Dalam suatu pengajian tafsir bersama para santri, pengasuh pondok Pesantren Tahfidz Qur’an LP3IA Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menerangkan tentang makna hijrah setelah peristiwa Fatkhul Makkah yang dilakukan pada zaman Rasulullah Saw.
Berikut penjelasan dari Gus Baha:
Pada zaman ketika Nabi hidup, selalu ada daerah-daerah yang disebut sebagai ardhi as-suu’ (الأرض السوء), misalnya dulu ada daerah Ushayyah, Dzakwan, dan Ri’lan.
Daerah-daerah tersebut dicap Nabi sebagai daerah buruk. Kemudian pada era ulama-ulama, ada Irak yang sekarang terkenal itu juga dianggap ardhi as-suu’, sebab bekas Kota Babilonia yang dulu sebagai kota sihir.
Kalangan ulama khilaf, “Kalau kamu hidup di negera yang tidak prospek, maka boleh pindah. Di mana di tempat kamu pindah itu menjadi nyaman beribadah”.
Semisal kamu ditakdirkan tinggal di Jakarta, di situ banyak night club, banyak maksiat. Lalu misalnya terus pindah ke desa, tapi ganti dosa menggunjing, hasud, dengki.
Jadi, kalau di kota dosanya pornografi, sedangkan kalau di kota dosanya hasud, dengki, menggunjing dan macam-macam.
Itu terus bagaimana?
Ada ulama yang berpendapat, “Jika semua bumi yang kamu katakan buruk untuk dijadikan tempat tinggal, malah nanti tidak ada yang menyembah Allah. Jadi, sebaiknya tidak perlu pindah!”.
Tapi, jika kamu punya niat, bahwa ikut mengisi Jakarta itu agar tempat itu ada yang shaleh.
Itu pendapat ulama yang dibenarkan sampai hari kiamat. Karena kalah dengan bukti bahwa Australia pertama ada Islam karena barokah mahasiswa yang kuliah di sana, mungkin juga sebagian ada Jamaah Tabligh, ada orang bisnis, dan macam-macam.
Sehingga Australia sekarang ada muslim. Dari minoritas lama-lama menjadi komunitas tertentu. Lama-lama dimaklumi dan mungkin lama-lama menjadi mayoritas.
Begitu juga di Inggris. Orang Islam pertama di sana itu adalah buruh, lama-lama jadi orang kaya. Lama-lama membeli Machester City (klub sepak bola), membeli macam-macam, lalu menjadi bos. Orang kafir malah menjadi buruh.
Nah, itu yang kita benarkan. Karena kalau teori hijrah itu, bahwa hadis Nabi tidak main-main.
Teori hijrah itu sudah selesai. Bahwa teori hijrah secara fisik dari wilayah bumi buruk ke bumi baik itu sudah selesai.
Yang tersisah itu wa lakin jihadun wa niatun, yang ada itu masih jihad dan niat. Jihad itu pokoknya berjuang itu menegakkan kalimat Allah, niat itu menghidupkan agama Allah.
Sekarang kalau dibalik, semisal orang yang sudah Islam di Inggris ada 10, karena merasa Inggris daerah Kristen, kamu kemudian pindah ke Makkah. Berarti Inggris sama sekali tidak ada orang Islam.
Jadi, kamu berarti mengosongkan sama sekali buminya Allah dari orang yang menyembah Allah.
Andaikan kamu sebagai ketua MUI dan tidak membaca hadis itu, lalu berfatwa, “Islam di Inggris orang 10 pindah saja ke Mekkah, atau yang di Papua yang minoritas pindah saja ke Jogja”.
Wah nanti yang sudah terlanjur ada Islam akan menuju daerah yang Islamnya banyak. Menurut orang Jawa sama dengan nguyahi segoro (menggarami laut).
Hal seperti itu penting, makanya Nabi berkata wa lakin jihadun wa niatun (وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ). Ternyata hadis ini lebih benar.
Pada era sahabat Nabi, banyak (umat Islam) yang ketika di Madinah tidak tertarik, karena Islam sudah banyak. Kemudian pindah ke Kufah (Kota di Irak), seperti yang dilakukan Sayyidina Ali.
Sayyidina Ali itu sahabat alim pertama yang meninggalkan Madinah pindah ke Kufah. Akhirnya Kufah jadi sentaral Islam, termasuk kepintaran Imam Syafi’i karena hidup di Kufah.
Kepintaran Syekh Abdul Qodir Jailani ya karena hidup di Baghdad. Baghdad itu juga wilayah Kufah.
Sanad-sanad Al-Qur’an pindah Kufah. Sekarang coba kamu pikir, Al-Qur’an itu turun di Makkah-Madinah, tetapi sanad Ali itu ada di Kufah.
Karena Abdullah bin Said itu ngaji ke Ibnu Abbas, Ibnu Abbas ngaji ke Ubay bin Ka’ab. Sudah meloncat 4 sanad. Baru Ubay bin Ka’ah ngaji ke Nabi Muhammad.
Lebih cepat Imam ‘Ashim. Bahwa Imam ‘Ashim orang Kufah berguru ke Abdurrahma as-Sulamy yang langsung ngaji ke Sayyidina Ali, Sayyidina Ali ngaji ke siapa? Ngaji ke Nabi Muhammad. Hal ini karena Sayyidina Ali pindah ke Kufah.
