Secara umum, istilah milenial merujuk pada kelahiran seseorang. Beberapa menyebutkan bahwa milenial merupakan seseorang yang lahir antara 1980 hingga 2000-an. Usia milenial cukup mendominasi jenjang usia yang ada di Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2020 usia 20 tahun hingga 40 tahun diprediksi berjumlah 34 persen dari total penduduk atau sekitar 83 juta jiwa. Potensi milenial sendiri cukup besar untuk bergerak maju lantaran diberkahi oleh kemajuan teknologi dan informasi yang sangat berkembang.

Alvara Research Center dalam laporannya Indonesia 2020: The Urban Middle- Class Millenials menyebutkan bahwa generasi milenial merupakan generasi yang unik. Hal tersebut dipengaruhi munculnya smartphone, meluasnya internet dan banyaknya media sosial yang disediakan. Faktor-faktor tersebut banyak mempengaruhi pola pikir, nilai-nilai dan perilaku para milenial.

Temuan lain dari Alvara Researh Center mengungkap setidaknya terdapat 3 karakter milenial yakni kreatif, pandai bersosialisasi dan percaya diri. Melalui semua potensi yang dimiliki generasi milenial, tentunya menjadi peluang sekaligus tantangan agar aktualisasi dapat membuat sebuah kemajuan.

Guna memaksimalkan semua potensi yang dimiliki milenial, salah satu hal yang tidak dapat dilepaskan yakni mengenai kesehatan mental. Lantas, bagaimana kesehatan mental milenial hari ini?

Kesehatan mental merupakan isu yang belum mendapatkan perhatian serius, khususnya di Indonesia. Isu Kesehatan mental masih kalah jauh dibanding kesehatan fisik. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Dirjen Pencegahan dan Pengandalian Penyakit Kemenkes bahwa persoalan kesehatan mental masih dianggap kalah serius dibanding Kesehatan fisik.

Secara global WHO dalam laporannya Depression and Other Common Mental Disorder tahun 2017 mengungkap jumlah penduduk yang mengalami gangguan mental kecemasan sebanyak 4,4 persen atau sekitar 322 juta penduduk. Dari 332 juta tersebut, rentang usia 15-34 tahun sekitar 34 persen atau sebanyak 109,48 juta penduduk.

Indonesia sendiri berdasarkan Riset Dasar Kesehatan Kemenkes RI pada tahun 2018 mengungkap sebanyak 6,2 persen generasi milenial pada usia 15-24 mengalami depresi.

Asosiasi Psikiater Amerika dalam sebuah surveinya mengungkap bahwa 12 persen generasi milenial memiliki kecemasan yang tinggi. Temuan juga datang dari Blue Cross Blue Shield yang menyatakan bahwa kesehatan mental pada milenial menurun dengan cepat dibanding generasi lainnya.

Penyebab dari kecemasan milenial yakni bersadarkan temua Asosiasi Psikiater Amerika yakni quarter life crisis dan tidak puas dengan kehidupan. Harapan keluarga yang begitu besar dan tidak sesuai dengan idealisme menyebabkan potensi milenial tidak mampu dimaksimalkan.

Pekerjaan yang tidak sesuai dengan ekspektasi menjadi penyebab terjadinya kecemasan. Survey yang dialkukan oleh Mind kepada 31.000 pekerja di Inggris mengungkap bahwa 52 persen karyawan di Inggris pernah pengalami kecemasan di tempat kerja.

Gangguan mental merupakan salah satu hal yang harus ditangani. Anita Everett, presiden Asosiasi Psikiater Amerika menyatakan bahwa peningkatan kecemasan secara signifikan akan mempengarhui banyak aspek kehidupan.

Ironisnya, banyak dari milenial yang memiliki gangguan mental bingung harus bagaimana. Laporan dari Born This Way Foundation tahun 2019 mengungkap sebanyak 47% milenial tidak tahu harus bagaimana saat mengalami gangguan mental.

Tak dapat dipungkuri kurangnya sarana dan prasarana mengenai fasilitas pelayanan kesehatan mental menjadi salah satu pendukung milenial membiarkan gangguan mental yang terjadi. Belum lagi harga yang tinggi mesti dibayar untuk mengatasi gangguan mentalnya.

Biaya rata-rata untuk sekali konsultasi berdasarkan rilis vice berkisar Rp. 200.000 hingga Rp. 400.000. Sedangkan obatnya bisa mencapai Rp. 300.000.

Namun terdapat cara-cara yang dapat dilakukan sendiri guna mengatasi gangguan mental. Seperti yang telah dikemukakan di awal, milenial memiliki karakter kreatif sehingga seyogyanya milenial memiliki dorongan untuk berusaha menjadikan dirinya lebih baik.

Laporan dari Born This Way Foundation juga mengungkap bahwa sebanyak 80 persen milenial tertarik untuk mempelajari keterampilan untuk mengatasi gangguan mental yang dihadapi.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan mental seperti depresi, cemas dan stres yakni melalui metode expressive writing. Teknik yang diperkenalkan oleh James W. Pennebaker ini berfokus dalam meluapkan emosi yang disalurkan melalui metode menulis.

Metode menulis ini dapat dilakukan 3 sampai 5 hari dengan durasi waktu 15 hingga 30 menit yang dilakukan secara berturut-turut. Kita dapat menulis secara bebas tentang peristiwa atau pengalaman yang otentik yang pernah terjadi dalam hidup tanpa dibatasi oleh jumlah kata, pemilihan kata hingga tanda baca.

Metode ini merupakan metode sederhana dan dapat dilakukan oleh generasi milenial. Expressive writing telah terbukti ampuh dalam mengurangi kecemasan. Studi yang dilakukan oleh Danarti, Sugiarto dan Sunarko terhadap remaja menunjukkan metode expressive writing berpengaruh dalam menurunkan depresi, kecemasan dan stres.

Penelitian yang dilakukan tahun 2018 ini mengungkap melalui expressive writing, remaja mampu memahami dan mengatasi gejolak emosional yang dihadapi. Metode ini dapat memberikan efek positif pada emosi serta memfasilitasi untuk melakukan penyikapan emosi sekaligus meregulasi emosi.

Metode ini merupakan metode yang murah dan mudah dilakukan. Jadi, siapkah kita menuju generasi milenial yang sehat mental?

Leave a Response