KH Ahmad Bahauddin Nursalim, ulama ahli Qur’an yang juga pengasuh Pesantren Tahfidz LP3IA, Narukan, Kab. Rembang, dalam suatu majelis pengajian kitab tafsir bersama para santri pernah menjelaskan tentang hukum kawin atau nikah mut’ah (kontrak).
Berikut penjelasan Gus Baha:
Saya tidak suka kawin mut’ah (kontrak).
Kawin mut’ah itu kawin yang menggunakan waktu atau tempo waktu tertentu.
Seandainya ada massa ‘iddah (waktu larangan dinikahi) kan masih lumayan. Apakah perempuan-perempuan yang dikawin mut’ah di Bogor dan beberapa daerah.
Praktiknya ada naib (penghulu). Misalnya ada orang Arab datang karena takut berzina, tapi ingin merasakan perempuan. Maka, caranya terus dikawin 2 bulan, lalu orang Arab tersebut pulang.
Nah, apakah perempuan tersebut mau ‘iddah atau tidak? Nanti baru 2 hari sudah ada yang menikahi terus bagaimana? Nanti kelamaan kalau pakai ‘iddah.
Kalau mau ‘idahh masih lumayan. Kan ‘iddah rata-rata hampir 3 bulan.
Tapi saya yakin, mut’ah itu tidak boleh lho! Sudah tidak boleh sekaligus juga ada kesalahan; nikah tanpa ‘iddah.
Saya ulangi lagi. Kawin mut’ah itu jelas tidak boleh. Keyakinan ulama Ahlussunnah sedunia, kawin mut’ah tidak boleh.
Kalau alasannya sudah dikawin, apakah perempuan itu siap ketika lelakinya (suaminya) kembali ke Arab? Misalnya baru seminggu, lalu ada laki-laki datang (untuk menikahi).
Saya tanya, kira-kira, perempuan tersebut dikawin lagi mau atau tidak?
Kalau mau, berarti kan nikah sah seharusnya setelah dicerai kan ada ‘iddah yang minimal 3 bulan. Tiga kali masa suci, anggap saja 3 bulan.
Kira-kira mau menganggur 3 bulan?
Kekhawatiran fatal menurut saya, ketika orang Arab pulang ternyata lupa menceraikannya, karena eman-eman (sayang sekali).
Jika tidak menceraikan, berarti masih istrinya orang Arab tersebut.
Sebenarnya ‘iddah adalah solusi supaya tidak terjadi ikhtilatil ansab (tercampurnya nasab).
Yang menyebabkan pernikahan rusak itu karena tidak mau memiliki keturunan. Bagaimana pun, kalau berani menikah ya berani memiliki keturunan.
Kalau cuma untuk kelon-kelon (bersetubuh), walaupun tidak berzina, tapi terus kalau terlantar bagaimana? Misalnya orang Arab tadi pulang dan lupa menceraikan, lalu si perempuan itu jadi istrinya siapa? Ketika orang Arab tadi ditelepon, malah nomornya sudah ganti.
Ta’liq nikah? Tidak ada yang membaca. Kalau nikah resmi kan ada, “Jika dalam 6 bulan tidak memberi nafkah lahir dan batin, maka terjadi perceraian…”
Makanya, Kanjeng Nabi bersabda, تناكحوا تناسلوا (Jika kamu nikah, maka cepat-cepat punya anak). Barokahnya punya anak kan jelas dan ikatannya tidak ruwet.
Link Ngaji Versi Audio-video: