Di kalangan masyarakat terkadang terjadi obrolan tentang perbedaan hukum menikah. Bagi sebagian orang yang belum menikah alias “jomblo”, ada yang bingung tentang hukum tersebut, sehingga tidak jarang berdampak pada persepsi kapan seseorang harus menikah. Maka, penting bagi masih jomblo untuk mengetahui seluk beluk perbedaan soal hukum nikah.

Dalam hukum Islam (fiqih) yang digali oleh ulama mazhab empat (مذاهب الأريعة), memang terjadi perbedaan tentang status hukum pernikahan. Perbedaan tersebut bukan karena perbedaan sumber hukum, melainkan istidlal (إستدلال) proses penggalian hukum yang berbeda. Sumbernya tentu sama-sama Al-Qur’an dan Sunnah.

Berikut ini adalah rangkuman dari perbedaan hukum menikah dalam pandangan empat mazhab yang mashur di kalangan mayoritas umat Islam.

Imam al-Kasani dari kalangan mazhab al-Hanafiyah dalam kitabnya Bada’i al-Shana’i (2/228) menyebutkan bahwa hukum nikah itu 3 jenis bagi seorang muslim. Yakni, nikah itu bisa jadi hukumnya Wajib, tapi bisa juga turun menjadi sebuah kesunahan, dan juga bisa jadi nikah hukumnya mubah.

Dari kalangan al-Malikiyah, Imam al-Dardir dalam kitabnya al-Syarhu al-Kabir (2/214) malah menyebut hukum nikah itu disesuaikan dengan hukum taklif (تكليف) yang 5 jumlahnya. Yakni bisa jadi hukum nikah itu wajib, tapi bisa juga jadi sunnah dan bukan mustahil nikah hukumnya mubah, atau makruh, atau malah haram.

Imam Nawawi al-Dimisyq dari kalangan al-Syafi’iyyah dalam kitab fenomenalnya; al-Majmu’ (2/210-213) menyebutkan bahwa hukum nikah itu disesuaikan dengan kondisi di laki-laki yang mengajukan “permohonan” pernikahan.

Oleh sebab itu, Imam Nawawi menjelaskan pandangan madzhabnya tentang hukum nikah yang jumlahnya ada 4; standarnya adalah sunnah. Hanya saja, bukan tidak mungkin nikah bisa menjadi tidak sunnah. Istilah dalam bahasa fiqih lazim disebut dengan Khilaf al-Aula (خلاف الأولى); tidak utama. Nikah bisa juga hukumnya mubah dan pada kondisi tertentu bisa jadi makruh.

Dari kalangan al-Hanabilah; Imam al-Mardaqi dalam kitabnya al-Inshaf (8/7-9) menjelaskan tentang hukum nikah yang dibagi menjadi 3 hukum taklif, sesuai dengan kondisi yang ada pada pihak laki-laki.

Nikah bisa sesuai dengan standar yakni sunnah hukumnya. Melainkan, nikah bisa juga hukumnya mubah. Dan pada kondisi tertentu nikah hukumnya menjadi sebuah kewajiban (Ahmad Zarkasi, 2019: 8-9).

Dari perbedaan-perbedaan di atas, sebenarnya mana hukum yang benar? Dalam tradisi ijtihad (upaya serius memutuskan hukum suatu perkara dengan akal sehat dan pertimbangan matang melalui berbagai metode), ragam hukum nikah di atas adalah benar.

Lantas mengapa bisa berbeda? Ada sebuah sabda Nabi yang menyebutkan bahwa “perbedaan dalam umat adalah rahmat” (​ﺍﺧﺘﻼﻑ ﺃﻣﺘﻰ ﺭﺣﻤﺔ). Rahmat yang dimaksud dalam hadits ini bisa dimaknai sebagai bentuk belas kasih Islam terhadap umat agar dapat menyesuaikan berbagai hukum yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Ulasan di atas baru sebatas rangkuman singkat tentang hukum nikah dalam pandangan 4 mazhab. Tugas selanjutnya terutama bagi para jomblo adalah mempelajari lebih rinci tentang landasan perbedaan tersebut. Sehingga nantinya mereka bisa mengetahui kapan sebaiknya untuk segera melepas masa lajangnya. Wallahu a’lam.

Leave a Response