Dalam suatu pengajian tafsir bersama para santri, pengasuh pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA Kragan, Kab. Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menerangkan tentang perdebatan hukum bunga bank yang terjadi di Indonesia.
Berikut penjelasan dari Gus Baha:
Dari dulu Muktamar NU dan Muhammadiyah, hukumnya bank bagaimana? Mesti qaul (pendapat) ada 3 saja. Hahaha…
Pertama, tegas haram, kedua awur-awuran (mengawur) halal, dan ketiga menjaga hati-hati (syubhat). Orang Indonesia itu halal, haram, syubhat.
Dari Muktamar NU tahun 1926 sampai sekarang 2010, tetapi barokahnya dibahas (didiskusikan dalam bahtsul masail) malah menjadi intelek.
Karena kiai-kiai yang lugu-lugu itu bertanya, “Pasnya (hukum) bank itu bagaimana to?” Kemudian ada pakar bank menerangkan.
“Jadi beda ya dengan bank dulu?” (kata kiai-kiai lugu).
Tapi lumayan jadi paham. Misalnya begini, saya berkali-kali saya ikut.
Dulu itu kenapa riba begitu dihujat? Karena berkaitan dengan orang miskin berhutang kepada orang kaya agar bisa makan.
Misalnya saya hutang Anda 100 ribu untuk makan. Janjinya minggu depan bayar, ternyata belum bisa bayar ditambah bunga 120 ribu sampai 140 ribu.
Intinya, riba begitu dihujat oleh Allah. Wong menghutangi orang miskin kok berharap bunga itu kan pemerasan. Orang miskin kok diperas.
Oleh bank, hal itu dibalik. Orang miskin malah tidak bisa hutang bank. Syarat utamanya menggunakan jaminan. Jadinya yang pada hutang orang kaya.
Kemudian Mbah kiai-kiai dijelaskan, “Jadi, bank ini uang negara, Mbah. Jumlahnya miliaran, triliyunan. Jadi yang bisa hutang orang-orang kaya, terutama Cina-Cina itu.
“Lah apabila jenengan haramkan menggunakan bunga, berarti bayar hutangnya apa adanya. Negara tidak untung.”
“Lah kalau begitu beda…” (kata mbah kiai) Hahaha…
Karena dia (kiai) eman, ada Cina enak-enakan bisa hutang kok tidak bayar bank.
Jadi, jika anda terlalu mengharamkan bunga bank, menguntungkan Cina. Karena tukang hutang bank tapi tidak diwajibkan bayar bunga.
Dia jadi mikir, “Hukum kok menguntungkan Cina!”
“Berarti beda ya, Gus?”
“Beda, Mbah..!” Hehehe
Toh, akhirnya tidak putus (hukum), tapi minimal ada proses intelektual, ada proses transfer informasi, ada proses pendidikan. Sesuatu yang didiskusikan itu tradisinya Al-Qur’an dan Hadits.
Sekarang masalah riba itu diperdebatkan, karena ada nilai instrinsik, nilai normal yang rusak. Misalnya begini saat saya diskusi fikih, “Mbah, kalau riba haram total dengan makna bunga ya repot. Masalahnya ada nilai bunga yang setara dengan nilai murni.”
Misalnya begini, tahun 1970 Anda punya hutang 1.000 rupiah, tahun 2006 dibayar 1000 ya bagaikan langit dan bumi.
Tahun 1970 orang bisa menghutangi 1000 rupiah itu menjual ayam jago. Sekarang 1.000 rupiah saja tidak dapat makanannya ayam jago.
Saya mendapati tahun 1984, keluarga saya haji dengan menjual 6-10 sapi. Padahal haji biayanya 6 juta. Sekarang haji 30 juta hanya butuh menjual 3-4 sapi.
Artinya apa? Nilai uang itu tidak terkendali. Makanya kata orang desa-desa itu, “Gus haji sekarang lebih murah daripada dulu.”
Ibu saya, cerita zaman Mbah saya haji itu habis sapi sampai 16. Terus era pesawat habis sapi 6-7. Sekarang 30 juta cuma habis 4 sapi.
Artinya, misalnya orang tahun 1970 orang punya hutang 7 juta, sekarang 2010 disuruh bayar hutang 7 juta itu ya tetap tidak adil.
Maka sebaiknya menggunakan kurs. Kurs ini diakui dalam Islam. Kalau dalam masalah begitu, dianjurkan pakai kurs emas.
Jadi uang 20 juta atau 2 juta saat itu mendapatkan emas berapa gram. Dikurs menggunakan emas. Lah sekarang kalau 2010, emas itu berapa.
Sebab itu dalam ekonomi Islam atau fiqih, fulus (uang) tidak pernah dihitung sebagai mata uang. Meskipun berlaku seperti emas, yang dihitung adalah emas.
Ternyata, di bank-bank dunia yang dihitung sampai sekarang itu adalah kurs emas. Coba dalam masalah seperti ini, terus kamu samakan riba dengan arti “bunga” kan beda. Itu kan penyusutan faktor deflasi, faktor pengurangan nilai uang.
Misalnya, Anda tahun 1980 punya hutang 2 juta. Tahun 2010 dibayar 2.5 juta. Terus kamu menghukumi yang 500 ribu adalah riba, karena menambahkan.
Kata yang memberi hutang, “Tambah apanya? Ya masih rugi aku. Uang 2 juta dulu sama sekarang masih banyak 2 juta dulu.”
Tapi, di sini saya tidak menentukan hukum lho ya..!!
Barokah diskusi, akhirnya kiai-kiai jadi tahu masalah yang terjadi dalam sistem keuangan.
Akhirnya dari dulu, kalau ada bahtsul masail masalah riba itu pasti “haram”, “halal”, dan “syubhat”.
Kalau ada riba diputusi halal itu kenekaten (terlalu nekat). Tidak ada ulama senekat itu. Itu iseng, kalau ada riba kok halal itu muhal (mustahil).
Namun, masalahnya “riba” dengan “sistem perbankan” adalah sesuatu yang dulu-dulunya memang beda.
Kalau dulu orang miskin hutang untuk makan. Tapi, kalau sekarang yang hutang itu harus orang kaya. Syarat awalnya harus dengan sertifikat atau jaminan. Itu pun hanya 30% dari nilai agunan.
Sumber video pengajian:
“Gus Baha – Hukum Bunga Bank”