Sejarah mencatat banyak tokoh-tokoh perempuan inspiratif dari berbagai belahan dunia. Dalam khazanah Islam, kita mengenal nama-nama seperti Hawa, Maryam, Siti Hajar, Siti Khadijah, sampai Fathimah. Nama-nama tersebut abadi dalam ingatan kaum muslim, bahkan di seluruh dunia, sebagai perempuan-perempuan yang pantas dicontoh, bahkan dijadikan rujukan ideal sosok perempuan.
Sekarang, kita menyimak kisah Fathimah Al-Zahra. Kita tahu, Fathimah merupakan putri keempat Rasulullah saw. Ia merupakan salah satu dari wanita-wanita terbaik pilihan Allah Swt. yang diabadikan dalam Alquran. Ia juga dijuluki sebagai pemimpin para wanita penduduk surga.
Kita bisa menyimak kisah Fathimah di buku berjudul Fathimah Al-Zahra: Pemimpin Perempuan Ahli Surga (Mizania: 2016) karya Muhammad Ali Quthb. Di buku tersebut, kita menemukan lika-liku kehidupan Fathimah, dari kelahirannya di masa ketika Rasulullah saw. berjuang menghadapi tekanan kaum Quraisy. Saat itu, ketika terjadi pemugaran Kabah, muncul perselisihan tentang siapakah orang mulia yang berhak menyimpan Hajar Aswad kembali ke tempatnya.
Akhirnya, diputuskan bahwa orang tersebut adalah orang yang pertama masuk dari pintu Baitul Haram. Allah ternyata berkehendak, orang tesebut adalah Nabi Muhammad saw. Setelah meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah saw. pulang kembali ke rumah. Dan pada hari itu, Khadijah melahirkan seorang putri cantik yang tak lain adalah Fathimah Al-Zahra.
Dijelaskan dalam buku tersebut, julukan “Al-Zahra” secara bahasa berarti seorang yang putih dan berseri wajahnya. Ketika lahir, Fathimah memang berkulit putih dengan wajah berseri sehingga dipanggillah ia dengan Al-Zahra, dan terus melekat pada namanya seumur hidup. Sumber lain menyebutkan julukan Al-Zahra artinya wanita yang tak pernah mendapat haid selama hidupnya.
Fathimah sudah biasa hidup mandiri sejak remaja. Bahkan, di usia lima tahun, saat Khadijah meninggal sehingga ia menggantikan peran ibunya tersebut. Dia mengatur urusan rumah tangga Rasulullah saw., menjaga dan menemani beliau, sehingga kemudian dijuluki Ibu untuk ayahnya.
Waktu berlalu, dan Fathimah beranjak dewasa. Akhirnya, Ali bin Abu Thalib datang pada Rasulullah Saw untuk meminang putrinya tersebut. Ali merupakan pemuda Quraisy yang paling unggul kepintaran dan keberaniannya. Ia juga pemuda yang pertama masuk Islam dan paling dekat dengan Rasulullah Saw. Hal tersebut membuat Fathimah juga menyimpan perasaan sejak lama dengannya.
Tabah
Masih menurut buku Fathimah Al-Zahra: Pemimpin Perempuan Ahli Surga (Mizania: 2016) karya Muhammad Ali Quthb, ketika pindah ke rumah baru bersama suaminya, Fathimah hanya membawa kain beludu, bantal kapuk, bejana, alat masak, dan beberapa bumbu masak. Perabot rumah Ali sangat jauh dari kemewahan.
Ali memang bukan berasal dari keluarga berada. Ia anak paling miskin dari keluarga Abu Thalib. Ia bukan pedagang, petani, juga bukan pengusaha. Namun, Fathimah tak mempersoalkannya. Ia ridha tinggal di rumah yang serba kekurangan. Fathimah menjalankan perannya mengurus pekerjaan rumah dengan penuh kesabaran dan ketulusan.
Kehidupan Fathimah sejak kecil dipenuhi cobaan dan kesusahan, namun selalu ia jalani dengan ketabahan. Dijelaskan di buku tersebut, berbagai kesusahan itu kemudian membuat Fathimah mengidamkan suami yang lembut, yang mempu menjadi sandaran hatinya. Namun, agaknya Ali tak termasuk dalam kategori tersebut.
Muhammad Ali Quthb (2016) menjelaskan bahwa kehidupan rumah tangga Fathimah dan Ali keras dan sering diwarnai pertengkaran. Karakter Ali yang keras terbentuk sejak dia bergabung dalam dunia peperangan dari muda.
Suatu hari, Fathimah sempat merasa kesal dengan perlakuan kasar suaminya dan mengadu pada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. menasihati putrinya agar tetap menyayangi Ali dan menjaga kesopanan di hadapannya. Ali pun menyadari kesalahannya.
