Dalam tradisi lokal Nusantara, Ki Ageng Suryomentaram (1892) dikenal sebagai tokoh filsuf sekaligus kebatinan Jawa. Ia merupakan murid kesayangan K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Marcel Boneff (2014) menyebut bahwa KAS adalah seorang filsuf dari Jawa, dan bahkan ia telah memperkenalkan ajaran falsafah dan spiritualitas Jawanya ke dalam tradisi Prancis.
Di tengah upaya untuk merekonstruksi corak pemikiran falsafah pengetahuan di Nusantara sekarang ini, penting sekali untuk menggali buah pemikiran dan ide-ide segar dari Ki Ageng Suryomentaram (KAS).
Tulisan ini secara singkat ingin mengulas tentang dimensi falsafah pengetahuan Jawa yang dikembangkan oleh seorang filsuf dan spiritualis Jawa, yakni Ki Ageng Suryomentaram. Atas dasar itu, penulis akan mencoba mengelaborasi bagaimana alam pikiran Jawa memahami arti pengetahuan, yang bila ditinjau dari kajian kefilsafatan dikenal dengan kajian epistemologi, yakni bagaimana sebuah pengetahahuan menjadi kebenaran dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan itu.
Kita tahu bahwa ilmu pengetahuan merupakan ciri yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Penciptaan manusia yang dibekali akal dan pengetahuan membuat kondisi “kosmik” malaikat terguncang, terjadi kondisi “chaotik” dengan pertanyaan mendasar dari para malaikat kepada Tuhan: “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami selalu bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?”.
Lantas Tuhan pun menunjukkan kepada para malaikat bahwa rencana-Nya tidak akan keliru dengan membuktikan bahwa ciptaan-Nya yang berupa Adam sebagai simbolisasi manusia memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain yakni berilmu.
Pengetahuan manusia, sebagaimana dikatakan oleh Heidegger, filsuf asal Jerman, adalah a-letheia. Artinya, pengetahuan adalah pernyataan diri dari “ada”. Secara tradisional, epistemologi cenderung untuk membatasi diri pada persepsi inderawi dan pengalaman intelektual, di mana pemahaman tersebut dimengerti secara sempit, tetapi hal ini tidak lagi memadai.
Kegiatan mengetahui merupakan aktifitas khas manusia. Dikatakan khas, karena di antara makhluk-makhluk yang ada hanya manusia yang bisa melakukan kegiatan ini. Kegiatan ini merupakan instrumen bagi manusia untuk berpengetahuan. Dan, isi pengetahuan manusia tidak lain adalah hidup manusia itu sendiri.
Paling tidak, dalam pernyataan ini ditemukan dua sisi; di satu sisi pengetahuan tidak terpisah dari keberadaan manusia, sementara di sisi lain melalui pengetahuan manusia eksistensinya sebagai makhluk yang rasional dapat terungkap. Pengetahuan merupakan suatu kekayaan dan kesempurnaan bagi manusia. Melalui pengetahuan manusia dapat menguasai diri dan dunianya.
Dari narasi ini jelaslah bahwa pengetahuan merupakan cara manusia menghayati eksistensinya. Dengan pengetahuan, manusia membentuk diri dan membangun dunianya.
Karena itu tujuan berpengetahuan tidak pertama-tama untuk memiliki atau mengetahui banyak hal, melainkan mengungkapkan apa yang menurut Heidegger sebagai cara mengada di dunia ini. Dalam bingkai berpikir seperti ini maka berpengetahuan berarti cara menghayati hidup secara sadar dan konsisten.
Selaras dengan prinsip pengetahuan yang dipahami sebagaimana penjelasan di atas, ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah tentang objek yang diketahui, maka sudah barang tentu ia membutuhkan pihak yang mengetahui yang tiada lain adalah orang, bukan hewan, bukan pula tumbuhan. Karena keduanya, hewan dan tumbuhan, tidak dapat memikirkan dan menciptakan pengetahuan tentang hal-hal di luar diri mereka.
Jadi, sumber ilmu pengetahuan adalah manusia. Tetapi ilmu pengetahuan tidak selamanya lahir dari pikiran yang benar-benar tahu, sebab sering kali orang meyakini sebuah pengetahuan diperoleh dari pemikiran yang mengira-ngira tahu. Ukuran tahu adalah ketika orang dapat merasa, mengerti, dan melihat. Sedangkan mengira tahu adalah tidak merasa, tidak mengerti, dan tidak melihat, tetapi tetap dianggap sebagai sumber pengetahuan.
