Jakarta – Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) menggelar diskusi publik dengan tema “Peran Kita dalam Mendukung Palestina” di Masjid Istiqlal Jakarta, pada Sabtu (01/06/2024).
Acara ini menghadirkan sejumlah tokoh Nasional, seperti Prof. KH. Nasaruddin Umar, Quraish Shihab, Ulil Abshar Abdalla, Adrian Perkasa, Husein Ja’far Al-Hadar.
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar pada momen ini memperkenalkan konsep religious diplomat dalam menghadapi persoalan, sebagaimana yang dahulu dilakukan oleh Rasulullah.
“Religious diplomat menjadikan masjid sebagai pusat penguatan umat dan central point yang sangat strategis untuk menghimpun kekuatan. Di sini di tempat ini kita mengajak orang untuk mengajak kepada tuhan, dan dengan demikian kita akan meraih keberuntungan,” jelasnya.
Karena itu, lanjut, Prof Nasar, Rasulullah mengajak para sahabat untuk mendirikan masjid agar kelak mereka menjadi orang yang beruntung. Bagi Indonesia, kata dia, tidak ada solusi tunggal dalam menyelesaikan konflik antara Palestina dan Israel.
“Kita perlu banyak pendekatan, mungkin di Masjid ini, Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) ini, selain menggagas dan mendukung diplomasi formal yang dilakukan oleh pemerintah kita, mungkin kita juga perlu mencari pendekatan lain di samping pendekatan yang sudah tersedia,” jelas terangnya.
Mitos Soal Israel
Sementara itu, Ulil Abshar Abdalla memulai pembicaraan adanya konflik antara Israel dan Palestina ini dengan menjelaskan beberapa mitos yang dipakai dan didiskusikan berbagai kalangan hingga akademisi.
Mitos pertama berkaitan dengan proses pendirian Negara Israel. Menurutnya, sejumlah politisi di Israel meyakini bahwa Negara ini berdiri di atas tanah yang kosong dan tanah yang belum berpenghuni.
“Ini kemudian dijadikan narasi resmi Negara Israel untuk menyatakan pendirian Negara Israel berdiri tanpa mengorbankan orang-orang lain,” ucap pria yang sering disapa Gus Ulil itu.
Ia melanjutkan, mitos ini terbongkar pada akhir tahun 60-an ketika dokumen resmi Negara Israel mulai dibaca dan dikaji oleh para sejarawan yang melahirkan generasi sejarawan dari Yahudi bernama News Historian.
“Buku-bukunya bisa diakses gratis melalui internet,” ucap Gus Ulil.
Mitos kedua, Israel ingin mengatakan bahwa orang Arab tidak mau berdamai. “Jadi sebenarnya Israel dari awal sudah menawarkan perdamaian, akan tetapi orang-orang Arab memilih untuk perang,” lanjutnya.
Mitos inilah, sambung Gus Ulil, yang memicu perdebatan dan reaksi dengan skala yang lebih besar. “Sekarang ini yang berdebat hampir semua orang, karena semua orang bisa menyaksikan secara live tentang konflik Israel dan Palestina,” ungkapnya.
“Contohnya, ketika ada demonstrasi di beberapa Negara yang pro terhadap Israel meski sedikit, dan tidak lebih banyak dari demonstrasi yang mendukung Palestina,” pungkas Ulil.
Latar Belakang Konflik dan Isu yang Berkembang
Pada kesempatan yang sama, Abdul Kadir Jailani, seorang diplomat dari Kementerian Luar Negeri, menjelaskan pokok persoalan yang melatarbelakangi konflik.
Menurutnya, pokok yang paling menonjol adalah adanya miskonsepsi yang terjadi di semua lini. “Miskonsepsi yang terjadi seolah-olah ini adalah konflik agama antara Islam dan Yahudi,” kata Kadir.
Kedua, lanjutnya, ada semacam klaim bahwa Palestina imigran, Israel pribumi. Padahal 2000 tahun yang lalu tanah Palestina itu adalah tanah yang banyak diisi oleh orang-orang dari berbagai negara termasuk juga orang Yahudi dan Timur Tengah.
“Ini terkesan bahwa orang Palestina adalah pendatang. Sedangkan yang lebih berhak atas tanah ini orang-orang,” ujarnya.
Senada dengan hal itu, cendekiawan ahli tafsir Al-Qur’an M. Quraish Shihab menilai bahwa konflik yang terjadi hakikatnya bukan isu agama, tetapi isu agama itu digunakan oleh orang Israel.
“Ini tampak normal karena di sana ada peninggalan Islam, ada Masjidil Aqsa,” papar Quraish.
Ia menyebut bahwa pada dasarnya Israil ingin mempertahankan, atau bahkan mencaplok lebih banyak lagi tanah yang ada di Palestina. Meskipun sebelumnya, semua Negara Arab sudah setuju dengan pembagian dua Negara tersebut. Namun, Israel tidak mau, karena ingin kembali seperti yang terjadi pada zaman Sulaiman, di mana orang-orang Israel menguasai lebih banyak tanah.
“Ini tentunya bukan isu agama, mengingat orang-orang Islam banyak sekali yang menghormati orang Yahudi, mereka ada di Maroko, Yaman, kita sering ketemu dengan orang Yahudi. Sekali lagi, ini persoalannya adalah merebut tanah dan janji sejarah,” tambahnya
Sementara itu, Andrian Perkasa salah satu Mahasiswa Indonesia yang studi di salah kampus di Eropa mengatakan bahwa konflik ini sangat jauh daripada konflik agama, hanya saja kadang ada persoalan nasionalisme Israel yang memicu adanya konflik.
“Narasi yang sering dipakai adalah konflik antara Israel dengan Hamas, bukan sama Israel,” kata Andrian
Dalam pandangannya, Indonesia patut bersyukur mengingat visi pemerintah dan masyarakatnya sejalan yaitu sama-sama ingin mendukung Palestina. Karena, ini berbeda dengan apa yang banyak terjadi di sejumlah negara di Eropa.
“Kalau di Indonesia kan pandangan antara negara dan masyarakatnya nyaris sejalan, bahkan sejumlah media juga menjelaskan demikian,” jelas Andrian.
Sorotan Media Sosial
Menjelaskan secara daring, Habib Husein Ja’far Al-Hadar cenderung melihat bahwa media sosial telah memberikan peranan penting untuk menyuarakan dan mendorong penyelesaian konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina.
“Mungkin serangan Gaza di akhir tahun lalu menjadi serangan yang paling mendapatkan perhatian di jagat media sosial,” Husein Ja’far.
Menurutnya, Indonesia dengan jumlah pemuda yang banyak dapat berkontribusi untuk mengampanyekan kemerdekaan Palestina.
“Dengan menggunakan media sosial, para pemuda bangsa kita aktif menyuarakan kemerdekaan bagi Palestina,” tegasnya. (M. Anas Mahfudhi/mzn)