“Demi Allah, aku tak akan melakukan sesuatu yang kau tidak sukai selamanya,” kata Ali pada Fathimah setelah kembali pulang ke rumah.
Di buku Perempuan-Perempuan Al-Quran (Zaman: 2015) terjemahan dari buku Nisa Fi Hayat al-Anbiya, Fathi Fawzi Abdul Muthi memberi gambaran berbeda tentang kehidupan Fathimah dan Ali. Fathi menggambarkan bahtera kehidupan keduanya begitu teduh, tenang, dan penuh cinta, sehingga keduanya bahagia. Rumah tangga mereka dibangun setelah umat Islam meraih kemenangan pada Perang Badar, sehingga berada dalam suasana penuh suka cita.
Meski kedua buku memberi gambaran berbeda, ada benang merah dari uraian Muhammad Ali Quthb dan Fathi Fawzi Abdul Muthi tentang kehidupan Fathimah Al-Zahra dan Ali, yakni tentang ketaatan dan keikhlasan Fathimah dalam menjalankan peran, tugas, dan tanggung jawab sebagai seorang istri. Ketaatan tersebut di antaranya nampak dari kesetiaannya mendampingi Ali dalam kondisi apa pun.
Setia dalam Ketaatan
Di buku Perempuan-Perempuan Al-Quran tersebut, tepatnya dalam bab Fathimah dan Ali r.a, dikisahkan suatu ketika Hasan dan Husain, dua putra Ali dan Fathimah jatuh sakit dalam waktu yang cukup lama, sehingga Fathimah dan Ali bersedih. Rasulullah Saw. datang menjenguk kedua cucunya tersebut dan mendoakan agar segera sehat dan pulih.
Dalam suasana tersebut, Ali bernazar, “Andaikata Allah memberikan kesehatan pada kedua anakku, al-Hasan dan al-Husain, aku akan berpuasa tiga hari berturut-turut sebagai rasa syukur kepada-Nya.”
Mendengar nazar tersebut, Fathimah dengan setia turut bernazar hal serupa. “Aku juga akan berpuasa tiga hari berturut-turut jika Allah Swt. menyembuhkan kedua anakku,” kata Fathimah. Bahkan, nazar tersebut juga dilakukan kedua budak perempuan mereka.
Allah Swt. mendengar doa Rasulullah Swt., Ali, Fathimah, serta budak tersebut, sehingga Hasan dan Husain sembuh. Sesuai nazar, Fathimah dan Ali pun berpuasa tiga hari berturut-turut. Saat itu, di rumah mereka hanya ada tiga sha (kantong kecil) gandum yang akan diolah Fathimah untuk membuat adonan roti untuk buka puasa setiap harinya.
Namun, selama tiga hari berpuasa tersebut, Ali, Fathimah, dan budak mereka tak pernah memakan roti tersebut karena selalu diberikan kepada orang yang membutuhkan.
Di hari pertama puasa, datang seorang dengan tubuh kurus menggigil dan kelaparan yang meminta makanan kepada mereka. Ali pun memberi roti buatan istrinya tersebut sehingga malam itu mereka tak makan untuk berbuka kecuali hanya minum air. Di hari kedua, datang seorang pemuda yatim piatu yang mengaku tak punya makanan dan tempat tinggal. Ali pun memberikan roti buatan istrinya dan malam harinya mereka kembali hanya minum air.
Di hari ketiga, ketika Ali duduk-duduk menunggu waktu Maghrib, seorang tawanan datang di depan pintu dan hampir terjatuh. Tawanan tersebut kelaparan dan Ali memberinya makanan. Sampai hari ketiga tersebut, Ali, Fathimah, dan budak perempuan mereka masih belum makan selama menjalani nazar puasa mereka. Rasa lapar yang sangat membuat mereka lemah sampai tak mampu berkata-kata, selain mengucap tasbih dan berdoa.
Rasulullah Saw. pun datang menjenguk mereka dan melihat tubuh mereka gemetar. Rasulullah Saw. begitu terenyuh dam memerintah orang-orang di sekitarnya mengambil makanan untuk memulihkan tenaga mereka.
Rasulullah Saw. memuji Allah Swt. dan berterima kasih kepada Fathimah, juga Ali dan budaknya. Mereka terbukti telah begitu tabah dan sabar menunaikan nazar sampai hidup mereka hampir berakhir. Mereka lebih mementingkan orang lain daripada diri sendiri, meskipun mereka sendiri sebenarnya membutuhkan sesuatu itu, tulis Fathi Fawzi.
Kisah Fathimah Al-Zahra memancarkan akhlak luhur yang menjadi teladan bagi seluruh muslimah. Ketabahan, kesabaran, kelembutan, dan ketaatan Fathimah telah membawanya menjadi salah satu perempuan paling dikenang dalam bentang sejarah Islam.
Wallahu alam.