Secara fithrah setiap manusia memiliki kebutuhan. Baik kebutuhan yang bernilai positif maupun negatif. kebutuhan yang bersifat batini maupun dhahiri, duniawi maupun ukhrawi dan seterusnya. Sebagaimana Maslow merumuskan kebutuhan manusia sebagai berikut:
Maslow merumuskan kebutuhan dasar manusia di antaranya; Pertama, kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan fisik meliputi makan, minum, oksigen, istirahat seksual dan sebagainya. Kedua, kebutuhan rasa aman, yakni kebutuhan ingin terhindar dari segala hal yang merugikan dirinya, baik secara fisik maupun psikologis.
Ketiga, kebutuhan cinta. Di dunia ini siapa sih yang tidak punya rasa cinta? Semua orang berhak mencintai dan dicintai. Tidak heran jika terjadi kasus bunuh diri dengan motif putus cinta, cinta di tolak, atau cinta terlarang. Karena cinta adalah kebutuhan manusia yang senantiasa ingin dipenuhi.
Keempat, kebutuhan harga diri. Manusia dengan berbagai kebaikan yang dibawanya. Termasuk di dalamnya adalah harga diri, tak seorangpun yang rela harga dirinya diinjak-injak orang lain. Kelima, Kebutuhan aktualisasi diri, setiap manusia membutuhkan pengakuan dari pihak lain.
Berangkat dari rumusan Maslow, semestinya setiap individu dapat menghargai hak diri sendiri dan orang lain. Dengan merasakan kesamaan sebagai manusia tentu akan tercipta keharmonisan hidup. Tidak ada lagi yang merasa haknya terampas.
Imam Nawawi mengutip perkataan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Ketika kamu bertemu dengan seseorang yang lebih utama dibandingan kamu, maka berkatalah bahwa ia di sisi Allah ia lebih baik dan lebih tinggi derajatnya dariku. Apabila bertemu dengan orang anak kecil/lebih muda maka berkatalah bahwa anak ini tidak maksiat kepada Allah, sedangkan saya sebaliknya, maka sungguh ia lebih baik dariku. Apabila bertemu dengan orang yang lebih tua maka berkatalah bahwa orang ini lebih dahulu beribadah kepada Allah daripada diriku.
Apabila bertemu dengan orang alim, maka berkatalah bahwa orang ini diberikan sesuatu yang saya belum sampai kepadanya, memperoleh apa yang belum saya peroleh, mengetahui apa yang saya tidak ketahui, dia beramal berdasarkan ilmunya. Apabila bertemu dengan orang yang bodoh, maka berkatalah bahwa seandainya ia bermaksiat kepada Allah, itu dikarenakan ketidaktahuannya, sementara saya maksiat kepada Allah dalam keadaan mengetahui.
Maka tidak dapat dipastikan bagaimana akhir dari kehidupanku dan dia. Apabila bertemu dengan orang kafir maka berkatalah bahwa saya tidak tahu yang akan terjadi, boleh jadi ia akan masuk islam dan husnul khatimah, sebaliknya bisa jadi saya akan kufur dan su’ul khatimah. Nau’dzu billah min dzalik.
Pesan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani tersebut barangkali sangat relevan dengan kondisi sekarang ini. Semakin berkembangnya media sosial, setiap individu bebas mengekspresikan segala pemikirannya. Terkadang pemakaian media sosial yang lepas kontrol berakibat kepada dangkalnya perspektif terhadap sistuasi yang terjadi. Sehingga budaya klarifikasi (tabayyun) tidak lagi menjadi ruh dalam sebuah interaksi.
Perkembangan media sosial tersebut mengikis nilai-nilai yang ada dalam interaksi sosial. Meminjam terminologi Komaruddin Hidayat yaitu “high tech but low touch” bahwa penggunaan teknologi (high tech) yang terlampau batas dalam interaksi sosial akan mengurangi kadar nilai keakraban hati (touch) dalam sebuah interaksi.
Situasi itu akan berdampak kepada kurangnya sikap saling menghormati antar sesama manusia sehingga sikap individualistik dalam diri setiap individu yang akan muncul. Dampak negatif dari sikap tersebut adalah minimnya solidaritas terhadap sesama manusia.
Sikap individualistik menjadikan manusia merasa benar sendiri (egoisme) dan merasa dirinya yang paling berkuasa. Sehingga dalam interaksi, orang tersebut tidak memahami hak diri sendiri dan orang lain bahkan bisa saja merampas hak orang lain.
Oleh karena itu, untuk mengatasi sikap individualistik, manusia harus berbenah atau introspeksi diri. Secara implisit sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani di atas. Untuk menghindari sikap individualistik, manusia harus mampu menumbuhkan perspektif yang “positif thinking” terhadap situasi yang terjadi khususnya di saat menilai orang lain.
Sikap husnudzan itulah yang menjadi awal munculnya harmoni sosial dan terciptanya sikap saling memahami, menghormati dan menghargai hak diri sendiri dan orang lain.