Dalam sejarah, Islam tidak hanya dipandang sebagai pengguna atas berbagai ilmu yang berkembang. Akan tetapi, Islam meramaikan pula dunia keilmuan. Pada abad 3 SM, Yunani sebagai bangsa yang dipandang berkebudayaan dan berperadaban maju. Tentunya hal itu tidak datang dengan sendirinya, dengan kata lain bangsa Yunani berdialog dengan bangsa lain yang nantinya akan membuahkan hasil-hasil kebudayaan yang maju.

Pada masa Dinasti Ummayah, khususnya pada masa kekhalifahan Abd Al-Malik (658-705) terdapat gerakan penerjemahan buku-buku yang lebih berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan. Lalu, pada masa Dinasti Abbasiyah khususnya khalifah Al-Makmun terjadi gerakan penerjemahan teks-teks yang berasal dari Yunani yang kebanyakan bermuatan filsafat.

Menurut al-Jabiri, hal itu dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran pemikiran rasional Yunani dengan epistemologi Arab. Hal itu berimplikasi positif bagi dunia keilmuan Islam yang nantinya akan menghasilkan pemikiran-pemikiran filosof dalam dunia Islam. Sehingga pada zaman tersebut Islam menjadi pusat keilmuan dunia.

Berbeda dengan zaman sekarang ini, Islam seakan hanya menjadi konsumen atas teori-teori atau hasil-pemikiran barat yang sekuler. Terjadi perceraian antara agama dan ilmu. Hal itu berimplikasi pada kehidupan masyarkat yang berifat materialistik.

Terlebih, teori sekuler ala barat tidak dapat diaplikasikan pada dunia muslim yang memiliki corak teologis. Sayangnya, masyarakat muslim menerima teori-teori ala barat yang secara tidak sadar dengan berbagai dampaknya. Parahnya, sebagian para sarjana muslim pun turut menggunakan dan mengamini teori-teori yang sekular ala barat.

Berdasarkan dengan kondisi seperti itu, menurut Ismalil Faruqi, tidak ada cara lain untuk membangkitkan Islam dan menolong nestapa dunia, kecuali dengan mengkaji kembali kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini, dan keilmuan modern barat sekaligus, untuk mengolahnya menjadi keilmuan yang rahmatan lil alamin, melalui apa yang disebut Islamisasi Ilmu (Khudori Sholeh, 259:2016).

Sayyid Naquib al-Attas sebagai pemikir Islam juga mengusung ide Islamisasi Ilmu. Akan tetapi, Naquib berpandangan bahwa Islamisasi Ilmu dimulai dengan bahasa, berbeda dengan al-Faruqi yang berpandangan bahwa Islamisasi Ilmu melalui pendidikan.

Sayyid Naquib al-Attas, ialah keturunan kanjeng Nabi Muhammad yang lahir di Bogor, Jawa Barat, 5 September 1931. Ayahnya, Syed Ali bin Abdullah al-Attas sedangkan Ibunya, Syarifah Raguan al-Idrus, merupakan keturunan dari raja-raja Sunda Sukaparna (Saiful Muzani, 90:1991). Beliau merupakan adik kandung dari Prof. Sayyid Hossein al-Attas, salah seorang ilmuwan dan pakar sosiologi berkebangsaan Malaysia.

Pendidikan masa kecilnya banyak diampu oleh kerabatnya sendiri di Malaysia hingga masa penjajahan Jepang yang memaksa Naquib untuk pulang ke Jawa Barat dan menempuh pendidikan di Pesantren al-Urwah al-Wusta, Sukabumi.

Paska perang dunia II beliau kembali ke Malaysia untuk dan menempuh pendidikan, di Bukit Zahrah School, kemudian di English College, di Johor Baru. Ia juga sempat menempuh pendidikan militer hingga berpangkat letnan di Royal Militery Academy Sandrust, di Inggris selama 3 tahun. Sekembalinya dari Ingriss beliau menempuh pendidikan di University of Malay pada kajian Ilmu-ilmu Sosial.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Univeristy of Malay, beliau melanjutkan studi di McGill Univeristy, Kanada, pada kajian Islamic Studies sampai memperoleh gelar Master of Art (M.A) pada tahun 1963 M.  Kemudian, ia melanjutkan studinya ke University of London pada School Of  Oriental and African Studies untuk memperoleh gelar Doktor dengan disertasi yang berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri pada tahun 1965 M.

Beliau juga menjadi dosen tamu di berbagai Universitas ternama di dunia, namun tak lama kemudian ia menolak, ia lebih memilih berkonsentrasi pada jabatannya sebagai direktur  The Insitute of Islamic Thought and Civilization yang dibidaninya sendiri kelahiranya sejak lama sekali, sebagai perwujudan dan obsesi atau cita-cita intelektualnya (Syafii Anwar, 1992:106).

Naquib juga pernah berkunjung ke Indonesia pada tahun 1987, dalam acara debat terbuka dengan Nurcholis Madjid. Kemudian berkunjung lagi pada tahun 1988 dan 1989. Dalam perjalanan intelektualnya beliau banyak diundang di berbagai konferensi internasional seperti XXIX Congress International des Orientalis, Konferensi pendidikan Islam Sedunia I dan II , dan lain-lain.

Islamisasi Ilmu lahir sebagai respon atas dampak negatif dari ilmu-ilmu sekuler ala barat yang semakin tampak dan dirasakan masyarakat di dunia. Efek tersebut merambat ke persoalan epistemologis, seperti sumber pengetahuan, hubungan antara konsep dan realitas, masalah kebenaran, bahasa dan lainnya yang menyangkut masalah pengetahuan (A, Khudori Soleh, 2016:243).

Dalam Skeptitisme ala barat, keraguan yang gali dalam meraih kebenaran tidak menemui titik kepuasan dan titik akhir. Walaupun telah ditemukan kebenaran setinggi apapun terus saja digoyahkan dan dilucuti sampai habis. Sehingga hanya menghasilkan perdebatan dan pertengkaran tiada akhir.

Naquib menawarkan Islamisasi Bahasa sebagai langkah awal Islamisasi Ilmu dengan cara mengubah cara pandang (worldview) masyarakat. Hal tersebut juga dilakukan Walisongo ketika berdakwah di Nusantara, yang mana tidak mengubah akidah masyarakat secara langsung, namun melalui bahasa dan budaya. Adalah dengan mengubah tembang-tembang, cerita-cerita, hikayat, wayang, kebiasaan, tradisi dan lain-lain yang mulanya bermuatan materialistik menjadi bermuatan islami dan ukhrawi.

Islamisasi bahasa ini berbeda dengan Arabisasi bahasa, namun dengan cara mengubah cara pandang dan pemaknaan atas teks yang berdasarkan worldview yang islami. Adapula cara lain, yakni mengubah bahasa lokal kepada kosa kata dan bahasa Arab tanpa memperhatikan perubahan ideologi atau wordview yang bersangkutan.

Karena itu, Islamisasi bahasa tidak mesti diiringi dengan adanya perubahan atau penerjemahan bahasa daerah kepada bahasa Arab, tetapi penting adalah perubahan pemahaman dan kandungan lafal atau bahasa yang digunakan.

Kita sebagai muslim perlunya untuk kritis dengan berbagai pandangan atau pemikiran yang beredar di sekeliling kita. Jangan sampai kita dikendalikan oleh suatu sistem yang menggerogoti kita entah itu dari dalam ataupun dari luar, dan jangan sampai kita dikendalikan oleh suatu terminologi yang mengatasnamakan ilmu padahal itu adalah suatu sistem yang secara tidak sadar menelanjangi keimanan kita.

Leave a Response