Suatu siang di Oktober 2020, saya mengunjungi beberapa tempat bersejarah di Gorontalo. Satu tujuan yang saya datangi adalah Masjid Sabilulhuda “Boki Owutango” di Tamalate (Boki artinya Putri, jadi “Putri Owutango”–beliau merupakan salah seorang yang pernah menjadi penguasa Tamalate).
Gorontalo adalah satu provinsi di Pulau Sulawesi dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Daerah ini termasuk wilayah Muslim dengan ragam budaya dan tradisi Islam, bahkan punya pegangan adat: adati hula-hula’a to sara’a, sara’a hula-hula’a to kuru’ani (adat bersendi syarak, dan syarak bersendi kitabullah).
Bukan tanpa alasan saya kembali berkunjung di masjid ini. Sebab, tempat itu sangat bersejarah dalam proses penyebaran Islam di Gorontalo. Sebagaimana tertulis di papan nama masjid, bahwa Masjid Sabilulhuda berdiri sejak tahun 1525 M, yang merupakan awal mula hadirnya Islam di Gorontalo.
Saya coba berdiskusi dengan jemaah setempat, dan mereka mengarahkan saya untuk bertamu ke rumahnya Ka’apu, yang terletak tepat di depan Puskesmas Tamalate (Tamalate adalah satu kelurahan di Kota Gorontalo). Beliau masih merupakan keturunan dari Raja Gorontalo, serta memiliki pemahaman luas perihal sejarah lokal.
Sederhananya, Ka’apu adalah orang yang terpandang otoritatif sebagai sumber sejarah lisan setempat. Tidak heran jika beberapa sejarawan Gorontalo datang mencari informasi kepadanya.
Saya pun pergi mengunjungi Ka’apu. Banyak informasi menarik tentang sejarah Islam di Gorontalo yang saya dapati dari diskusi dengan beliau. Salah satunya adalah ketika Ka’apu menjelaskan bahwa terdapat empat “wali perempuan” di Tamalate.
“Putri Eiko, Putri Keyia, Putri Udo, dan Putri Sahara. Keempatnya perempuan. Wali.” Demikian penjelasan Ka’apu kepada saya.
Ada banyak tokoh ulama yang dianggap wali atau dikeramatkan oleh masyarakat Gorontalo. Dan, yang menarik dari penjelasan itu adalah saat kata wali diikuti dengan kata “perempuan” (wali perempuan).
Dari penjelasan Ka’apu sekilas diketahui perempuan Gorontalo dahulu telah mendapatkan ruang dalam tradisi kewalian (keulamaan) setempat. Artinya, beberapa perempuan Gorontalo dahulu tidak hanya sekadar diakui sebagai perempuan berilmu, namun juga dipandang sebagai wali–ulama yang dikeramatkan.
Sebenarnya, sejak awal perkembangan Islam, perempuan memang sudah mengisi pentas keulamaan. Sebagaimana penjelasan Hasanatul Jannah dalam bukunya, Ulama Perempuan Madura bahwa, “Eksistensi ulama perempuan dalam sejarah Islam bukanlah sesuatu yang baru dan harus diperdebatkan lagi, sebab signifikansi keterlibatan perempuan dalam ruang keulamaan cukup banyak ditemukan sebagai sosok perempuan aktif yang berkiprah dalam urusan-urusan keagamaan, mulai dari keilmuan sampai pada peran sosialnya.”
Sayangnya, sebab masih kurangnya pencantuman nama-nama perempuan ulama dalam historiografi, membuat kiprah perempuan kian buram dalam pentas sejarah keulamaan, lebih-lebih kewalian. Ketika membahas sosok Wali Allah Swt, umumnya yang muncul adalah ulama laki-laki, misalnya yang paling terkenal di Nusantara adalah Wali Songo dan dalam lokalitas Gorontalo adalah Aulia Male Ta’ Ilayabe dan Aulia Ju Panggola.
Di Gorontalo, masyarakat lebih familier dengan penggunaan kata “aulia” (bentuk jamak dari wali) meski yang dimaksud hanya seorang. Ini tampak pada papan nama makam wali di Gorontalo yang umumnya menggunakan kata aulia.
Dari penjelasan Ka’apu, diketahui bahwa terdapat empat “wali perempuan” di Tamalate. Sangat mungkin daerah yang lain di Gorontalo juga ada perempuan ulama yang oleh masyarakat dikeramatkan dan diyakini sebagai wali.
Jika coba menelisik sedikit sejarah masuknya Islam di Bolaang Mongondow, yang datang dari jalur Gorontalo, terdapat satu nama perempuan ulama dalam Tim 9–jaringan ulama dari Gorontalo yang menyebarkan Islam di Bolaang Mongondow. Perempuan itu adalah Boki Kilingo.
Dirinya turut andil bagian dalam dakwah Islam di Bolaang Mongondow. Ini menjelaskan bahwa dahulu telah ada perempuan-perempuan ulama di Gorontalo. Mereka terlibat dalam misi dakwah, dan bahkan beberapa ada yang dikeramatkan sebagai wali.
Keempat wali ini, Putri Eiko, Putri Keyia, Putri Udo, dan Putri Sahara, dimakamkan di Tamalate. Salah satu kuburan dari mereka, yaitu Putri Eiko, berada di sebuah bangunan khusus yang terletak tepat di belakang mushala dekat Puskemas Tamalate.
Sebagaimana wali-wali pada umumnya yang dianggap keramat oleh masyarakat, keempat wali perempuan ini juga diyakini memiliki karamah. Salah satu contohnya, adalah Putri Udo, di mana keluar mata air dari kuburnya sebagai pertanda rahmat Allah SWT.
Dalam lokalitas setempat, terdapat cerita yang berkembang bahwa saat akan mengambil air di sumur, beliau tidak perlu bersusah payah, sebab sebelum timba masuk ke dalam sumur, air sumur secara ajaib sudah naik dengan sendirinya.
Belum banyak yang saya ketahui perihal keempat wali perempuan ini. Namun, mengingat sosok mereka yang terkenang sebagai wali oleh masyarakat setempat, maka tidak berlebihan jika memandang bahwa keempat wali perempuan ini adalah perempuan aktif, baik secara keilmuan maupun peran sosial keagamaan.
Ini juga cukup menjelaskan bahwa di Gorontalo dahulu sudah ada perempuan-perempuan yang mengisi ruang keulamaan, bahkan beberapa sampai dikeramatkan sebagai wali.