Indonesia adalah negara plural. Penduduknya memeluk agama yang beragam. Tetangga, mitra kerja, bahkan teman sekampus yang beda agama terkadang menjadi sebuah keniscayaan dan realitas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Meskipun demikian, masih saja ada oknum dari umat Islam sendiri yang masih intoleran, bersikap keras, dan diskriminatif terhadap non-Muslim. Di antara dalil yang kerap mereka gunakan untuk menjustifikasi sikapnya ini adalah Surah al-Fath [48]: 29:

“Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…”. (QS. Al-Fath [48]: 29).

Ungkapan “asyidda’ ala al-kuffar” (bersikap keras kepada non-Muslim) dinilai sebagai sikap ideal seorang Muslim dalam berinteraksi dengan non-Muslim. Kesalahan memahami ayat ini kemudian menimbulkan gesekan sosial di tengah warga Negara Indonesia yang majemuk.

Penulis memandang kesalahpahaman mengenai Surah al-Fath [48]: 29 ini diakibatkan oleh pemahaman yang tidak utuh, pun mencerabut ayat ini dari akar historisnya. Untuk itu, tulisan ini akan berfokus pada dua hal. Pertama, tentang latar sejarah (kapan dan mengapa) ayat ini turun. Kedua, lebih spesifik menghadirkan beberapa penafsiran ulama mengenai ungkapan “asyidda’ ala al-kuffar”.

Ayat di atas merupakan ayat terakhir dari Surah al-Fath. Maka dari itu, penting memahami konteks seluruh ayat dalam Surah al-Fath ini dari awal. Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, juz 2 halaman 498, menampilkan riwayat dari Muhammad bin Ishaq dari az-Zuhri dari ‘Urwah dari al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin al-Hakam, bahwa keduanya berkata:

“Surah al-Fath dari awal hingga akhir surah diturunkan di (perjalanan) antara Makkah dan Madinah berkenaan dengan persoalan Perjanjian Hudaibiyah.”

Hal penting yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa sebab turunnya Surah al-Fath ini berawal dari niat suci Rasulullah beserta rombongannya untuk melaksanakan ibadah umrah yang dihalang-halangi oleh kaum kafir Quraisy.

Pada bulan Dzul Qa’dah tahun ke-6 H/Maret tahun 628 M., Rasulullah berangkat dari Madinah menuju Makkah bersama 1.500 rombongan. Terdiri dari Muslim Muhajirin, Anshar, dan Muslim Arab pedalaman. Tujuan rombongan ini bukan untuk berperang melainkan ingin melaksanakan ibadah umrah.

Sesampainya di ‘Usfan, Rasulullah didatangi seseorang yang mengabarkan bahwa kaum kafir Quraisy Makkah telah mengetahui perjalanan Rasulullah dan rombongannya. Mereka bermaksud memerangi dan mengahalangi rombongan Rasulullah masuk Makkah. Oleh karenanya, Rasulullah kemudian memutuskan untuk tinggal sementara di sebuah tempat yang disebut dengan Hudaibiyah.

Untuk menghindari pertumpahan darah, Rasulullah mengutus Usman bin Affan kepada kaum Quraisy untuk berunding dan memberitahukan maksud rombongannya, yaitu melaksanakan ibadah umrah. Berangkatlah Usman menuju Makkah dan ternyata Usman telah disandera pihak kaum Quraisy Makkah. Bahkan terdengar desas-desus bahwa Usman telah mati dibunuh.

Mendengar kabar ini, lalu Rasulullah mengajak rombongannya berkumpul di bawah sebuah pohon (syajarah ridhwan) dan melakukan bai’at untuk berperang sampai titik darah penghabisan dan tidak akan lari ketika semisal terjadi pertumpahan darah. Janji setia ini kemudian disebut dengan Bai’at Ridhwan.

Kaum Quraisy merasa gentar mendengar Bai’at Ridhwan yang dilakukan rombongan Rasulullah. Mereka kemudian mengembalikan Usman bin Affan dan mengutus Suhail bin Amr untuk melakukan perundingan dengan Rasulullah.