Di Makkah yang pusatnya Islam, sanadnya mbulet (berputar-putar) menuju Nabi. Di Kufah yang jauh dari Makkah-Madinah sanadnya cepat, karena ada Sayyidina Ali. Sebab itu Kufah jadi sentral Islam.
Sehingga kita tidak perlu fatwa (hijrah), sehingga orang Islam yang sekarang ada di Amerika, Inggris, Swedia, dan lain sebagainya. Asal tidak kecelakaan seperti di Swedia. Pertama orang Islam yang ada di sana itu Islam Ahmadiyah. Jadi langsung punya 2 nabi. Sudah susah diperbaiki. Itu daerah satu-satunya minoritas yang Islam pertamanya Ahmadiyah. Jadi susah diperbaiki.
Paham nggeh?
Hal ini agar kalian tahu titik perkaranya, bahwa hadis tersebut memang ada di Bukhari dan Muslim, Nabi memang bersabda:
Jadi, sudah tidak ada teori kalau kamu tidak nyaman di daerah minoritas kamu harus ke mayoritas. Ya ke mana saja asal ada niat baik dan ada peluang baik, lakukan!
Ada seorang bertanya kepada nabi, “Ya Rasulullah saya di sini bisa baik.”
Nabi bersabda:
Al-‘ibad ‘ibadullah wal-bilad biladullah, fa khaitsuma kuntum fa khairan fa aqim.
“Negara ya milik Allah, semua hambah juga milik Allah. Pokoknya setiap kamu mendapat baik di situ ya mukim di situ.”
Itulah yang menginspirasi Islam Gujarat (India) datang ke Aceh, baik untuk berdagang, menikah, dan macam-macam, kemudian menjadi Islam di Aceh. Anak-cucu Aceh pindah ke Ampel (Surabaya) jadilah di Ampel.
Di mana saja ketemu, pokoknya mana yang nyaman dan cocok maka lanjutkan! Entah faktornya karena ikut isteri atau suami, asalkan cocok maka teruskan dan mendapatkan ridha Allah.
“Di mana saja kamu menemukan kebaikan, maka kamu harus di situ!”
Saya akan cerita sejarah, agar kalian paham. Betapa pentingnya teori hijrah itu dianggap selesai. Ketika Fatkhul Makkah (pembebasan Kota Makkah) tahun 10 Hijriyah, disempurnakan oleh Abu Bakar. Klimaksnya saat Makkah benar-benar dikuasai Sayyidina Umar.
Sistem negara sudah jalan dan dalam kendali Umar. Waktu itu teman-teman Sayyidina Umar yang asli Makkah disurati. Mereka sudah hidup di berbagai daerah, seperti ada yang di Azerbajian yang suatu saat jadi daerahnya Imam Bukhari yang terkenal mengarang kitab Shahih Bukhari.
“Kamu sekarang ke Makkah saja, karena shalat di Masjidil Haram itu sebagaimana shalat di 1000 masjid lain. Dan Makkah sekarang aman.”
Dan beberapa sahabat yang kelasnya level 2 atau 3 yang bukan pembesar sahabat banyak juga yang pindah ke Makkah. Apa yang terjadi?
Mereka bangga di Makkah karena ada di Tanah Haram (suci), yakni Baitullah. Tetapi, apa yang disarankan sahaba-sahabat senior seperti Salman Al-Farisi? Teori itu dimatikan.
“Makkah memang Kota Suci dan shalat di Masjidil Haram sama dengan shalat di seribu masjid lain. Tapi, kamu harus tahu bahwa bumi itu tidak bisa mensucikan orang. Dan yang bisa mensucikan seseorang adalah amalnya sendiri,” kata Salman Al-Farisi.
Abu Jahal itu lahirnya di Makkah dan kurang ajarnya juga di Makkah. Abu Lahab lahir di Makkah dan kurang ajarnya pun di Makkah. Penduduk Makkah dulu juga yang mengusir Nabi.
Salman Al-Farisi menyurati: “Kalian menyebar saja ke seluruh dunia, menyebarkan Islam dan mengajarkannya. Karena itu mengajarkan Islam merupakan tradisi para nabi”.
Semenjak itu tidak ada teori sentralisasi di Makkah. Kebetulan era Ali-Muawwiyah ada konflik. Dari konflik tersebut barokahnya luar biasa.
Karena konflik tersebut, sahabat-sahabat yang tidak ikut konflik pergi ke Cina. Zaman itu Cina memang populer sekali.
Dari yang menuju Cina itu ada yang tersesat sampai Selat Malaka. Di antara murid Sayyidina Ali hidup di Pasai, Aceh (Sumatera). Sehingga Islam di Aceh itu tua sekali. Karena rata-rata sejarawan yakin bahwa Islam di Aceh itu zaman Sayyidina Ali.
Jadi, kalian harus tahu. Andaikan teori hijrah itu dipakai, ya semua ini haram karena dari Makkah-Madinah menuju bumi yang belum menyembah Allah. Berarti semua perjalanan ini haram semua kan?
Tapi, kalau memakai teori Da’bul Anbiya’, bahwa menyebarkan Islam adalah watak para nabi, malah keinginan kita pergi ke daerah yang tidak ada menyembah Tuhan, biar ada yang menyembah Tuhan di sana.
Paham nggeh?
Jadi, jangan malah tahsil al-hasil (menggarami air laut, red), rebutan tongkat masjid itu malah menjadi perkara (masalah).
Simak video sumber pengajian ini: “Gus Baha – Teori Hijrah”