Ulama ahli Al-Qur’an dan Tafsir asal Kab. Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha dalam suatu pengajian kitab bersama para santri menjelaskan tentang hukum uang BPJS yang mana seseorang bayar iuran terus, tapi dirinya tidak pernah sakit.

[Link versi video ada di bawah]

Berikut penjelasan Gus Baha:

Saya mau cerita kitab-kitab kuno. Dulu itu ada Kafaalatul-Badan (كفالة البدن) tentang asuransi jiwa dan asuransi macam-macam, tapi dijamin manusia.

Kalau sekarang kan dijamin perusahaan atau dijamin PT (Perseroan Terbatas) atau apalah namanya bermacam-macam, milik orang banyak.

Ada potensi gharar (tipuan). Artinya begini, Anda membayar BPJS (Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial) misalnya baru bayar dua bulan. Kemudian jatuh sakit dan ternyata habis 100 juta.

Sedangkan, ada yang bayar terus menerus, tapi tidak sakit-sakit, “Kok rugi aku!” Hehehe

Lah itu menurut fikih termasuk gharar karena ada yang baru bayar dua kali sudah menggunakan, sudah sakit.

Ya ada juga yang bayar terus, tapi tidak sakit-sakit lalu bilang ke saya, “Piye Gus, bayar terus nggak loro-loro koyok kulo?” (Gimana Gus, bayar terus tapi, tidak sakit-sakit seperti saya?)

Maksudnya kan tidak menggunakan (pelayanan asuransi).

Makanya, fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) kan dasarnya haram, lalu supaya tidak haram yang membayar itu disuruh niat hibah (memberi). Tapi, niat hibah kalau tidak dapat kok mengeluh!

Negara ya juga menyuruh untuk niat hibah. Namun, terkadang yang dapat (bantuan BPJS) itu bayarnya belum lama, bayarnya baru sedikit. Lah yang sudah bayar lama? Tidak dapat-dapat.

Lama-lama kok, yang ikut Jasa Raharja (salah satu perusahaan penyedia asuransi) bilang, “Kok aku ora tibo-tibo?” (Kok saya tidak jatuh/kecelakaan?). Hehehe

Padahal setiap kita naik bus kan pasti dikurangi (pajak) Jasa Raharja.

Jadi, saya sering naik bus ke Yogyakarta mulai bapak-bapak dari tahun 2005 sampai sekarang, itu dapat banyak. Lha kan nggak jatuh-jatuh. Ya repot kalau diatur begitu!

Terus ada ulama mentoleransi, dalam hal-hal yang muamalah yang gampang itu ditoleransi. Begini  istilahnya الرضا سيد الأحكام (kerelaan adalah pokok atau inti dari hukum-hukum).

Sebenarnya ada solusi, kalau ‘ain (bendanya) tidak haram, saya ulangi lagi, bendanya tidak haram, seperti khamar atau arak, maka itu masih ada solusi الرضا سيد الأحكام.

Bagaimanapun juga dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

“Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Qur’an Surat An-Nisa, ayat 29)

Saling ridha itu bisa diukur, yaitu ada rasionalnya!

Ada rasionalnya itu ya seperti yang sudah saya jelaskan tadi, misalnya bayarnya jangan mahal-mahal, yang dapat yang tidak terlalu kaget dan yang kehilangan juga tidak terlalu mengeluh.

Jadi menurut saya, Jasa Raharja itu kalau (pajak) 50-100 rupiah itu sama enaknya.

Menurut saya kalau jadi pejabat, ini dengarkan baik-baik ya, saya senang Jasa Raharja agar tetap 50 rupiah atau 25 rupiah.

Karena misalnya Musthofa bayar Jasa Raharja sampai tua belum pernah jatuh kecelakaan. Sampai sekarang masih hidup.

Kan cara mengikhlaskan gampang. Misalnya orang sejak kecil bepergian sampai mati ya tidak pernah kecelakaan. Mengikhlaskan uang yang tidak seberapa kan mudah, karaena hanya 25 rupiah.

Tapi, kalau misalnya 500 rupiah atau 1.000 rupiah itu kan terasa.