Dalam konteks ini, KAS membedakan ilmu pengetahuan menurut objek yang dikajinya dibedakan menjadi dua; yaitu, ilmu pengetahuan tentang barang asal dan ilmu pengetahuan tentang barang jadi. Barang asal adalah segala sesuatu yang dapat diketahui sebagai sebuah keseluruhan, tanpa cacat, bersifat tetap, dan tidak terikat oleh waktu.
Sedangkan barang jadi adalah barang yang keberadaannya ditentukan oleh adanya barang asal sehingga dapat diketahui cacatnya, tidak tetap, dan terikat waktu. Ilmu barang asal adalah ilmu murni, ilmu pokok yang melahirkan barang jadi. Karena barang asal bersifat tetap, maka ilmu barang asal pun bersifat tetap, hanya dapat dimengerti atau tidak dapat dimengerti seluruhnya, bukan dimengerti atau tidak dimengerti sebagian. Sebaliknya barang jadi bersifat berkembang.
Di sisi yang lain, menurut sifat dan kadar kepastiannya, KAS juga membedakan ilmu pengetahuan menjadi dua. Pertama, ilmu nyata, ilmu yang lahir ketika orang mengerti, merasa, dan melihat yang bersifat tanpa batas reflektif yaitu ia dapat memikirkan dirinya sendiri. Ilmu nyata berbasis pada rasionalitas, yaitu nalar.
Kedua, ilmu yakin, yaitu ilmu yang lahir dari dugaan-dugaan, yang berlindung dibalik irasionalitas. Ilmu keyakinan merupakan ilmu yang cukup diyakini tanpa perlu dimengerti, yang sumbernya adalah kata orang, pantas-pantasnya, dan dugaan.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh KAS dalam bukunya berjudul Falsafat Hidup Bahagia:
“Ilmu nyata dapat dirasakan sendiri, dapat dilihat, dan dapat dimengerti sendiri. Oleh sebab itu tidak dapat disangkal atau dipercaya begitu saja, cukup dimengerti saja. Ilmu keyakinan tidak dapat dilihat, dirasakan sendiri, dan dimengerti sendiri, oleh sebab itu cukup dipercaya atau disangkal dan tidak dapat dimengerti. Kedua macam ilmu tersebut berbeda sifatnya masing-masing hasil ilmu nyata membuat kepercayaan orang tetap, yakni jika dipercaya tidak bertambah, jika tidak dipercaya tidak menjadi berkurang. Hasil ilmu keyakinan membuat kepercayaan orang tidak tetap, yakni jika dipercaya bertambah dan jika disangkal berkurang.”
Sehingga dapat dikatakan bahwa penetapan ilmu pengetahuan adalah melalui ilmu pengetahuan barang asal, sebab hanya barang asal saja yang tetap ada dan abadi, yakni berupa zat, keinginan, dan aku. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan pikiran dalam menanggapi rasa tahu tentang barang asal. Sedangkan wujud barang asal adalah zat, keinginan dan aku.
Manusia, sebagai pencatat akan melakukan pencatatan dan merekam semua yang dirasakannya, yang dialaminya, dan yang ditemuinya selama ia hidup. Manusia selaku subyek dan lingkungan sebagai obyek menyatu dan bertemu menjadi apa yang dinamai dengan pengetahuan.
Oleh sebab itu, pengetahuan manusia dari hari ke hari selalu bertambah dan bersifat kumulatif. KAS menelusuri piranti sumber pengetahuan atau alat untuk mendapatkan pengetahuan terdiri dari tiga komponen struktural, yakni panca indra, rasa hati, dan pengertian.
Pertama, panca indra. Seperti yang telah diketahui, panca indera mencakup di antaranya alat menglihatan (mata), alat pendengaran (telinga), alat penciuman (hidung), alat pencecap (lidah), dan alat peraba (kulit, misalnya: jari-jari tangan merasa panas kena api, kulit terasa gatal terkena bular, dll). Kedua, rasa hati, yaitu suatu kesadaran diri tentang keberadaan aku di mana aku dapat merasa senang, susah dan lain-lain.
Ketiga, pengertian. Kegunaan pengertian dapat menentukan tentang hal-hal yang berasal dari panca indera dan juga dari rasa hati. Dengan demikian, alat ketiga ini dapat dikatakan sebagai alat yang tertinggi tingkatan otonominya bagi manusia karena ia sudah melampui pengetahuan yang didapat dari alat pertama dan kedua.
