Fenomena tren dan popularitas yang sering kita dengar atau mengalaminya sendiri merupakan salah satu faktor utama untuk obsesi menjadi terkenal. Kalangan kawula muda dan tua ikut terlibat di dalam fenomena tersebut. Tidak heran jika saat ini ada banyak ‘bintang dadakan’ akibat sebuah tren yang mungkin dengan gerakan sederhana, tapi tidak kalah saing terkenalnya dengan mega bintang.

Apakah salah mengikuti tren dan popularitas? Jawaban ini, kembali kepada persepsi masing-masing, namun sebagai batasan diri bukan tentang bagaimana tren menyebar dengan cepat tapi bagaimana kita menyikapinya. Sebuah tren dan popularitas dapat berdampak baik dan buruk tergantung bagaimana memandang dan menerapkannya, karena setiap kejadian memiliki nilai pelajaran dan pengalaman.

Sebelum bicara lebih jauh pada dampak tren dan popularitas masa kini, mari kita pahami bersama apa yang disebut tren dan popularitas. Tren dapat dikatakan kebiasaan yang populer berisikan ide, karya atau tindakan yang diciptakan kemudian secara tidak langsung mendapatkan tempat di hati masyarakat. Sebagai tonggak awal, belum lama ini terjadi tren pernikahan usia muda, tren lagu populer, dan masih banyak lagi tren yang menyuguhkan kepuasan batin bagi para penikmat tren.

Secara sederhana, tren merupakan budaya yang populer di lingkungan masyarakat. Sebuah tren terkadang memiliki wujud nyata atau gaib selama sebuah objek atau subjek tersebut mengaplikasikan tren sebagai jembatan untuk mencapai popularitas tertinggi.

Sebelumnya pada zaman Renaisans, tokoh ‘influencer’ seperti Leonardo da Vinci merupakan bukti nyata tren pada masanya yang menciptakan maha karya seni luar biasa hingga menciptakan ketenaran di masyarakat. Hal ini menunjukkan pula tren merupakan sesuatu yang baru dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Bahkan, di era kaum borjuis tren fashion yang modis lahir untuk mencerminkan kebangsawanan hingga gaya tersebut mulai mempengaruhi masyarakat untuk meniru kaum borjuis.

Tren dapat juga berbentuk penerapan gaya baru lebih dari sekedar fungsionalitas, seperti di kalangan anak SMA terdapat tren celana laki-laki tampak lebih turun ke bawah daripada pemakaian yang sewajarnya. Ada juga tren di masa kuliah ketika perempuan di masa itu mulai tampil dengan baju gamis dan cadar kekinian. Contoh-contoh itu telah membuktikan bahwa setiap zaman selalu memiliki kemunculan tren baru.

Sedangkan popularitas dapat dikatakan upaya individu maupun golongan yang menuangkan karya, ide atau tindakan berupa fisik atau non fisik. Popularitas berguna untuk memperoleh ketenaran. Antara tren dan popularitas dapat dilakukan secara bersamaan yaitu mengikuti tren untuk mencapai “popularitas tertinggi”.

Kemajuan teknologi yang terus mengalami pasang surut hingga melahirkan  budaya baru. Terlepas dari itu mari bersama kita ‘merantau’ dari abad ke-19 dan abad ke-20 era modernisasi yang mendapat sorotan karena mampu memberikan pengaruh yang besar, yaitu dampak positif dan negatif.

Banyaknya ide dan karya baru dapat dengan mudah muncul dan diakses pada media massa seperti FYP, Tiktok, vloger, podcast, rock music, K-Popers, anime, fashion, dan sebagainya. Dari semua ide dan karya tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi viral dan menjelma menjadi tren baru yang mengakar pada masyarakat.

Dari kemajuan teknologi ini mengakibatkan penyebaran budaya menjadi sangat cepat dan menimbulkan efek yang merata di masyarakat. Hal itu karena tren dan popularitas memiliki kesempatan untuk lebih dikenal, sebab ini pula runtuhnya pembeda hak untuk kaum atas dan kaum bawah yang memicu sebuah tren semakin menjadi-jadi.

Bagaimana tren mempengaruhi psikologi? Kemunculan tren dapat menimbulkan rasa haus kehormatan oleh sebagian insan seperti seorang seniman, penulis buku bahkan aktor politik dan sebagainya justru bereinkarnasi menjadi insan yang ‘lapar’ akan nafsu untuk terkenal dan ‘haus’ akan keagungan. Oleh karenanya, hal ini menjadikan kepopularitasan hanya untuk mendapatkan pengakuan, pujian dan kehormatan hingga jiwa yang ingin merasa didewakan.

Rasa haus ketenaran untuk mencapai rantai popularitas tertinggi dengan menciptakan keunikan atau inovasi terbaru, familier, atau bahkan rela melakukan hal aneh hingga dianggap menohok di masyarakat berdasarkan kecerdasannya atau mungkin sebaliknya. Inovasi dalam sebuah tren menjadi kebiasaan baru yang tidak dapat ditelan mentah oleh masyarakat karena persepsi yang berbeda memunculkan perdebatan yang hebat pada masyarakat dalam proses menerima tren baru.

Perbedaan ini memberikan citra yang buruk, misalnya budaya Barat yang kerap disalahkan kebebasannya. Perdebatan itu muncul karena doktrin dan kepercayaan agama dan norma masyarakat menganggap budaya barat sebagai kebiasaan yang salah hingga mengancam ideologi, bahkan hilangnya rasa bangga terhadap budaya sendiri bukan lagi sebuah ketidakmungkinan.

Tren dan popularitas sebatas tontonan perlu tuntunan? Tren menyajikan kebiasaan yang mudah ditiru tanpa terkecuali anak di bawah umur. Maka, sudah seharusnya tren yang menawarkan hal negatif dapat dicegah agar tidak dikonsumsi. Hal ini mengingat tren masa kini dapat menjadi tontonan namun belum tentu memberikan tuntunan. Sungguh seseorang dapat berperilaku lebih baik jika apa yang dilihat dan didengarnya juga merupakan kebaikan.

Dalam konteks ini, agama Islam memberikan opsi bagi umatnya pada tren yang mempersempit mudarat. Bukankah sebuah keindahan ketika perintah Tuhan menjadi tren, merupakan hal luar biasa saat ta’aruf, penghafal Al-Qur’an, pakaian syar’i dan hal baik lainnya mampu mendunia. Maka kembali pada ‘pengaturan pabrik’, yaitu kita sendiri yang harus pandai menahan diri pada tantangan dunia yang fana ini.

Tren dan popularitas bukanlah sebuah dosa? Tidak, jika kita dapat membawa diri sebagai insan terbaik sesuai ajaran agama. Hal ini karena bukan hal yang tidak mungkin ketika tren dan popularitas justru menjadi alasan kita menuju jannah (surga) meskipun tidak terkenal di dunia, namun betapa luar biasanya saat ‘penduduk langit’ mengenal kita.

Leave a Response