Dalam suatu pengajian tafsir bersama para santri, pengasuh pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA Kragan, Kabupaten Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nur Salim atau yang dikenal dengan Gus Baha menerangkan tentang cara bersedekah yang dahulu dilakukan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Berikut penjelasan lengkap Gus Baha:
Saya pernah menjalani ini (sedekah) berkali-kali meniru Sayyidina Ali. Pokoknya saya ijazahkan kepada sampean dan harus dilakukan. Setidaknya sekali seumur hidup. Kalau ditanya Tuhan, setidaknya sudah pernah dilakukan, walaupun sekali.
Sayyidina Ali apabila memiliki uang, ia membaginya ke dalam 4 bagian. Jadi, misalnya punya uang 100 ribu dibagi menjadi masing-masing 25 ribu. Kalau satu juta ya 250 ribu.
Saya sudah pernah melakukannya. Punya uang 200 ribu, yang 50 ribu saya kasih ke orang secara jahran (terang-terangan). Berarti sudah satu sedekah secara terang-terangan.
Kemudian yang 50 ribu saya kasihkan secara sirran atau secara rahasia. Berarti sudah 100 ribu sedekah ‘ala niatan wa sirrran (terang-terangan dan samar-samar).
Sedekah satu di malam hari dan terakhir di siang hari. Sebab, Sayidina Ali atau orang dulu itu benar-benar memperhatikan Al-Qur’an sampai sebegitunya (detail).
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُم بِٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ سِرًّا وَعَلانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Jadi, Sayyidina Ali apabila hendak sodaqoh akan menghitung uangnya dulu.
“Semalam aku sudah sedekah, oh berarti malam sudah. Kemudian siang tadi belum berarti nanti sedekah siang. Kemudian sedekah yang tertutup lantas kemudian yang terang-terangan.”
Sayyidina Ali memiliki kebiasaan membagi uang menjadi 4 bagian. Karena begitulah keterangan Al-Qur’an.
إِن تُبْدُوا ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا ٱلْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّـَاتِكُمْ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Oleh karena itu sedekah kadang-kadang yang perlihatkan kepada orang. Meskipun khawatir riya’. Bagaimanapun itu adalah dawuh (firman) Allah. Kalau takut riya’ berarti takut setan.
Paham nggeh? Jadi sedekah naharan (siang), lailan (malam), sirran (samar-samar) atau niatan (terang-terangan), semuanya pernah. Saya sudah pernah melakukan. Pokoknya sekali-kali pernah dilakukan.
Jadi, ini adalah cerita kalau orang dulu siang tidak jadi beramal, maka diganti malam hari, atau sebaliknya.
Makna dari diganti itu melakukan kebaikan yang tidak jadi di suatu waktu, maka diganti di waktu yang lain.
Ketika kebaikan itu tidak dilakukan, maka ia melakukannya di waktu yang lain. Bukan kok, “wah sudah kelewat momentumnya sudah kelewat”. Mana ada amal baik punya momentum.
Orang sekarang bahasanya aneh, momentum sudah kelewat. Amal baik kok butuh momentum.
Kamu kira Malaikat libur mencatat apa? Kok ngomong kelewat? Amal baik ya amal baik saja Malaikat kok ketinggalan momentum?
Kalau sedekah siang tidak ketemu orangnya, ingatlah berikan pada malam harinya. Bukan malah, “wah sudah kelewat, bukan rejekinya”. Ini yang kriminal, niat baik kok dibatalkan. (Hafidhoh Ma’rufah)