Penjual pentol saja kalau misalnya kepotong 1.000 rupiah setiap berjualan, misalnya setiap kulakan (berbelanja) di kota kepotong 1000 rupiah, padahal dia profesinya hanya penjual cilok, misalnya.

Paham nggeh yang saya maksud?

Nah, itu cara berpikir Imam Syafi’i, justru karena syaratnya ridha, kita harus mencari muhaqqaraatil umuur (محقرات الأمور), artinya sesuatu yang sepele.

Makanya, dalam muhaqqaratil umur (محقرات الأمور) dalam fikih Syafi’i dibolehkan jual beli mu’aathah (مُعَاطَة). Mu’aathah itu saling tukar menukar kemudian dianggap jual beli.

Nah, kalau tidak begitu, kiai-kiai ya maling semua. Semua ulama ya maling. Bagaimana tidak, kalau masuk ke warung kan langsung makan pisang goreng. Tidak pamit tidak apa dulu, langsung makan.

Lha yang sudah dimakan itu sudah disebut milikmu apa belum? Kamu bilang sudah dibeli, tapi belum kamu bayar. Kamu mau sebut tamu, tapi kamu bukan tamu karena masuk warung. Hayo…!

Kalau kamu sebut jual beli yang sah nanti mengeluh karena harganya tidak sesuai, sebab kamu mengira harganya 2.000 rupiah-an ternyata harganya 5.000 rupiah. Kayak orang beli bakso di Malioboro, semua pasti pada mengeluh kan?

Lha teman saya sampai pulang, dia menyangka makan berempat di warung habis 20.000 rupiah, dikira bakso harganya 5000 rupiah kayak di desa. Ternyata harganya 100.000 rupiah, uangnya kurang! Hehehe

Lha iya, yang begitu itu rawan gharar (tipuan). Mesti asumsinya pembeli sama kepentingan penjual itu beda di warung.

Misalnya, orang biasa beli pisang goreng di warung desa, asumsinya 1.000 rupiah. Setelah itu makan pisang goreng di Jakarta, PD (percaya diri) makan empat. Ternyata dinilai 5.000 rupiah (setiap satu pisang goreng). Dia bawa uang 10.000 rupiah.

Nah, makanya imam (madzhab) lain itu mengatakan, jual beli mu’aathah (مُعَاطَة) itu tidak boleh. Bagaimanapun potensi tertipu juga tinggi kalau terutama kulturnya beda dan daerahnya beda.

Tapi, kalau kamu di pondok, terus di daerah yang sudah kamu kenal, misalnya tukang-tukang becak di komunitas itu sudah pasti halal karena tahu harganya 2.000 rupiah, sudah makan dulu, sudah menghitung budget-nya dulu, macam-macam. Ini disebut mu’aathah!

Jadi tidak ada ijab kabul, pokoknya ya sudah langsung dilakukan.

Lha ini Imam Syafi’i mensyaratkan “bi muhaqqaraat” (بمحقرات), sesuatu yang sepele. Karena tidak mungkin kalau misalnya jualan mobil Mercy atau Alphard, masak langsung kamu main ambil saja? Ya tidak mungkin!

Lha itu dikira-kira dulu, disebut illaa an takûna tijâratan an tarâdlin minkum (إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ).

Makanya, kalau kamu bayar BPJS itu diniati sedekah. Kalau dapat ya niatnya dapat rezeki, begitu saja!

Pokoknya kamu jangan komplain. Kalau komplain berarti hakikatnya kamu niat bayar, karena menuntut!

Lha nasibnya masuk surga ya kayak gitu. Ini saya teruskan. Jadi tidak ada gambaran akhirat kecuali seperti gambaran di dunia.

Makanya, kamu jangan mengharamkan BPJS nemen-nemen (keterlaluan)!

Biasa, Allah punya adab, orang bayarnya sedikit dapatnya banyak, itu biasa. Bayarnya sedikit dapatnya banyak, itu biasa karena Allah itu apik’an (Maha baik).

Link versi video ngaji:

Gus Baha – Hukum BPJS

Leave a Response