Pengasuh Pesantren Tahfidz Al-Qur’an LP3IA Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau (Gus Baha) dalam suatu pengajian kitab bersama para santri pernah menghimbau agar berhati-hati jangan sampai sembarangan mencatut nama Allah saat memvonis orang lain.
Berikut keterangan Gus Baha:
Saya punya contoh, ini orang-orang Islam ekstremis, apalagi yang juga memvonis orang bid’ah. Itu harus mengaji ulang di Shahih Muslim.
Di Shohih Muslim itu ada cerita begini, ini Hadis Shohih ini tidak bisa tidak.
Ada seseorang itu sedang sujud. Sujud itu kan sebaik-baiknya ibadah, terus orang yang sujud itu diinjak sama orang fasik, diinjak beneran kepalanya.
Setelah diinjak, si yang sujud tadi mangkel (marah), saking marahnya ia bilang:
(Demi Allah, kamu tidak akan diampuni oleh Allah).
Singkat cerita, di saat itu juga ada Nabi yang masih hidup, diberi wahyu oleh Allah:
“Katakan kepada fulan yang sujud, bagaimana mungkin dia mengatasnamakan sifatku pada seseorang hambaku? Beritahu dia, saya mengampuni orang yang menginjak dia dan sujud dia tidak saya terima.”
Itu semua Syurohul hadis sepakat, Allah itu tersinggung karena namanya dicatut.
Coba, Allah itu menamakan dirinya “Ghofuur” misalnya, jelas ya. Kemudian karena orang ini emosi, lalu nama Allah dicatut terus diterapkan: “Allah tidak akan mengampuni kamu”.
Kata Allah:
“Bagaimana mungkin Aku dipakai sumpah, ditarik-tarik nama-Ku bahwa Aku tidak mengampuni orang itu?”
Maka dari itu, ada ulama mengatakan, kalau kamu marah dengan orang mending bilang “Jancuk, Kakeane” itu lebih aman!!
Kalau kamu ditanya Allah, “Kenapa kamu kok bilang Jancuk?”
“Lah mengatasnamakan Engkau (Allah) tidak ada persamaannya.” Dijawab begitu saja, paham nggeh?
Risiko..!! Tapi, kalau ukurannya kalian ya tidak ada hisabnya, kan kelirunya sudah banyak, jadi artinya sudah biasa.
Saya ulang lagi ya, kita kan tidak pernah tau tentang Allah, tapi yang jelas “سمى نفسه غفورا”, yakni Allah menamakan dirinya sebagai Ghofuur.
Dan dalam syariat-Nya, siapapun itu, seburuk apapun dia, ada kemungkinan dia taubat sebelum mati, dan sebaik apapun kita pun ada kemungkinan untuk su’ul khotimah.
Dengan potensi seperti ini kamu berani mencatut nama Allah itu atas dasar apa coba?
Misalnya sekarang ada orang mencuri, koruptor, lalu dikejar KPK misalnya.
Sebenci apapun kamu, bisa saja dia besok khusnul khotimah dan bisa saja yang menangkap besok su’ul khotimah. Siapa yang tahu?
Makanya kiai-kiai alim, setahu saya itu biasa saja berteman dengan koruptor. Ini bukan karena mereka koruptor ya. Kiai itu pemikirannya bukan seperti LSM.
Kalau pemikiran LSM kan, “fasik kok dikancani?! Ini bisa menjadi legalitas bagi koruptor, ini merupakan “perselingkuhan Agama dan kekuasaan”.
Kamu itu tidak tau rasanya jadi Ulama..!! Ulama itu tidak berani memvonis orang jelek..!!
Bisa saja orang yang kamu vonis jelek sekarang, besok malah jadi shaleh, dan yang sekarang shaleh besok malah jadi fasik.
Kamu nggak tahu ceritanya Wahsyi? Wahsyi itu قاتل حمزة احب الناس الى رسول الله (pembunuh Hamzah).
Seperti apa coba perlakuan Allah kepada Wahsyi? Akhirnya kan dia taubat.
Lalu seperti apa pribadi Tsa’labah? Paling rajin ke masjid, tidak pernah tidak shalat di shaf awal. Sampai-sampai dijuluki Hamamatul Masjid alias Merpatinya Masjid.
Akhirnya apa? Su’ul khotimah. Itu saja dia masih ditunggui Kanjeng Nabi.
Lha kamu hanya ditunggui Musthofa? Haha.. Wah wes malah… Siapa yang ganduli (membela) kalau kamu su’ul khotimah?
