‘Banyak Anak, Banyak Rezeki’, istilah yang sering kali terdengar di masyarakat kita. Tapi jarang sekali dari kita yang tahu bahwa istilah tersebut pertama kali dipopulerkan pada era Kolonial Belanda, di masa-masa adanya pekerja tanam paksa.
Kala itu, tenaga kerja adalah faktor penting untuk menggerakkan kapitalisme. Paksaan demi paksaan yang diberikan Kolonial Belanda membuat para pekerja mengalami tekanan, maka lahirlah cara berpikir untuk melakukan eksploitasi kelahiran demografis, melahirkan banyak anak sebagai bekal simpanan tenaga kerja.
Anak dianggap sebagai investasi keluarga, tenaganya diharapkan dapat membantu untuk menggarap lahan, melakukan angkut-angkut, dan pekerjaan lainnya. Masyarakat zaman dahulu sangat mempercayai keajaiban tersebut, karena menurut mereka, semakin banyak anak yang dimiliki, maka semakin banyak juga rezeki yang mereka dapatkan.
Zaman dahulu, pekerjaan masyarakat Indonesia kebanyakan adalah petani dan nelayan. Tentu apabila kita bayangkan, untuk mengelola tanah dan pekerjaan sehari-hari pasti membutuhkan tenaga yang besar. Dengan memiliki banyak anak, maka pekerjaan menjadi lebih ringan, karena dikerjakan secara bersama-sama.
Dalam kondisi masyarakat saat ini, masih ada yang memegang kepercayaan tersebut. Tapi, apakah masih relevan? Apakah anak hanya dijadikan bahan investasi dan jaminan masa tua dari keluarga?
Ketika anak sukses, dia akan dijadikan tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan orangtuanya. Memang tidak ada yang salah dalam merawat orangtua dan memenuhi kebutuhannya di masa tua, tetapi, apakah itu artinya orang tua tidak menyiapkan bekal investasi untuk kehidupan masa tuanya? Sehingga anak-lah yang dibebani hal tersebut.
Ditambah apabila dalam satu keluarga, orang tua memiliki banyak anak, dalam kondisi keuangan yang belum stabil, sedangkan orang tua tidak lagi muda. Maka siapakah yang menanggung beban keluarga tersebut? Tentu anak-anaknya. Inilah yang melahirkan Sandwich Generation.
Generasi sandwich adalah mereka yang memiliki tanggung-jawab terhadap generasi di atas mereka, yaitu orang tua, dan generasi di bawah mereka, seperti saudara, anak, pasangan, ataupun diri mereka sendiri. Atau dalam istilah lain, ‘generasi roti lapis’, yang harus hidup terjepit karena harus memenuhi kehidupan dirinya, keluarganya, dan juga orangtuanya.
Generasi sandwich rentan mengalami stres, karena banyaknya tanggungan yang dimiliki, yang kemudian cenderung mengabaikan self-care untuk diri mereka sendiri.
Fenomena generasi sandwich dianggap hal yang wajar di masyarakat, karena membiayai dan merawat orangtua di masa tuanya adalah bentuk tanda bakti dari seorang anak. Padahal kondisi seperti ini sangat mempengaruhi kualitas hidup dan menjadi mata rantai yang sulit terputus.
Saat ini, jumlah anak mulai dibatasi. Di samping faktor demografi masyarakat yang semakin meningkat, memiliki banyak anak juga dapat mempengaruhi kesejahteraan keluarga, karena kurangnya kesadaran untuk mengumpulkan dana pensiun. Budaya komunal membuat masyarakat Indonesia cenderung mengharapkan bantuan orang lain.
Satu-satunya cara untuk memutus mata rantai generasi ‘sandwich’ adalah dengan perencanaan finansial yang matang. Tidak berlindung pada istilah, ‘banyak anak banyak rezeki’.
Anak dilahirkan bukan untuk dijadikan bahan investasi. Bahkan, anak tidak memilih untuk dilahirkan, tetapi orangtua-lah yang memilih untuk mempunyai anak.
Anak-anak muda yang menjadi generasi sandwich saat ini, bekerja lebih keras untuk menghidupi keluarganya. Mereka tidak menginginkan fenomena generasi sandwich terjadi pada generasi selanjutnya.
Keinginan inilah yang membuat mereka ‘melek’ investasi. Menanamkan kesadaran dan pentingnya menabung sebagai bekal pensiun sejak dini. Perencanaan finansial yang matang akan membawa kita pada kebebasan finansial.
Semakin dini seseorang menyiapkan dana pensiun, semakin banyak juga dana yang dihasilkan. Dana pensiun menjadi opsi terbaik agar tidak bergantung pada generasi berikutnya.
Ada banyak cara untuk menyiapkan dana pensiun, di antaranya adalah menabung di bank, melakukan investasi saham, ataupun melalui program Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Selain itu, tentu kehidupan yang konsumtif dan banyak hutang harus segera ditinggalkan agar rasio dana yang dimiliki tetap stabil.
Menambah jumlah pemasukan di usia muda juga sangat membantu menaikkan taraf hidup. Karena dana pensiun bukanlah satu-satunya yang perlu disiapkan, tetapi masih banyak rencana keuangan lain seperti dana pendidikan anak, dana kesehatan, dana liburan, dan lain sebagainya.
Pada intinya adalah, kepercayaan pada ‘banyak anak banyak rezeki’ bisa terwujud apabila orangtua sudah memiliki perencanaan finansial yang matang. Anak bisa fokus pada pendidikan, karier, dan masa depannya sendiri tanpa melupakan orangtuanya.