Ulama ahli Qur’an dan Tafsir asal Kab. Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha dalam suatu majelis ngaji kitab tafsir bersama santri-santri menceritakan kisah lucu tentang Banser ketika dirinya diundang mengisi acara pengajian di PBNU.

Berikut keterangan Gus Baha:

Menurutku, ngaji ulama harus paham. Tidak ada gunanya datang ngaji terus tidur. Ngaji itu seperti shalat, ketika tidur tidak sah.

Tapi, kalau mendatangi pengajian pidato terus tidur itu sah, sebab kalau didengarkan juga begitu kualitasnya sama saja.

Makanya, maknani (memaknai) Qur’an harus lengkap!

Pokoknya kalau kalian (para santri) tidak paham ngaji, besok saya suruh macak (memakai) seragam Banser.

Jadi jelas fungsinya mengamankan. Tidak perlu mengaji serius.

Maksudnya, Banser yang paham pun tidak perlu serius mendengarkan. Yang penting jaga dan mengerti pergerakan (kiai). Kalau serius ngaji dan mendengarkan bagaimana?!

Seperti dahulu saya ketika di Kantor PBNU, terus ada Banser suka (ngaji) saya. Akhirnya pas ada kiai lain lewat malah tidak diurusi dan tidak disambut karena ikut ngaji saya.

“Gimana kok kiainya datang tidak disambut?” kata kiai.

“Ketemu Gus Baha itu jarang-jarang, jadi ikut mengaji saja.” Hehehe

Kalau ada Banser salah lalu dikritik kiai, menurutku itu salah. Kalau Banser pinter ya nggak jadi Banser. Ya pantas kalau salah sedikit-sedikit.

Itu benar (seperti kisah guyonan) orang Madura (ketika ditangkap polisi).

“Tahu kalau ini larangan?!” tanya polisi.

“Ndak tahu pak,” jawab orang Madura itu.

“Kenapa?!”

“Ndak bisa baca.”

“Kenapa ndak bisa baca?!”

“Kalau bisa baca jadi polisi, pak!”

Hehehe

(Gus Baha mencontohkan lagi)

“Bisa baca kitab?”

“Tidak bisa, Gus.”

“Kenapa ndak bisa baca?!”

“Kalau bisa baca ya jadi Gus Baha…”

Hehehe

Banser kok disalahkan. Kalau dia ngaji terus ngaji ya nggak akan jadi Banser. Aneh-aneh, mbok yo kiro-kiro.”

Simak sumber video ngaji ini: “Gus Baha – Kisah Lucu Banser

Leave a Response