Berkeluarga merupakan hal yang sangat diidam-idamkan oleh siapapun, khususnya bagi mereka yang masih “jomblo”. Hanya saja, terkadang tidak sedikit orang yang hendak—bahkan sudah menikah—belum memahami arti serta tujuan berkeluarga terutama menurut Islam.
Padahal pemahaman terhadap tujuan berkeluarga sangatlah penting. Dengan memahami tujuannya, seseorang akan mampu menggapai apa yang dinamakan keluarga idaman, bahagia, dan harnomis. Sehingga melepas masa lajang bukan sebatas karena mencintai pasangan, melainkan cinta itu sebagai bekal untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
Dalam bahasa Indonesia “keluarga” diartikan dengan ibu dan bapak beserta anak-anaknya; dan seisi rumah yang menjadi tanggungan. Kalau dikatakan berkeluarga artinya berumah tangga atau mempunyai keluarga.
Dalam bahasa Arab, keluarga dinyatakan dengan kata-kata usroh (أسرة) atau ahl (أهل) . Dalam Al-Qur’an, istilah keluarga diungkapkan dalam kata ahlun seperti dalam firman Allah SWT.:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. Al-Tahrim: 6)
Menurut Cholil Nafis (2010: 4) dalam Fikih Keluarga, pengertian keluarga memiliki dua dimensi:
Pertama, keluarga sebagai ikatan kekerabatan antarindividu. Pernyataan ini merujuk kepada mereka yang mempunyai hubungan darah dan pernikahan.
Kedua, sebagai sinonim ‘rumah tangga’ dalam makna ini ikatan kekerabatan amat penting, namun yang ditekankan adalah adanya kesatuhunian dan ekonomi.
Adapun dalam Undang-undang No.10 Tahun 1992 tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera, pada bab ketentuan umum, keluarga dinyatakan sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami istri dengan anaknya atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya.
Sedangkan hidup “berkeluarga” adalah kehidupan bersama dua orang lawan jenis yang bukan muhrimnya yang telah mengikatkan diri dengan tali perkawinan beserta anak keturunannya yang dihasilkan dari akibat perkawinan tersebut.
Adanya hidup berkeluarga harus didahului adanya perkawinan. Kalau ada dua orang lawan jenis yang bukan muhrim hidup bersama, tetapi tidak diikat dengan akad perkawinan, maka keduanya tidak dapat dikatakan hidup berkeluarga, meskipun mungkin keduanya mempunyai anak.
Adapun pengertian perkawinan (menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1), ialah “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk menuju keluarga Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah, yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Jadi yang dimaksudkan keluarga di sini adalah seluruh penghuni rumah dari akibat hubungan pernikahan.
Agama Islam memiliki ajaran yang komprehensif dan terinci dalam masalah keluarga. Ada puluhan ayat Al-Qur’an dan ratusan hadis Nabi saw. yang memberikan petunjuk yang sangat jelas menyangkut persoalan keluarga. Pembahasan itu mulai dari awal pembentukan keluarga, hak dan kewajiban unsur dalam keluarga hingga masalah kewarisan dan perwalian.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang …” (Q.S. Ar- Rum: 21).
Berdasarkan ayat di atas jelas bahwa Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyayangi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.
Di samping itu, tujuan pokok perkawinan ialah demi kelangsungan hidup umat manusia dan memelihara martabat serta kemurnian silsilahnya. Sedang kelangsungan hidup manusia ini hanya mungkin dengan berlangsungnya keturunan.
Rumah tangga seperti inilah yang diinginkan Islam, yakni rumah tangga sakinah, sebagaimana diisyaratkan Allah SWT. dalam surat Ar-Rum ayat 21 di atas.
Ada tiga kata kunci yang disampaikan oleh Allah dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam, yaitu sakinah (as-sakînah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-rahmah). Ulama tafsir Al-Qurtuby menyatakan bahwa as-sakînah adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga yang bersangkutan; masing-masing pihak menjalankan perintah Allah SWT. dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi.
Dari suasana as-sakînah tersebut akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al-mawaddah), sehingga rasa tanggung jawab kedua belah pihak semakin tinggi. Selanjutnya, para mufasir mengatakan bahwa dari as-sakînah dan al-mawaddah inilah nanti muncul ar-rahmah, yaitu keturunan yang sehat dan penuh berkat dari Allah SWT., sekaligus sebagai pencurahan rasa cinta dan kasih suami istri dan anak-anak mereka (Cholil Nafis, 2010: 6-10).
Di antara buah dari hubungan pernikahan adalah anak. Kehadiran anak dalam keluarga merupakan qurratu a’yun (buah hati yang menyejukan), sebagaimana disebutkan oleh Al-Qur’an:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqan: 74)
Selain itu, Al-Qur’an juga menyebut anak-anak sebagai zinat al-hayat al-dunya (perhiasan kehidupan dunia):
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. (QS. Al-Kahfi: 46).
Lebih jauh, Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa anak selain merupakan kebanggaan dan hiasan keluarga, juga dapat menjadi musuh dan ujian (fitnah). Seorang anak terkadang dapat menjerumuskan orang tuanya melakukan perbuatan yang dilarang agama. Hal itu akibat orang tua tidak mengerti cara melimpahkan kasih dan cintanya kepada anak. Allah SWT. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka). Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”. (QS. At-Taghabun: 14-15).
Di balik sisi ujian dan cobaan, anak juga merupakan sebuah amanah dan menjaga amanah adalah kewajiban orang yang beriman. Allah SWT. berfirman:
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”. (QS. Al-Mu’minun: 8).
Dengan demikian, sebelum membina rumah tangga, patutlah bagi para jomblo untuk lebih mematangkan kembali niat dan tujuannya. Jangan hanya menggebu-gebu dan terlena karena angan-angan yang tak pasti. Adapun bagi yang sudah menikah, mari semakin sayangi serta menjaga keluarga kita agar tetap di jalan yang benar.