Bagi umat Islam Indonesia, nama Syekh Abdul Qodir Jailani dan Mbah Kholil Bangkalan bukanlah nama yang asing. Syekh Abdul Qodir yang lahir di Naif, Jilan, Persia, pada 1 Ramadan 470/1077 merupakan figur yang dikenal sebagai pendiri tarekat Qodiriyah. Di Indonesia, tarekat Qodiriyah adalah salah satu tarekat yang pengikutnya paling banyak.
Sedangkan Mbah Kholil Bangkalan (lahir Selasa, 11 Jumadil Akhir 1235/1820), adalah ulama Nusantara asal Madura yang makamya di Bangkalan sampai hari ini tidak pernah sepi dari para peziarah. Beliau, meminjam bahasa KH. Afifuddin Muhajir, adalah Alamun min a’lami ulamai ahlis sunah wal jamaah fi Nusantara (pemuka ulama Ahlussunah Waljamaah di Nusantara).
Dalam seminar nasional bertajuk “Sejarah dan Turots Syaikhona Kholil Bangkalan” yang disiarkan secara langsung melalui kanal youtube TVNU pada Senin (7/7/2021), KH. Afifuddin Muhajir selaku salah satu narasumber menyebutkan kemiripan di antara dua tokoh besar tersebut.
Menurut Kiai Afif, sekurang-kurangnya ada dua kemiripan antara Syekh Abdul Qodir Jailani dengan Mbah Kholil Bangkalan.
Pertama, Sufi dan Ahli Fikih
Syekh Abdul Qodir dan Mbah Kholil merupakan tokoh yang bisa memadukan kebeningan hati sufi dan intelektualitas para ahli fikih (jamiun baina qolbi as–shufi wa aqli al-faqih).
Mbah Kholil, sebagaimana jamak diketahui, adalah seorang guru sufi (Kiai Afif menyebut bahwa Mbah Kholil adalah pengamal tarekat Naqsyabandiyah). Beliau bahkan dikenal sebagai seorang waliyullah yang memiliki banyak keramat. Bisa dikatakan, salah satu kiai yang kisah-kisah keramatnya sangat banyak adalah Mbah Kholil.
Di sisi lain, Mbah Kholil juga memiliki kapasitas keilmuan yang sangat mendalam. Penguasaan keilmuannya meliputi berbagai macam, mulai dari nahwu, fikih, akhlak, hingga tasawuf. Tim Lajnah Tusots Ilmi Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan mendata sekitar 30 karya Mbah Kholil yang masih berbentuk manuskrip.
Hanya saja, kewaliannya dan keramatnya yang banyak itu menutupi keilmuan Mbah Kholil yang tinggi dan mendalam. Sehingga beliau hanya dikenal sebagai wali dan mursyid.
Hal yang sama juga terjadi pada Syekh Abdul Qodir Jailani. Beliau dikenal sebagai wali, bahkan sulthanul auliya (penguasa para wali). Kisah-kisah keramatnya sangat banyak dan populer. Menurut Syekh Izzuddin bin Abdi Salam, sebagaimana diutarakan Kiai Afif, tidak ada seorang wali yang memiliki keramat sangat banyak dan kisah keramatnya dinukilkan secara mutawatir selain Syekh Abdul Qodir Jailani.
Tetapi banyak yang tidak tahu kalau Syekh Abdul Qodir adalah seorang ahli tafsir, nahwu, tasawuf, dan lain-lain. Sedikit yang tahu kalau Syekh Abdul Qodir memiliki sejumlah karya seperti “Tafsir Al-Jilani”, “Al-Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq”, “Futuh al-Ghaib”, “Al-Fath Ar-Rabbani wa al-Faydh ar-Rahmani”, dan lain-lain. Keramat dan kewaliannya menutupi keilmuannya.
Kedua, Melahirkan Murid-Murid Hebat
Kemiripan kedua adalah baik Syekh Abdul Qodir Jailani maupun Mbah Kholil Bangkalan kedua-duanya melahirkan tokoh-tokoh. Murid-murid mereka berdua berkiprah di berbagai bidang. Multidimensi. Ada yang jadi pejuang, ada yang menjadi pakar ilmu, guru sufi, dan lain-lain.
Ketika dunia Islam diporak-porandakan oleh Mongol sehingga tidak ada yang tersisa selain kelemahan, yang bisa mengalahkan orang-orang Mongol adalah murid-murid Syekh Abdul Qodir Jailani. Orang-orang Mongol bertekuk lutut di hadapan dai-dai sufi murid-murid Syekh Abdul Qodir.
Tidaklah mengherankan kalau Syekh Abu al-Hasan Ali An-Nadwi, penulis “Rijal al-Fikr wa ad-Da’wah fi al-Islam” sebagaimana disinggung Kiai Afif, menyebutkan bahwa murid-murid Syekh Abdul Qodir Jailani memiliki peranan besar dalam menyebarkan Islam di berbagai belahan dunia, termasuk di Afrika dan Indonesia.
Demikian halnya dengan murid-murid Mbah Kholil Bangkalan. Mereka adalah pejuang cum ulama yang kelak mendirikan pesantren-pesantren di Jawa. Di antara murid-murid Mbah Kholil Bangkalan adalah Hadratussyekh Hasyim Asyari (Tebuireng), KH. Manaf Abd. Karim (Lirboyo), KH. M. Munawwir (Krapyak), KH. Ma’sum (Lasem), KH. Abdullah Mubarak (Suryalaya), KH. Wahab Hasbullah (Tambak Beras), KH. Bisri Syansuri (Denanyar), dan KH. Bisri Mustafa (Rembang).
Mbah Kholil Bangkalan, dalam terminologi Abdurrahman Mas’ud (Dari Haramain ke Nusantara, 2006: 189), adalah kiai pesantren yang paling karismatik pada akhir abad XIX dan seperempat pertama abad XX. Mbah Kholil, masih meminjam istilah Abdurrahman Mas’ud, merupakan seorang arsitek pesantren di Nusantara. Wallahu a’lam bis shawab.