Bagaimana walimatul ursy (perayaan pernikahan) dalam konteks kemaduraan?
Meskipun walimatul ursy bukan murni berasal dari Madura, namun akulturasi yang ditampilkan di dalamnya membuat perayaan tersebut memiliki ciri khasnya tersendiri di pulau garam ini. Masyarakat Madura seperti sengaja meletakkan corak kemaduraan, sehingga seolah Madura memiliki walimahnya sendiri.
Dalam konteks kebahasaannyapun, walimatul ursy di Madura dikenal sebagai tradisi ‘ghabay’. Sebenarnya, ghabay bertujuan sebagai manifestasi rasa syukur masyarakat Madura terhadap adanya pernikahan. Yang kemudian, dewasa ini merambah pada beberapa peringatan, seperti peminangan, nuzulul qur’an, dan lain-lain. Namun, tetap saja, ghabay identik dengan pesta pernikahan.
Wujud syukur yang diaktualisasikan juga sinkron dengan sifat masyarakat Madura yang dikenal dengan solidaritasnya. Ini menjadi nilai plus dari tradisi ghabay yang sesungguhnya. Pun, seyogianya, unsur itulah yang mesti diletakkan sebagai substansi atau esensi dari tradisi tersebut.
Mulanya, perayaan pernikahan memang menjadi sebuah tradisi yang dipromosikan sejak masa kenabian. Seperti perayaan yang dilakukan Zainab binti Jahsy, Abdurrahman bin Auf, sampai Sufiyah Radiyallahu Anha (RA).
Menilik pada kitab Kifayatul Akhyar, halaman 69 juz 2, walimatul ursy adalah upacara yang dipersembahkan untuk suatu perkumpulan. Konteks perkumpulan di sini awalnya ditujukan kepada berkumpulnya tamu undangan yang hadir dan disuguhkan beberapa hidangan.
Namun, kemudian konteks itu mencakup pada arti yang lebih spesifik, yakni berkumpulnya dua mempelai (pria dan wanita) yang telah atau sedang melangsungkan pernikahan.
Di fashal yang sama, Imam Syafii mengatakan bahwa:
“Walimah merupakan suatu penyampaian, seruan, atau panggilan bahwa ada sesuatu hal yang sudah terjadi, seperti nikah atau khitan.”
Lebih lanjut, Imam Syafii menambahkan:
“Namun dalam penggunaannya, walimatul urs lebih terkenal dalam menyebut istilah perayaan pernikahan.”
Lantas, bagaimana jika akulturasi itu mengalami dekadensi? Problematika yang santer dibicarakan dari mulut ke mulut itu memang tidak ada habisnya. Memang benar, ghabay mulanya menyajikan sisi positif.
Namun, lambat laun, eksistensinya juga menawarkan dualisme. Ada sisi negatif yang juga ditampilkan. Tentu, persoalan ini tidak bisa dipandang remeh. Terlebih, Madura yang akrab dengan sebutan pulau pesantren.
Sebut saja pulau Poteran, salah satu pulau yang terletak di kabupaten Sumenep, Madura. Pulau di mana salah satu kemerosotan itu bisa disaksikan. Ghabay–di pulau ini–nyaris tidak lagi dimaknai sebagai pesta pernikahan yang secara substansi meliputi beberapa hal, yakni: silaturahmi, solidaritas, dan tasyakuran.
Tradisi tersebut mengalami pergeseran nilai. Relasi sosial di dalamnya telah menjadi budaya yang transaksional dan cenderung profan, sebagaimana dikatakan Kyai Dardiri dalam bukunya, Wajah Islam Madura. Salah satu tetek bengek dari realitas tersebut adalah tradisi tompangan yang ada di dalamnya. Ini juga salah satu yang membuat hajatan di Madura berbeda.
Tompangan menjadi suatu hal yang problematik dalam ghabay. Parahnya, ini sudah menjadi tradisi mayoritas. Di sini letak unsur transaksi itu berasal. Biasanya, orang-orang yang hadir di acara ghabay membawa bingkisan, baik berupa uang atau barang.
Namun, uniknya, barang atau uang tersebut tidak murni sebagai hadiah untuk tuan rumah. Melainkan, dimaksudkan sebagai hutang. Tuan rumah mengalkulasikan pemberian itu, lalu kemudian dikembalikan ketika si pemberi tadi juga melaksanakan hajatan. Sistemnya bukan lagi hibah, melainkan transaksi secara praktik.
Gaya hidup hedon masyarakat Poteran juga turut mendukung sistem ini. Pulau dengan kehidupan yang mayoritas glamor menjadikan tradisi (yang sudah mulai merosot itu) tetap ada. Namun, harus diperhatikan, akulturasi budaya dengan syariah itu seyogianya diaktualisasikan dengan bijak.
Maknanya, tidak ada unsur yang terkontaminasi. Kehidupan yang dinamis memang memberikan ruang terhadap perubahan. Namun, bukan berarti kearifan lokal yang diusung justru mengakibatkan kemadharatan. Wallahu a’lam.
Rasulullah SAW pernah bersabda kepada sahabat Abdurrahman bin Auf;
Buatlah perayaan, walau hanya sekadar dengan domba.
Hadits di atas diriwayatkan oleh dua syekh atau yang kita kenal dengan Imam Bukhari dan Muslim. Maka, hadits tersebut dianggap sebagai hadits shahih. Berdasar kepada hadits ini, ada pendapat yang mengatakan bahwa walimatul ursy itu wajib. Namun, kemudian pendapat tersebut disanggah dengan hadits berikut:
Maka, pendapat yang mengatakan bahwa walimatul ursy itu wajib kemudian disanggah dengan pernyataan bahwa walimatul ursy sebenarnya memiliki hukum sunnah muakkadah. Artinya, melaksanakan perayaan pernikahan tidak diwajibkan, sifat atau hukumnya hanya sunnah yang dikukuhkan.
Sedangkan, mengenai makanan yang disuguhkan untuk tamu undangan sebenarnya tidak terlalu besar. Dikatakan bahwa paling sedikit makanan untuk perayaan walimatul ursy adalah cukup dengan seekor kambing.
Hal itu berdasar kepada riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Saw pernah membuat perayaan untuk Zainab binti Jahsy dengan hanya seekor kambing. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasul juga pernah membuat suatu hajatan dengan buah-buahan.
Menilik kepada walimatul ursy dalam konsep Fiqh, kita bisa menemukan sisi kontras perbedaan antara dua masa dan dua daerah ini. Kesederhanaan yang dicitrakan oleh Islam melalui Nabi Saw adalah hal yang seyogianya bisa kita contoh. Jika mampu secara ekonomi, tidak masalah. Mirisnya, justru sebagian masyarakat memilih berutang untuk mengikuti tren tersebut.