Ulama ahli Al-Qur’an dan Tafsir asal Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim dalam suatu seminar di kampus swasta di Semarang mendapat suatu pertanyaan tentang status sanad ngaji lewat media sosial (medsos) seperti Youtube, sebab belum bisa bertemu langsung.

Berikut jawaban Gus Baha:

Saya mungkin yang kesekian kali mempunyai tamu dari Kalimantan dan Sulawesi, yang mereka pernah mondok tapi ‘tersiksa’ karena ngaji sama saya hanya lewat virtual atau medsos.

Kebaikan itu pasti sudah benar. Dengan ketemu langsung atau tidak, secara sanad itu sudah cukup. Cuma ada kebenaran yang butuh jelimet (detail) dan butuh tahqiq (pengkajian). Nah, itu yang harus ketemu langsung.

Tapi, kalau kebenaran umum itu tidak perlu (ketemu). Karena kebenaran bahasa lainnya adalah al-ma’ruf (المعروف), yakni sesuatu yang mudah dikenali oleh akal, nurani, dan sistem sosial.

Sedangkan (lawan kata ma’ruf), munkar (المنكر) adalah sesuatu yang aneh. Andaikan tidak ada agama pun, orang akan bilang bahwa “selingkuh” itu munkar.

Andaikan tidak ada agama pun, sesuatu milik siapa harus jelas. Hingga diatur lah, ini istrinya ini, ini barangnya ini. Yang paling berhak untuk memakai siapa? Ya yang punya.

Makanya, menikah itu disebut ma’ruf. Lalu yang nggak punya kok memakai? Itulah namanya munkar. Kan aneh, nggak punya kok memakai tanpa izin.

Sehingga, kebaikan-kebaikan ini tidak butuh sanad karena semua pasti kenal. Makanya, kebaikan itu disebut al-ma’ruf bermakna عرفه العقل (akal mudah menerima), sedangkan munkar bermakna أنكره العقل (akal menjadi aneh).

Kan tidak mungkin orang waras bilang: “Ini adalah minuman, kalau kamu minum akan hilang kesadaran, maka minuman ini halal.”

Itu aneh nggak? Aneh kan?!

Tapi, kalau kebalikannya: “Ini minuman manfaat untuk stamina dan manfaat untuk kesehatan, maka ini halal.”

Nah, agama datang dengan sesuatu yang ma’ruf dan menolak sesuatu yang munkar..!!

Kebaikan-kebaikan seperti ini tidak perlu sanad, karena itu sudah lazim dan sudah keniscayaan.

Lalu ada kebenaran yang butuh detail. Misalnya begini, “Wali nikah itu siapa? Wali nikah adalah bapaknya dan mbahnya (kakeknya).

Nah, kalimat “…dan mbahnya” ini salah dalam fikih, karena mbah dalam bahasa Jawa itu bisa dari ibu. Sementara dalam otoritas Islam tidak memberikan hak mbah dari ibu. Seperti ini tidak boleh!

Terus misalnya, ada orang Kalimantan, menikahkan putrinya, dinikahkan oleh mbah dari ibunya hanya berdasarkan fatwa: “Oh, kemarin Gus Baha atau Kiai siapa berkata, wali itu kalau tidak bapak ya mbah, wong ini mbahnya.

Hal itu butuh detail. Yang dimaksud mbah di bab wali adalah أب الأب (bapaknya bapak), bukan sekedar mbah.

Hal-hal seperti itu mohon sekali tidak tergesa-gesa, karena membutuhkan fikih yang detail.

Video sumber seminar ini: Gus Baha – Sanad Ngaji Youtube

Leave a Response