Di daerah Hudaibiyah inilah kemudian terjadi perundingan dan perjanjian damai antara Rasulullah sebagai perwakilan kaum Muslim dengan Suhail bin Amr sebagai perwakilan dari kaum kafir Quraisy. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Sulhu al-Hudaibiyah.

Di antara poin yang dihasilkan dari perjanjian ini yaitu bahwa “Siapapun dari kaum Quraisy yang datang kepada Muhammad tanpa izin walinya, maka akan dikembalikan kepada kaum Quraisy. Siapapun dari orang yang bersama Muhammad datang kepada kaum Quraisy, maka tidak akan dikembalikan”. (Lihat Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, juz 2 halaman 317)

Sebagian besar pembesar kaum Muslim ternyata tidak legowo dengan isi perjanjian ini. Orang yang paling keras atas keputusan perjanjian ini adalah Umar bin Khattab karena isi perjanjian ini nampak merugikan kaum Muslim.

Meskipun sebenarnya isi perjanjian ini merupakan kemenangan besar kaum Muslim. Karena di sini kaum Quraisy sesungguhnya telah mengakui kedudukan kaum Muslim di mata mereka. Itu terbukti kaum Muslim dapat melakukan ekspansi wilayah ke semenanjung Arab dan sekitarnya tanpa ada gangguan dari kaum Quraisy Makkah. (Lihat az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, Juz 26, hal. 471).

Terkait dengan petikan ayat “asyidda’ ala al-kuffar” dalam Surah al-Fath [48]: 29, menurut mayoritas ulama, sebagaimana yang dikutip oleh al-Alusi dalam kitab Ruh al-Ma’ani, Juz 13 halaman 276 adalah menggambarkan sifat para sahabat Rasulullah.

Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah menggambarkan sifat kaum Muslim yang menyaksikan dan ikut serta dalam Perjanjian Hudaibiyah. Lebih spesifik lagi, Al-Alusi dalam kitab Ruh al-Ma’ani, juz 13 halaman 281, mengutip riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa“asyidda’ ala al-kuffar” secara khusus menggambarkan sifat Sayyidina Umar.

Bersikap keras yang dimaksud dalam Surah al-Fath [48]: 29 tersebut adalah bersikap keras dalam hal melawan ancaman perang dan menampakkan permusuhan terhadap kaum Quraisy Makkah agar kaum Muslim tidak tampak lemah di mata mereka. Pun pada saat itu, suasana sedang memanas dan penuh ketegangan akibat dihalanginya kaum Muslim mengunjungi Makkah dan melaksanakan ibadah umrah.

Dalam kondisi seperti inilah Surah al-Fath [48]: 29 diturunkan. Tentu, kata Ibnu Asyur (1984, 26: 204) dalam kitab at-Tahrir Wa at-Tanwir,  ini merupakan hal yang wajar ketika kaum Muslim bersikap keras kepada kaum kafir Quraisy Makkah pada saat itu. Walaupun demikian, Rasulullah tetap berusaha menghindari adanya pertumpahan darah dengan disepakatinya Perjanjian Hudaibiyah meskipun nampak merugikan pihak Muslim.

Melihat konteks Indonesia saat ini dan berdasarkan beberapa penafsiran ulama terkait dengan Surah al-Fath [48]: 29, penulis berkesimpulan bahwa sifat keras kepada non-Muslim dalam ayat itu tidak bisa diberlakukan secara umum. Melainkan tertentu kepada sahabat nabi yang ikut dalam peristiwa Hudaibiyah, lebih-lebih Sayyidina Umar sebagai salah seorang pembesar kaum Muslim yang bersikap keras terhadap kaum kafir.

Dengan demikian, memberlakukan Surah al-Fath [48]: 29 dalam menghadapi realitas keragaman agama di Indonesia, yang dalam kehidupan sehari-hari warganya sudah berinteraksi dalam keadaan tenang dan damai, tentu kurang tepat. Ini berarti bahwa saat ini tidak seyogyanya seorang Muslim harus bermuka masam, bersikap keras, diskriminatif kepada (semisal) tetangga, kolega, teman sekampus yang non-Muslim.

Karena sejatinya, tidak ada agama yang mengajarkan bersikap keras kepada orang lain. Alih-alih sebagai agama yang garang dan menakutkan, Islam adalah agama yang mencintai kedamaian.

Leave a Response