Ulama ahli Qur’an dan Tafsir asal Kab. Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim dalam suatu majelis pengajian kitab bersama para santri menjelaskan maksud hadis Nabi tentang perintah menikah serta memperbanyak keturunan (anak).
Berikut penjelasan Gus Baha:
Saya pernah debat dengan seorang ulama. Dia alim betul dan debatnya tidak pakai nafsu. Cuma dia hafalan hadisnya, sehingga terlalu kuat rasionalnya.
Nabi pernah bersabda:
Kata Nabi, kalau kamu nikah, maka cepat-cepat punya anak, kalau bisa banyak. Karena nanti aku bangga kalau umatku banyak.
Saya bilang, menurut saya ini teori matematika yang fardhu ‘ain dalam konteks tertentu.
Kata dia tidak, potensinya sama. Misalnya, Anda punya anak sepuluh dengan ekonomi kualitas rendah. Mending anak dua dengan ekonomi seperti bagus
Misalnya penghasilan Anda satu juta sebulan, kalau punya anak sepuluh kan miskin?!
Tapi, kalau penghasilan satu juta anak dua kan lumayan. Membayangkannya istri satu ya, jangan bayangin macam-macam! Hehe
Orang takut terlantar punya anak dua itu ya bagus. Tapi, menurut saya dalam konteks tertentu banyak anak itu wajib.
Misalnya begini. Saya kemarin lama di Jogja ketemu pakar matematika, dia tanya begini, “Gus, saya minta saran, hadis Nabi filosofinya memakai eksak.”
Saya contohkan pakai hadis ini. Misal begini contohnya, ada suatu desa, kamu bayangkan di NTT atau Papua atau di mana. Bayangkan di desa itu semua sudah dengan sistem demokratis.
Ada orang kafir berjumlah 500, orang Islam berjumlah 500. Kan posisinya 50:50 (fifty-fifty). Kalau orang kafir nanti punya anak sekitar 10, berarti jadi berapa? 500 kali 10? 5000. Sedangkan orang Islam punya dua anak 2 saja, berarti jadi berapa? 1000.
Berarti orang kafir jumlahnya 5500 dan orang Islam 1500, termasuk ayah-ibunya.
Hal ini kalau ada pemilihan desa (Pildes), secara demokratis pasti yang menang adalah orang kafir. Akhirnya orang Islam jadi minoritas dipimpin kafir.
Belum termasuk tradisi-budaya, orang jagongan (mengobrol) di perempatan, di warung kopi, di jalan, di angkot, tukang becak, tukang dokar, objek, mayoritas kafir. Sehingga kata “Allah di sini (desa tersebut) menjadi asing.
Sekarang kalau di balik, orang Islam punya anak 10, sedangkan orang kafir pakai KB, berarti Islamnya ada 5500, sedangkan yang kafir hanya 1500.
Misalnya, Pemilihan Desa ya menang, nanti di warung-warung juga berucap “Allah”, misalnya setelah minum baca “Alhamdulillah, meskipun tidak sholat.
Di perempatan-perempatan juga ada yang sholawatan karena ikut jaga parkir. Membuat pengajian PD (Percaya Diri) karena mayoritas.
Jangan membayangkan yang ekstrem-ekstrem, bayangkan yang demokrasi saja.
Inilah maksud Nabi kalau nikah harus punya anak banyak. Dalam konteks seperti ini, memperbanyak anak tentu fardhu ‘ain, karena akibatnya sekali saja kamu tidak banyak, mereka yang banyak. Akhirnya kalah kepemimpinan, kalah budaya, kalah tradisi.
Jadi, sebagian ilmu Nabi itu eksak (bisa dihitung).
Link Ngaji Versi Video: