Ulama ahli Al-Qur’an dan Tafsir asal Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) dalam suatu pengajian kitab tafsir bersama para santri menjelaskan hukum makan yang tidak ada nash (dalil Al-Qur’an dan Hadis) halal haram seperti bekicot menurut madzhab Syafi’i dan Maliki.

Berikut penjelasan dari Gus Baha:

Saya sebagai ulama harus mengatakan, haram yang disepakati ulama itu hanya babi. Karena saya punya kekhawatiran, dan kekhawatiran saya itu nyata.

Khawatir saya, suatu saat, seperti ayam itu divonis banyak mengandung flu burung. Sementara yang seperti bekicot dinyatakan sehat bagus secara medis.

Baca juga :  Ngaji Gus Baha: Maksud Tanda Hitam di Jidat Bekas Sujud

Apalagi sekarang banyak pakar gizi, pakar berbagai macam, bisa saja secara penelitian bekicot itu tidak punya efek samping, sedangkan ayam yang kamu katakan halal malah divonis punya efek samping.

Kalau kamu ngotot secara madzhab Syafi’i, kamu akan kehilangan arah. Demi madzhab Syafi’i, kamu kehilangan sesuatu yang prinsip.

Saya ulangi lagi ya…

Kita bermazhab Syafi’i, tapi jangan membunuh rahmatan lil alamiin.

Makanya saya ngaji di sini, di mana-mana, kita harus sesering mungkin cerita Madzhab Maliki, Madzhab Hanafi, terutama di bab math’uumaat (مطعومات), hal-hal makanan.

Misalnya kita yakin, perasaannya orang Indonesia. Ada kiai kok makan tikus, terus ‘jatuh’ (tidak terpandang) . Tapi kita sebagai ulama harus bilang bahwa yang mujma’ alaih (disepakati) bi nasshil qur’an hanya lahmul hinziir (daging babi) dan maitah (bangkai).

Berarti bekicot, hasyaraatul ‘adi (حشرات العادي) serangga, trenggiling, itu menurut Imam Malik itu boleh.

Kita harus tetap bilang menurut Imam Malik itu boleh. Karena nanti agama itu pasti kalah dengan ilmu pengetahuan.

Orang nanti pasti tidak mau makan ayam ketika divonis flu burung dan orang lebih nyaman makan bekicot ketika oleh ahli medis dinyatakan positif baik.

Wong saya kemarin lihat di televisi itu (ada) debat. (Waktu) itu ada kiai tidak bisa jawab. Ada orang suka makan kelelawar dan yang satunya suka makan ayam.

“Sama-sama tidak ada hadisnya, Pak Kiai. Menurut saya sama-sama halal itu ya kelelawar, karena kelelawar makannya buah, kalau ayam kan makannya kotoran manusia.”  (Kata orang itu kepada kiai)

Harusnya kelelawar itu lebih bersih, karena makanannya buah.

Ayam makanannya apa?  Batang (bangkai) doyan, kotoran manusia doyan, uget-uget (jentik-jentik) ya doyan.

Ini, kiainya bingung. Hehehe

Wong tidak ada hadisnya.

Karena di hadis itu, Nabi tidak menjelaskan detail tentang mana yang haram dan mana yang halal.

Hanya kebetulan kita bermadzhab Syafi’i yang meyakini kullu dzii naabin (كُلُّ ذِي نَابٍ) setiap binatang buas yang bertaring, haram.

Lalu kullu dzii mikhlabin minath thuyuur (كُلُّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطُّيُوْرِ) setiap burung yang mempunyai kuku panjang, haram.

Akhirnya, macan itu haram. Buaya itu haram. Terus burung yang nyengkram (berkuku panjang) itu haram.

Makanya, masalah halal haram itu haknya Allah. Kita tidak pernah tahu. Sebab itu kita menggunakan Imam, dalam hal ini kita mengikuti Imam Syafi’i (tentang keharaman bekicot).

Tapi, mengikuti bukan berarti kita harus sepaneng (terlalu serius) harus begitu. Karena kalau kamu sepaneng nanti akan weleh.

Bagaimana pun Imam Syafi’i punya guru yang bernama Imam Malik yang mudah menghalalkan hewan-hewan yang tidak ada nash (dalil) haram.

Link Sumber Video:
Gus Baha – Hukum Bekicot (1)”

Gus Baha – Hukum Bekicot (2)”

Leave a Response