KH Bahauddin Nursalim atau yang akrab dengan sebutan Gus Baha dalam suatu majelis pengajian kitab bersama para santri menjelaskan tentang pentingnya sanad dalam ajaran agama Islam.
Berikut penjelasan Gus Baha:
Kulo nek arep debate wong-wong iku kudu guyu. Malah melok goblok. Ngerungokno tok melok goblok (saya kalau dengar debatnya orang-orang itu ingin ketawa. Malah ikut bodoh. Dengar saja jadi ikut bodoh).
Wong debat ogomo kok gak ono referensi. Ra ono kitabe. Awakmu muni ‘menurut saya’. Emangnya Anda penting!? (debat agama kok tidak ada refrensinya. Gak ada kitabnya. Kamu ngomong menurut saya).
Wali ora, ulama ora, debat agama kok muni menurut saya (wali bukan, ulama bukan, debat agama kok mengatakan menurut saya).
Memangnya Anda mujtahid!?
Seharusnya tidak!
“Menurut kitab yang saya baca, dalam mazhab Syafi’i kitabnya ini, begini.”
Yang satunya bantah, “Dalam mazhab Maliki, kitabnya ini”.
Ini keren! Aku teko neng majelise (aku datang ke majelisnya).
Debat kok ‘menurut saya’, emang Anda siapa? Nabi ndak, wali ndak, ulama ndak, agama kok menurut Anda. Suargomu ora mesti kok! (debat kok menurut, Anda memang siapa? Nabi bukan, wali bukan, ulama bukan, kok menurut Anda. Surgamu tidak pasti kok!).
Makanya dibiasakan pakai referensi, pakai sanad. Agama ini butuh sanad!
اِنَّ هذا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
Inna haadzal ‘ilma diinun. Fandzuruu ‘amman ta’khudzuuna diinakum.
“Agama ini ilmu, ilmu ini agama. Maka lihatlah ilmu itu kamu ambil dari mana.” Lihat di Muqaddimah Shahih Muslim. Karena tanpa sanad itu bahaya!
Bahayanya tadi, misalnya begini. Ada orang alim, soleh, berteman dengan orang kafir, fasik atau berteman dengan orang cantik.
Pasti di hatinya satu, “Wong ayu iki, nek dikancani wong fasik engko malah ngelakoni hal-hal yang tidak terpuji. Nek dikancani wong alim, dibina, dijak ngaji, diarahkan yang benar, terus dinikahkan dengan orang soleh.”
(Orang cantik ini kalau berteman dengan orang fasik nantinya malah melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Kalau berteman dengan orang alim, nanti dibina, diajak ngaji, diarahkan yang benar, terus dinikahkan dengan orang soleh).
Ternyata pertemanannya hanya proses mengantarkan orang cantik tadi jadi baik dan nikah dengan orang soleh.
Berteman dengan orang kafir ya dia mengajarkan hujah-hujah (argumentasi) Islam. Sehingga suatu saat berharap menjadi orang Islam.
Tapi, orang liberal melihat itu ‘bukti bahwa agama itu bebas’!
“Wong alim nyatane koncoan wong ayu, wong kafir. Gak masalah, itu pilihan. Pilihan mbahmu!“ (Orang alim itu ternyata berteman dengan orang cantik, orang kafir. Gak masalah, itu pilihan. Pilihan kakek atau nenekmu!)
Ini beda!
Sama-sama secara dhohir pancaran orang fasik. Tapi, asal orang soleh itu motifnya beda.
Saya misalnya orang kaya. Ada ulama kaya. Wuh itu senengane (kesenangannya) belanja. Sampai istrinya itu marah-marah.
Saking parahnya ulama ini, kebetulan keluarga saya. Niliki anake, mulih iku anake kon golekno utangan (Menengok anaknya, itu pulang malah anaknya disuruh cari hutangan).
Padahal pertama berangkat pertama itu bawa uang, mau ngirim anaknya di (pondok) Sarang. Itu orang Jawa Timur, kiai, alim.
Eroh bakul kacang ning bis, gak mentolo, ditukoni. Eroh bakul mainan, sa’ake, wong tuwek, ditukoni. (Tahu penjual kacang di bis, gak tega, dibeli. Tahu penjual mainan, kasihan, dibeli).
Walhasil, sampai (pondok) Sarang duite iku wes entek. Tapi gowo mainan, gowo kacang. (Alhasil, sampai Sarang, uangnya itu sudah habis. Tapi bawa mainan, bawa kacang).
Sama-sama belanja, dia niatnya menyebar rahmatnya Allah!
Saya pernah mengalami itu, meski tidak pada skala yang ekstrem. Saya sampai sekarang, anak saya mulai TK, SD tak sangune terus (selalu saya kasih uang jajan). Kadang dia beli jajan yang sama sekali nggak doyan. Dulu ibunya marah, “Wong ora dipangan, kok dituku Gus?” (Kan tidak dimakan, kok dibeli Gus?)
“Ya masio ora dipangan bakule tetep seneng. Butuhe bakule payu kok, ora kok dipangan”. (Ya meskipun tidak dimakan, penjualnya tetap senang. Butuhnya si penjual itu, laku. Bukan butuh dimakan.)
Tapi utek-utek medit ngene, pikirane kan. Nek ora dipangan, ojo tuku. Yo sa’ake bakule. Bakule dungo supoyo laris. (Tapi otak-otak pelit memang gitu pikirannya. Kalau tidak dimakan, ya jangan dibeli. Ya kan kasihan penjualnya. Penjual itu doa supaya dagangannya laris.).
Duwek lima ngewu bagi kita kan ndak penting. Yo wes ben entek. Ben manfaati bakul-bakul. (Uang lima ribu bagi kita kan gak penting. Ya sudah biar dihabiskan. Biar bermanfaat bagi penjual-penjual itu). Karena orang kadang dikasih itu malu karena gak punya harga diri.
Banyak ulama yang gitu. Boros. Tapi menyebar rahmat.
Asal orang soleh itu baik-baik saja!
Ono wong soleh mlete. “Wah, duwekku akeh, tenang wae!” (Ada orang soleh cengil. “Wah, uangku banyak, jadi tenang aja!)
Secara dahir memang mlete (cengil) . Ternyata ngenakno seng dike’ii. Ben ora perasaan. (Ternyata membuat nyaman kepada yang dikasih. Biar tidak perasaan).
Nek misale wong soleh terus sopan. “duwekku pas-pasan. Seng tak pangan sesok ora ono.” (Kalau misalkan orang soleh terus sopan. “Uangku pas-pasan an. Yang dimakan besok tidak ada”.
Seng dikei yo sungkan lah dul-dul! (Yang dikasih ya sungkan, nak-nak!)
Maka wong soleh iku kudu mlete! Ben seng dikei ora sungka. (makanya orang soleh harus gaya! Supaya yang dikasih tidak sungkan).
Butuhe iku, ngenakno wong seng dikei (yang dibutuhkan itu, membuat nyaman orang yang dikasih).
Asal wong soleh dekne ngomong gitu itu niatnya juga soleh. Tapi nek wong ora soleh, pancen niate tenan. Bolak-balik ancen wong gak soleh iku masalah! (asal orang soleh, dia ngomong gitu itu niatnya juga soleh. Tapi, kalau orang tidak soleh, memang niatnya beneran. Di mana-mana memang orang tidak soleh itu masalah!).
(Riski Maulana Fadli)
Simak sumber pengajian ini: klik >> “Gus Baha – Sanad Agama”