Ulama asal Kab. Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha dalam suatu pengajian kitab tafsir Al-Qur’an bersama para santri pernah menjelaskan tentang ayat sesajen makanan yang dilakukan oleh umat Nabi Ibrahim.
Berikut penjelasan Gus Baha:
Kaum Nabi Ibrahim ketika hendak makan, mereka meletakkan makanan di samping berhala supaya dapat berkah. Setelah itu baru dimakan. Nah, itu baru syirik beneran.
Kalau tradisi pesantren ditaruh di dekat kiai agar dibacakan kalimat Tauhid, supaya dapat barokah kiai.
Makanya, cocok atau tidak, kamu tidak boleh menyebut (memvonis) kafir. Kalau tidak cocok, komentar saja “kurang kerjaan”.
Jangan juga komentari syirik, sebab yang syirik itu makanan yang ditaruh di dekat berhala yang dipertuhankan.
Beragama itu susah-susah-gampang, yang jelas pastikan kalau tradisi sesajen di sawah atau di mana saja kalau kamu tidak suka bilang saja tidak suka, tapi jangan bilang “kafir”, karena dulu yang sampai syirik itu dijejerkan dengan berhala yang diyakini dapat memberi barokah.
وتركوا طعامهم عند أصنامهم زعموا التبرك عليه فإذا رجعوا أكلوه
Kalau sekarang kan tidak, orang yakin makanan barokah karena sudah didoakan orang banyak, dan doa itu minta kepada Allah, yang dituhankan juga Allah. Maka, kemungkinan kafir itu tidak ada. (M. Zidni Nafi’)
Link ngaji versi audio-visual: