Maaher Thuwailibi akhirnya ‘dijemput’ oleh aparat penegak hukum atas dugaan penyebaran informasi yang melanggar SARA di media sosial. Kejadian ini kemudian mengantarkan pria yang memiliki nama asli Soni Ernata itu menyesal.
Dalam suatu momen wawancara, Maaher nampak penuh kesedihan yang diiringi isak tangis. Ia menegaskan akan mengubah pola tutur kata dan dakwahnya, khususnya di media sosial, yang terkenal kasar dan provokatif menjadi seorang pendakwah yang santun dan menyejukkan.
Berkali-kali pria mengaku dirinya sebagai “ustad” itu menegaskan, bahwa ia menyesal dan akan belajar dari peristiwa yang menimpanya. Hal ini agar bijak dalam bermedia dan berdakwah yang merangkul, bukan memukul.
“Saya sudah trauma (perang-perang di medsos). Mari kita cooling down, mari kita berubah… kalau nggak, negara kita ini makin perang terus,” ungkap Maaher sebagaimana dikutip dari detikcom.
Fenomena Maaher Thuwailibi juga menyadarkan kepada kita semua bahwa tokoh agama atau da’i, harus menjadi pelopor terwujudnya tatanan masyarakat melalui dakwah. Tujuannya yakni agar masyarakat harmoni, rukun, saling tolong-menolong, gotong royong dan menjunjung toleransi antar seluruh anak bangsa.
Namun demikian, ternyata belum semua tokoh agama sepakat akan hal ini. Artinya, masih ada pendakwah yang justru menjadi faktor penghambat terciptanya kerukunan antar anak bangsa.
Hal itu karena adanya beberapa hal. Pertama, sikap agresif dari pemeluk agama dalam menyampaikan pesan-pesan agamanya (dakwah).
Kedua, adanya organisasi-organisasi keagamaan yang cenderung hendak mengerek jumlah anggotanya secara kuantitatif, sehingga lupa meningkatkan kualitas pemahaman agamanya. Bahkan, kelompok model ini biasanya menggunakan cara-cara di luar yang diajarkan agama untuk meraih simpati masyarakat luas.
Ketiga, adanya ketimpangan dalam bidang ekonomi yang sangat menga-nga.
Keempat, pemahaman agama yang sangat dangkal dan parsial. Misalnya, jihad dimaknai hanya mengangkat senjata. Meledakkan bom (bom bunuh diri) dimaknai sebagai jalan pintas menuju surga.
Kelima, taklid buta terhadap pemuka agama (Charles Kimball, When Religion Becomes Evil: Five Warning Signs: 2008, hlm. 57).
Aktivitas dakwah yang dibungkus dalam nuansa garang menjadikan umat terkotak-kotak. Riak-riak ketegangan terjadi karena salah dalam strategi dakwah.
Muhammad Qarib (2018: 325-326) menyebutkan bahwa perasaan benar sendiri dan tidak memberikan ruang terhadap sebuah perbedaan masih menjadi kendala yang cukup dominan dalam pelaksanaan dakwah. Ia juga menambahkan bahwa materi dakwah seringkali tidak disusun berdasarkan kebutuhan riil masyarakat.
Sebagai contoh, materi dakwah masih banyak mengandung nuansa kebencian dan kecurigaan terhadap pihak lain, baik pihak berasal dari internal agama maupun pihak yang berasal dari luar agama. Tentunya ini sejalan dengan tujuan dakwah, mengajak pada kebaikan.
Realitas sebagaimana uraian pada pembahasan di atas masih terjadi, bahkan sudah mulai ramai menghiasi langit-langit bumi Indonesia ini, terutama di media sosial.
Jika fenomena ini dibiarkan begitu saja, maka akan menjadi bom waktu. Oleh karena itu, rekonstruksi dakwah agar menghasilkan efek maksimal dan menyejukkan kehidupan, perlu dilakukan secara terus menerus.
Agar dakwah benar-benar menyentuh hati masyarakat dan mampu menjawab kebutuhan serta tantangan masyarakat yang majemuk, dakwah harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan hal-hal berikut.
Pertama, menjunjung tinggi prinsip kebebasan beragama. Tidak boleh seorang da’i ngotot untuk mengislamkan suatu golongan. Sebab, Islam menekankan bahwa keimanan harus didasarkan pada ketulusan. Dan ketulusan tidak akan datang jika ada tindakan pemaksaan.
Kedua, menjunjung toleransi. Bahwa setiap individu yang beriman harus menghormati keimanan orang lain meskipun tidak sejalan (seiman). Toh jika hendak dakwah dengan maksud mengajak orang untuk menganut agama Islam misalnya, harus didasarkan pada prinsip dakwah itu sendiri, yakni mengajak dan mengundang dengan tanpa adanya paksaan.
Ketiga, tetap berlomba-lomba dalam kebaikan tanpa harus saling menjatuhkan. Islam disebarkan, salah satunya, dengan mengencangkan aktivitas dakwah. Tidak hanya Islam, tiap agama pasti melakukan hal demikian. Namun, semua itu harus dijalankan di atas landasan yang sehat dan jujur, tanpa mengolok-olok dan sejenisnya. Semua agama berhak mengembangkan keyakinannya. Namun semua itu harus dijalankan dengan lembut dan cerdas supaya tidak ada dampak negatif yang menyertai misi suci tersebut.
Tegasnya, dipundak para penutur agama (da’i) yang inklusif-lah prinsip-prinsip dakwah sejuk dan menyatukan dapat berjalan dengan baik. Dan dipundak mereka pula, pesan Islam yang sangat ramah dan santun namun tegas dapat dirasakan.
Islam bukan agama teror, pun tidak ekstrem. Oleh karena itu, para da’i harus mampu menyampaikan kepada seluruh manusia di muka bumi ini bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Di tengah masyarakat yang majemuk, dakwah harus disampaikan dengan sejuk, bukan dengan cara kotor seperti mengamuk-ngamuk.
Cerdas dalam menyikapi dan mengelola pluratitas adalah ciri da’i sejati. Materi dakwah yang disampaikan mesti yang menyejukkan dan merangkul semua pihak, bukan malah memukul suatu golongan. Model dakwah sejuk inilah yang harus ditempuh oleh seluruh penutur agama.
Fenomena Maaher Thuwailibi kiranya cukup menjadi pembelajaran bagi kita semua. Bahwa, jika masih terus menjalankan aktivitas dakwah dengan cara-cara yang kasar, tidak menjungjung tinggi akhlak karimah sehingga dapat menimbulkan perpecahan dan sejenisnya, maka dakwah yang demikian akan berakhir pada kondisi yang ‘hina’.