Akhirnya, kiai-kiai itu berteman dengan orang-orang fasik ya tenang saja. Bukan kok melegalkan kefasikan, beliau-beliau hanya tidak ingin memvonis orang lain.
Seumpama ada orang yang diburu KPK datang ke sini, minta sambutan mengaji misalnya, ya malah saya suruh mengajar kok, “Bagaimana caranya ‘menghindar’ dan macam-macam lainnya”.
Cuma nanti di akhir, saya suruh dia tunjukkan cara menghindari siksa neraka, bukan cuma menghindari KPK saja. Hehehe
Tidak boleh mencatut nama Allah…!!
Tapi, tadi tentu orang yang sujud itu (yang mencatut nama Allah) tadi tetap bahaya.
Akhirnya yang sujud tadi diberi tahu Nabi lalu dia taubat, taubat dari memvonis dan, ya sama-sama khusnul khotimah akhirnya.
Tapi, ini pelajaran bagi kita. Mencatut nama Allah itu tidak mudah. Bagaimana anda begitu yakin?
Misalnya saya sebagai kiai, terus misalnya pas ngaji Ruhin itu tertidur, terus kamu kiai organisasi yang biasanya tidak tidak begitu suka mengaji.
Lalu kamu bilang, “Tidur ketika mengaji itu tidak disiplin!! Wah ini nggak kayak sekolah unggulan. Tidak ada yang tidur, semuanya siaga 1. Wes nggak nyenengno! Gus Baha pasti tidak suka!”
Nah, perkataan ini yang mulai masalah. Kalau dia nggak seneng ya urusan dia, karena dia kiai organisasi, biasa sekolah unggulan yang anaknya siaga terus, on time semua.
Lalu ketika melihat ngaji di pondok melihat santri yang tidur terus bilang, “Pasti Gus Baha tidak suka!”
Pasti tersinggung saya, bagaimana nama saya dicatut bahwa “saya nggak suka!”.
Saya ini kiai, gede ngapurane.. Saya ya tahu dari awal kalau potensi (santri) tidur itu tinggi, karena kebanyakan banding jam 04.00 tadi, hahaha… Kan habis “nyabu terong” kerjaannya. Hehehe
Nah, dengan pengalaman seperti itu kemungkinan aku melihat “tidur” kan fenomena biasa, kemudian nama saya dicatut “ Gus Baha tidak ridho”. Mesti kan saya tersinggung
Kamu kok bisa mensifati saya sekasar itu, saya itu tidak seperti itu perasaanku kepada santri!
Paham nggeh?
Allah juga sama. Terus aku misalnya bilang begini “Allah tidak akan meridhoi orang berzina”, ini betul.
Tapi, kalau kamu bilang “Orang yang berzina itu pasti su’ul khotimah”, itu masalah.
Allah tidak meridhoi zina itu jelas, tapi orang yang berzina itu bisa saja suatu saat bertaubat.
“Allah mesti ridho pengurus masjid?” Tidak mesti. Kalau mengurus masjid memang baik.
Makanya, tidak boleh mencatut nama Allah!!
Allah berfirman (Q.S. An-Nahl Ayat 116):
Wahsyi itu pembunuh Hamzah (Paman Nabi).
Dia secara dhohir adalah orang yang didoakan buruk oleh Nabi. Singkat cerita, karena Nabi, nyuwun sewu (permisi/mohon maaf), sering mendoakan buruk sebelum ada larangan mendoakan buruk, lalu ayat (Ali ‘Imran: 128) turun:
“Muhammad, kamu memang kekasihku, tapi jika kamu mengintervensi-Ku maka tidak bisa. Aku tetaplah Tuhan. Tapi, soal keputusan itu hak-Ku. Aku ini ya mengampuni dan menyiksa.”
Beneran, Wahsyi yang paling fatal salahnya malah diberi hidayah. Semenjak itu Nabi tidak pernah mendoakan buruk karena ada ayat (ke-128 dalam Surat Ali ‘Imran).
Jadi, misalnya ada orang yang menginjak orang yang sedang sujud. Potensi Allah menyiksa ya ada, tapi juga ada potensi mengampuni.
Artinya begini, kalau kamu mangkel (marah) maka atasnamakan kamu sendiri, “Jiancok cah elek..!! Ono wong sujud kok diinjak. Tak jotosi..!!” (Jancuk orang jahat!! Ada orang sedang sujud kok diinjak. Aku pukuli…!!)
Mending bilang begitu, kan kamu tidak mencatut nama Allah.
Paham nggeh?
Jadi, itu masalah paling susah dalam kita sebagai ulama dan kita siapa saja, sebab:
Link ngaji versi video: