Keterbatasan fisik tak menjadi hambatan bagi Ali Haydar Altway (19 tahun) untuk bisa menghafal Alquran. Ali Haydar bahkan meraih penghargaan dari Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri) sebagai penyandang tunarungu yang berhasil menghafal 30 juz Alquran.
Perjalanan Ali Haydar menjadi seorang hafiz berawal ketika dia memilih untuk melanjutkan pendidikan tingkat sekolah menengah pertama di Pondok Pesantren Darul Quran Ungaran pada 2013. Ali mengaku sangat tertarik menjadi seorang hafiz.
“Saya yakin kalau bisa menghafal Alquran hidupnya lebih enak, semua akan mudah, pintu rezeki pun terbuka. Alhamdulillah keluarga mendukung ketika saya ingin masuk pesantren. Jadi, di keluarga saya adalah yang pertama mondok dan hafal Alquran,” kata Ali Haydar kepada sebagaimana dikutip dari Republika, Ahad (7/2/2021).
Selama tiga tahun, Ali Haydar mengenyam pendidikan dan menghafal Alquran di Pesantren Daqu Ungaran. Dalam waktu tiga tahun, Ali mengaku sudah bisa menghafal delapan juz. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren as-Surkati Salatiga yang mempunyai program khusus mencetak para penghafal Alquran. Secara intensif, ia pun menerima bimbingan dari para dewan guru pembimbing di as-Surkati.
Hingga kelas tiga Aliyah, tepatnya semester pertama, Ali Haydar mengkhatamkan hafalannya. Setelah empat tahun menimba ilmu di Pesantren as-Surkati, Ali Haydar pun lulus sebagai salah satu santri terbaik dan sebagai seorang hafiz.
“Saya tak menyangka bisa mendapat penghargaan Muri. Semoga bisa memotivasi orang lain yang ingin menghafalkan Alquran.”
Kini, Ali Haydar yang tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur, itu tengah melanjutkan pendidikannya di jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Surabaya. Meski demikian, Ali menjaga hafalannya setiap hari kecuali Jumat. Dia melakukan murajaah hafalan Alquran secara virtual dengan pembimbingnya di Pesantren as-Surkati.
“Saya tak menyangka bisa mendapat penghargaan Muri. Semoga bisa memotivasi orang lain yang ingin menghafalkan Alquran,” kata dia.
Penyandang difabel rungu lainnya yang menjadi pejuang penghafal Alquran adalah Muhammad Azman Ala. Anak berusia 11 tahun dari Kabupaten Kendal ini menjadi salah satu santri di Pondok Pesantren Tunarungu Darul Ashom Sleman, Yogyakarta.
Azman begitu akrab disapa baru sepuluh bulan menjadi santri Darul Ashom. Ia sangat ingin menjadi seorang hafiz. Dengan metode bahasa isyarat yang dikembangkan pesantren, Azman pun sedikit demi sedikit mampu menghafal ayat-ayat Alquran. Kini Azman sudah hafal satu juz dan membuatnya semakin bersemangat.
“Saya belajar menghafal Alquran di Pesantren Darul Ashom karena ingin masuk surga bersama orang tua dan seluruh keluarga. Di sini juga suasananya menyenangkan karena banyak teman-teman yang baik dan saling menyayangi,” kata Azman.
Untuk menjaga hafalannya, Azman yang bercita-cita ingin menjadi peng ajar tahfiz itu mengatakan dirinya selalu membaca dan mengulang setiap hafalan yang telah disetorkannya.
Kepala Pesantren Tunarungu Darul Ashom, Ustaz Bayu Pamungkas menjelaskan, metode tahfiz yang ditetapkan kepada santri adalah dengan menggunakan bahasa isyarat. Ustaz Bayu mengatakan, metode pembelajaran dikembangkan oleh Ustaz Abu Kahfi, yang saat ini merupakan pimpinan pondok pesantren tersebut. Dulunya, Ustaz Abu Kahfi ini mengembangkan majelis difabel rungu khusus untuk usia dewasa di Bandung.
Di Bandung, kata Ustaz Bayu, terbukti masih banyak difabel rungu yang tidak paham ajaran agama Islam. Namun, suatu hari saat menunaikan ibadah umrah di Makkah, dia mempelajari konsep pembelajaran difabel rungu di salah satu pusat tahfiz Alquran khusus difabel rungu di Makkah.
Seusai menunaikan ibadah umrah, dia tergerak untuk mengembangkan Pondok Pesantren Tunarungu Darul Ashom. Pondok pesantren ini sudah berdiri sejak 19 September 2019 lalu.
Santri pesantren ini tidak hanya usia dewasa, tapi berasal dari usia tujuh tahun sampai 28 tahun. Ada sebanyak 47 hafiz Alquran di pesantren yang awalnya berlokasi di Srandakan, Bantul itu. Mereka terdiri atas 10 santriwati dan 37 santriawan.
Para santri dengan kebutuhan khusus ini dibekali dengan ilmu agama sejak dini agar paham dengan syariat Islam. Melalui bahasa isyarat, Ustaz Bayu menjelaskan, huruf hijaiyah diisyaratkan huruf demi huruf untuk membantu para san tri menghafal Alquran. Meski begitu, ada arahan metode verbal bagi para santri yang dapat berkomunikasi.
“Agar tidak hanya menggunakan metode isyarat, untuk anak-anak yang pendengarannya masih bisa (berfungsi baik) dan memiliki vokal yang masih cukup bagus kita arahkan juga metode komunikasi verbal, kata dia.
Kepala Bidang Tahfiz Pesantren as-Surkati yang juga menjadi pembimbing Ali Haydar, Ustaz Abdullah Rifqi menjelaskan, metode hafalan Alquran yang diberikan kepada Ali Haydar tidak banyak berbeda dengan santri lainnya. Sejak pertama kali mondok di as-Surkati, Ali Haydar sudah menggunakan alat bantu untuk mendengarkan bacaan Alquran.
“Saya belajar menghafal Alquran di Pesantren Darul Ashom karena ingin masuk surga bersama orang tua dan seluruh keluarga.”
Menurut Ustaz Rifqi, sebagaimana santri lainnya, Ali Haydar menyetor hafalan baru minimal satu halaman selepas Subuh. Untuk menjaga hafalan, setiap santri wajib mengikuti halaqah pada waktu Dhuha dan setelah Ashar untuk mengulang hafalannya.
Menurut dia, butuh bimbingan yang lebih intensif bagi Ali Haydar, khususnya pada pelafalan huruf. Selain itu, dia menilai ada tantangan tersendiri dalam membimbing ketika alat pendengar yang digunakan santrinya itu kehabisan baterai. “Meskipun awalnya untuk pelafalan huruf tidak begitu jelas, dan kadang terlalu cepat, jadi kita bantu perbaiki dulu di awal dengan metode tahsin,” kata dia. (Andrian Saputra/S Bowo Pribadi)