhajirin dan Anshar. Dalam masyarakat yang bersatu tersebut, Nabi saw. memiliki kekuasaan tertinggi untuk menyelesaikan berbagai masalah (konflik horizontal) yang timbul di kalangan mereka.

Jika dilihat dari perspektif Maqashid Syari’ah, adanya Piagam Madinah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama diantara penduduk Madinah yang dulunya sering berkonflik satu sama lain sebagaimana disinggung di atas. Munculnya Piagam Madinah tidak lain juga bagian dari upaya Dar’ul Mafasid Wa Jalbul Masholih, yaitu mencegah kerusakan yang diakibatkan konflik berkepanjangan antar suku yang kemudian berdampak pada kehidupan social, ekonomi, politik, dengan menarik kemaslahatan bersama antar para suku sebagai bagian dalam membangun sebuah negara yang harmonis dan menjadikan Madinah pusat pemerintahan Islam.

Di sisi lain, jika dianalisis lebih jauh, poin-poin yang ada dalam Piagam Madinah, juga mengandung tujuan utama agama Islam (Maqashid Syari’ah), yaitu Dhoruriyatul Khamsah (menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, harta).

Allah swt. dalam menurunkan syariat Islam tidak lain juga bertujuan memelihara dan memberikan kemaslahatan kepada umat manusia, sekaligus untuk menghindarkan dari segala bentuk kerusakan.

Sehingga untuk mewujudkan tujuan-tujuan Islam (Maqasid Syari’ah) tersebut, terdapat lima pokok yang harus dipelihara keberadaannya, diantaranya memelihara agama (hifz al-din), memelihara jiwa (hifz al-nafs), memelihara akal (hifz al-aql), memelihara keturunan (hifz al-nasl), dan memelihara harta (hifz al-mal).

Sehingga seorang mukallaf dapat merasakan dan memperoleh kemaslahatan apabila dapat memelihara lima pokok tersebut. Dan sebaliknya, jika tidak dapat menerima lima pokok tersebut akan terjadi mafsadat (kerusakan).

Dalam Piagam Madinah, setidaknya ada 47 pasal yang isinya menekankan pada persatuan yang erat bagi kalangan kaum Muslimin dan kaum Yahudi, kemudian menjamin kebebasan beragama bagi semua golongan, menekankan kerjasama dan persamaan hak dan kewajiban semua golongan dalam kehidupan sosial-politik, untuk mewujudkan pertahanan dan perdamaian, dan menetapkan wewenang bagi Nabi Saw untuk menengahi dan memutuskan segala perbedaaan pendapat dan perselisihan yang timbul di antara mereka.

 

Leave a Response