Hasil riset dari We Are Social perusahaan media sosial asal Inggris, bersama dengan Hootsuite, dalam laporan “Digital Around The World 2021”. Terungkap bahwa dari total 274,9 juta penduduk di Indonesia pada Januari 2021, terdapat sekitar 202,6 juta pengguna internet. Jumlah ini meningkat 27 juta (+16%) antara tahun 2020 dan 2021.
Sedangkan, dari jumlah pengguna internet di atas, terdapat sekitar 170,0 juta menggunakan media sosial. Jumlah ini mengalami peningkatan 10 juta (+6,3%) antara tahun 2020 dan 2021. Pengguna media sosial di Indonesia setara dengan 61,8% dari total penduduk pada Januari 2021.
Peningkatan pengguna internet dan juga media sosial di atas dapat disebabkan oleh beberapa hal yang terjadi belakangan ini, sejak munculnya pandemi. Hadirnya pandemi seakan menjadi akselerator perkembangan teknologi digital dan penggunaan media sosial, yang mampu menggiring dan membingkai publik dalam menanggapi berbagai isu. Tanpa terkecuali isu-isu keagamaan.
Kuatnya posisi media dalam menggiring opini publik sangat terlihat selama pandemi, menyebabkan muncul di masyarakat mereka yang memandang pandemi sebagai konspirasi, bisa diatasi dengan ritual keagamaan, dan menganggap berdoa adalah satu-satunya jalan agar terhindar dari pandemi.
Terpecahnya pemahaman publik ini menurut Ali Zainuddin merupakan bagian dari terdisrupsinya otoritas lembaga atau organisasi keagamaan dalam menyikapi masalah-masalah seperti ini. Kondisi yang terlihat dari contoh di atas adalah dampak dari mulai terkikisnya kepercayaan masyarakat terhadap paham keagamaan.
Golongan ustaz dan ulama dadakan di atas muncul sebab semakin mudahnya mengakses paham-paham keagamaan melalui media sosial. Sehingga tak jarang beberapa orang melabeli dirinya sebagai ustaz atau ulama meskipun sebelumnya tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren atau sekolah yang mengajarkan ilmu agama secara mendalam.
Menguatkan otoritas lembaga keagamaan dalam konteks saat ini sangat diperlukan. Terlebih melihat dampak dari era disrupsi yang tak bisa terelakkan, salah satunya deprivatisasi agama.
Fenomena deprivatisasi agama merupakan salah satu dampak dari disrupsi keberagamaan. Jika sejak awal memasuki era disrupsi, yang sangat nampak adalah dampak disrupsi di ranah teknologi dan ekonomi.
Jose Casanova juga menyebutkan kondisi agama saat ini tengah mengalami deprivation dalam bukunya yang berjudul “Public Religions in the Modern World”. Deprivatisasi di era disrupsi ini tentunya memiliki perbedaan kondisi dengan yang terjadi di era tahun 1990-an. Hal ini dipengaruhi oleh sumber dari disrupsi, yakni pesatnya revolusi industri 4.0 terlebih di bidang media digital.
Dampak disrupsi dalam bidang keberagamaan sangat terlihat pada contoh konkret terkait tanggapan publik terhadap penanganan Covid-19 di atas. Terbukanya media digital secara luas serta bisa diakses oleh siapa saja menjadi penyebab utama kondisi tersebut. Masyarakat dengan mudah digiring dengan apa yang sedang ramai (tranding) di media.
Ilmu agama yang pada awalnya diajarkan secara khusus dan bersifat otoritatif di wilayah yang memiliki kepakaran dalam keberagamaan. Saat ini telah bergeser dan mengalami transformasi dapat ditemukan secara bebas di media, kondisi yang kemudian menjadi titik deprivatisasi agama ke ranah publik.
Yang dikhawatirkan dari dampak deprivatisasi agama di sini adalah berujung pada matinya kepakaran ahli agama. Munculnya ahli yang bukan ahlinya ini berdampak pada otoritas lembaga keagamaan, baik lembaga di pemeritahan maupun lembaga agama.
Sebagaimana disebutkan di atas, lembaga keagamaan yang dimaksudkan dalam tulisan ini mencakup pemerintahan (umara’) dan pendidikan (ulama’). Selain dampak positif dari era disrupsi, ada dampak negatif yang harus dihadapi secara bersinergi antara dua lembaga ini.
Sehingga dalam proses penguatan lembaga keagamaan di sini harus dilihat dari dua perspektif. Ulama dari lembaga pendidikan dan umara dari lembaga pemerintahannya sendiri. Karena tidak serta merta akan terlahir pakar-pakar keagamaan di pemerintahan atau masyarakat tanpa adanya lembaga pendidikan.
Lembaga pemerintahan di sini meliputi Kementerian Agama dan juga MUI. Jika dilihat telah banyak upaya dilakukan lembaga pemerintahan ini kepada masyarakat dalam menghadapi era disrupsi keagamaan saat ini. Mulai dari seminar hingga simposium internasional di tahun 2020 diadakan oleh Kemenag untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait kondisi ini.
Selain itu, pada tahun 2017, MUI mengeluarkan fatwa No. 24/2017 terkait hukum dan pedoman dalam bermuamalah melalui media sosial. Fatwa ini penting kemudian untuk kemudian dikembangkan menyesuaikan kondisi masyarakat digital saat ini. Fatwa serta ketentuan dari lembaga pemerintahan harus dijadikan rujukan dan dipatuhi oleh masyarakat di suatu negara.
Dengan terus mendorong lahirnya pakar-pakar agama yang juga ahli di bidang sosial serta sains perlu dilakukan untuk memperkuat otoritas lembaga pendidikan. Melihat kondisi ini maka untuk menguatkan otoritas lembaga keagamaan di atas perlu diterapkan beberapa poin berikut;
Pertama, mengedukasi terkait literasi digital dan beragama di era disrupsi. Lembaga keagamaan harus lebih terbuka lagi dengan kondisi di era disrupsi saat ini. Memperkuat literasi digital dan edukasi keagaaman sangat diperlukan untuk seluruh segmen masyarakat, tak terkecuali mereka yang berada di lembaga pendidikan agama.
Hal ini diperlukan agar mampu melahirkan konten yang bisa menjadi counter narasi dari konten-konten yang menyimpang.
Kedua, melakukan aksi kampanye bijak dan santun bermedia. Setelah dirasa resource (meliputi ilmu, pemahaman, dan pengalaman) yang dimiliki cukup, di era keterbukaan media sebagai panggung untuk siapa saja ini. Maka setiap personal memiliki kewajiban untuk melakukan aksi saling mengedukasi dari apa yang telah diperoleh dari lembaga pendidikan berupa pembelajaran.
Aksi di sini dapat berupa creating content yang berisi hal-hal positif dan sesuai dengan ajaran agama yang moderat. Ataupun ikut serta organising and sharing content yakni dengan meneruskan banyak konten positif khususnya yang berkaitan dengan Islam moderat kepada orang lain.
Ketiga, kolaborasi lintas lembaga dan komunitas untuk mewujudkan edukasi dan aksi yang direncanakan.
Keempat, kolaborasi. Hal ini yang tidak boleh terlepas dari gerakan membangun otoritas lembaga keagamaan. Untuk memperkuat baik lembaga pemerintahan atau lembaga pendidikan perlu terus membangun kolaborasi positif. Sehingga lembaga keagamaan akan memiliki standing position yang kuat otoritasnya di era disrupsi.