Ia sudah merupakan refleksi kritis, endapan yang didapat dengan menyingkirkan atau mengabaikan hal-hal yang tidak diperlukan, kemudian hanya memilih yang berguna atau bermanfaat saja.
Dalam konteks ini, KAS mampu membuat rumusan bahwa pengetahuan yang didapatkan dengan rasa akan jaul lebih berkualitas dari pada yang didapatkan dengan cara berpikir. Dalam pandangan hidup Jawa, harmoni merupakan dasar dari nilai budaya yang banyak mempengaruhi pandangan hidup yang pada gilirannya diaktualisasikan dalam sikap serta perilaku dan karya budaya masyarakat Jawa.
Ini tampak pada bagaimana KAS memahami kebenaran, pada umumnya masyarakat Jawa tidak hanya mengandalkan rasionalitas atau sekedar berpikir, tapi rasa atau raos, bahkan penggalih, ini juga merupakan alat yang untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan.
Inilah sebenarnya dasar epistemologis yang coba dibangun oleh KAS untuk memahami secara sistematis dan menyeluruh tentang bagaimana manusia dapat mencapai suatu kebenaran dan pengetahuan, sehingga pada batas-batas tertentu manusia akan mencapai derajat eksistensi tertinggi.
Tetapi perlu ditegaskan bahwa ilmu pengetahaun yang diajarkan oleh KAS bukanlah palajaran agama atau aliran kebatinan, dan bukan pula ajaran budi pekerti yang menganjurkan dan melarang tingkah laku tertentu. Begitulah beliau menegaskan dalam pembuka wejangannya tentang ilmu pengetahuan, yang kemudian dapat dikatakan secara implisit sebagai epistemologi makrifat (intuitif) bagi semua orang.
KAS tampak sangat hati-hati dalam merumuskan pengetahuan secara tepat, hal ini terlihat bahwa sebelum beliau mendedahkan ajarannya dengan lebih mendalam, lebih dahulu beliau mendefinisikan bahwa pengetahuan adalah hasil mempelajari atau memahami sesuatu yang telah benar-benar diketahui. Sedangkan berbagai pemahaman yang benar atau pengertian yang telah terorganisasi dalam ruang rasa, beliau menyebutnya sebagai ilmu.
Karenanya, ilmu pengetahuan menurut KAS adalah sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap manusia sebagaimana halnya makanan dan minuman atau bahkan udara. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwa obyek pengetahuan yang bisa benar-benar diketahui oleh semua manusia ada dua macam; pertama adalah obyek pengetahuan yang hanya bisa diketahui secara menyeluruh atau total, yang KAS istilahkan sebagai barang asal.
Barang asal adalah sesuatu yang bersifat tanpa hitungan, tidak kasat mata, dan tidak beruang dan waktu. Kedua adalah obyek pengetahuan yang bisa diperinci, dan KAS menyebutnya sebagai barang jadi atau yang diwujudkan.
Saat pikiran menjadi alat keinginan, ia tidak dapat dipakai untuk menanggapi rasa tahu mengenai barang asal dan barang jadi secara proporsional. Sehingga caranya memikirkan ilmu barang asal dan ilmu barang jadi pun bercampur, rancu, dan sulit dipisahkan.
Maka, ketika memikirkan barang asal yang bercampur dengan barang jadi, akhirnya terhadap keduanya sama-sama menggunakan pertanyaan: berapa, bagaimana, di mana, dan kapan, yang menunjukkan bahwa pikiran itu belum dewasa.
KAS menambahkan bahwa pikiran juga merupakan alat yang mengalami perkembangan, seperti mata, kuping, kaki, dan lain-lain yang termasuk dalam panca indera. Berbeda dengan pikiran, panca indera bila tidak cedera atau cacat tentu akan berkembang secara alamiah.
Tapi pikiran, meskipun tidak cidera, bila tidak dibina atau dididik, sampai tua pun kemajuannya tidak bisa mencapai yang seharusnya, yaitu tidak bisa berpikir dengan benar. Dan, pikiran yang semacam itu tidak akan dapat membedakan ilmu pengetahuan barang asal dan ilmu pengetahuan barang jadi. Juga tidak akan mampu memisahkan ilmu nyata dan ilmu keyakinan.