Ketika Abdurrahman Wahid alias Gus Dur memutuskan untuk belajar ke luar negeri, ia adalah seorang pemuda yang dalam benaknya tengah bergulat dengan masalah bagaimana Islam bisa mengadakan perubahan di dunia.

Islam yang selama ini dirasa adalah Islam yang sedang berada dalam fase terendah. Para pembaharu di belahan dunia tidak bisa mengembalikan Islam di panggung peradaban dunia, terlebih yang ada di Indonesia. Di tambah keterpukauan dan ketertundukan umat Muslim terhadap Barat yang kian merajalela.

Menjelang masa dewasanya, karena faktor lingkungan ditambah dengan bacaan yang ia konsumsi, Gus Dur pernah terpukau oleh islamisme yang radikal. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke tanah air dengan komitmen terhadap pemahaman liberal mengenai Islam. Pengaruh yang membentuk liberalisme tidak sukar untuk diidentifikasi, dan tidaklah mengejutkan bahwa daya tarik islamise radikal tidaklah berumur panjang.

Penulis biografi Gus Dur bernama Greg Barton (2016: 135) mengidentifikasi kurang lebihnya ada tiga unsur yang membuat  liberalisme Gus Dur mencuat dan menguat.

Pertama, faktor keluarga, di dalam lingkungan keluarga Gus Dur, ia didik untuk selalu bersikap terbuka dan selalu mempertanyakan sesuatu secara intelektual. Kedua, ia dibesarkan di dalam dunia sufistik Islam tradisional Indonesia, dan ketiga, ia sangat dipengaruhi oleh orientasi budaya masyarakat Indonesia modern yang mengarah pada pluraisme dan egalitarinisme.

Dalam konteks ini, apa yang Gus Dur baca dan dipelajarinya memberikan kesempatan kepada dirinya untuk mensintesakan pemikiran Barat modern dengan Islam.

Kita lihat misalnya mengenai Pancasila. Bagi Gus Dur, Pancasila adalah kesepakatan politik yang memberikan peluang bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan kehidupan nasional yang sehat di dalam sebuah negara kesatuan, namun ia melihat masih ada ancaman terhadap konsepsi Pancasila sebagaimana yang diharapkannya (Douglas E. Ramage, 2010: 105).

Keprihatinan Gus Dur ini mewakili citranya sebagai seorang nasionalis daripada seorang pemikir Islam. Walaupun memang tidak bisa disangkal bahwa dia pada hakikatnya mewakili generasi baru pemikir Islam revolusioner Indonesia.

Pikiran-pikiran Gus Dur ini dianggap sebagai gagasan baru dalam pemikiran Islam di Indonesia. Maka, tidak salah banyak yang mengganggap bahawa Gus Dur sebagai “neo-modernis” Islam di Indoensia. Mazhab baru ini telah berperan sangat penting dalam merebut sebuah posisi yang baru dalam pemikiran Islam di Indonesia.

Salah satu konsekuensi hadirnya kaum neo-modernis ini adalah menguatkan komitmen terhadapa nilai-nilai kemajemukan dan nilai-nilai inti demokrasi yang mana penghayatan atas nilai-nilai kemajemukan tidak asing di dalam Islam.

Seliberal apapun gagasan Gus Dur akan dianggap sebagai gagasan keagamaan yang bersifat religius. Maka, secara otomatis akan disokong oleh sebagian besar ulama khos serta anggota Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Ini semua hanya karna satu alasan, yakni Gus Dur berdarah biru dari kalangan pesantren dan pendiri NU, Kiai Hasyim Asy’ari.

Hal itu sangat jauh berbeda misalnya dengan beberapa kaum neo-modernis lain yang mencanangkan gagasan Islam liberal di Indonesia seperti Nurcholis Madjid yang sering akrab dipanggil Cak Nur.

Walaupun sebagai anak-anak, Gus Dur dan Cak Nur tidak bermain bersama, namun ayah mereka adalah teman dekat dan bersaudara karena perkawinan. Ayah Cak Nur, Abdul Madjid bukan saja seorang teman dari Wahid Hasyim, melainkan juga murid  Kiai Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng. Ini berati ada ikatan kekerabatan yang sangat dekat antara Gus Dur dan Cak Nur.

Selepas merampungkan pendidikan di madrsah milik ayahnya, Cak Nur melanjutkan studinya ke Pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur. Pesantren yang didirikan untuk memodernisasikan sistem pesantren yang berlaku di Indonesia dan tidak akan berafiliasi dengan NU maupun dengan Muhammadiyah.

Gontor merasa bangga akan kemampuannya menghasilkan lulusan yang mempunyai dasar yang kuat dan cocok dengan dunia tradisional Islam dan masyarakat modern Barat.

Salah satu faktor penting yang menjadikan Nurcholis Madjid dianggap kontroversial ketika menyampaikan pidato pada bulan Ramadhan tepatnya pada Januari 1970. Cak Nur menyatakan bahwa banyak cendekiawan muda Indonesia muak dengan obsesi masa lampau yang penuh kerinduan.

Pada konteks saat itu berkaitan dengan politik partai yang didapatkan pada banyak kaum modernis Masyumi. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh kaum muslim muda adalah Islam, bukan politik Islam, gagasan ini kemudian kenal sebagai Islam Yes, Politik Islam No.

Lanjutnya, Cak Nur mengatakan bahwa masyarakat Muslim di Indonesia, terutama para pemimpin-pemimpin inteleknya, berada dalam persimpangan jalan. Apabila mereka terus memprioritaskan persatuan umat maka hal ini berati melanjutkan kemandegan dan kemerosotan inetelektual.

Maka, bagi Cak Nur alternatifnya mengambil resiko dikritik dan bahkan mengalami perpecahan, agar dapat memajukan ide-ide baru dan mendorong timbulnya pemikiran segar dalam masyarakat Islam.

Gagasan Cak Nur ini membuat gempar kalangan kaum muslim, terutama golongan tua yang masih berada dijalan politik untuk mempertahankan posisi umat Islam dalam panggung politik. Maka, gagasan ini dianggap sebagai gerakan baru yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam.

Selama beberapa tahun kemudian Cak Nur menghasilkan serangkian makalah yang membahas dengan sangat rinci terkait tema ini dalam pertemuan yang teratur dengan kelompok intelektual muda di Jakarta untuk membicarakan Islam baru.

Walaupun Cak Nur tahu bahwa apa yang dikerjakan oleh dirinya bersifat kontroversial, namun ia tidak berharap ide-idenya ini dianggap provokatif. Hal itu sebagaimana ditafsirkan oleh banyak orang dari generasi tua kaum modernis.

Bahkan Mohammad Natsir, sebagai guru sekaligus pembimbing, dengan nada marah mengutarakan kekecewaanya yang dalam terhadap anak asuhnya ini. Kekecewaan yang sama juga banyak muncul dari tokoh senior di kalangan modernis. Oleh karena itu, jadilah ia sebagai orang yang terkenal di kalangan kaum modernis Islam.

Gagasan-gagasan dua tokoh yakni Gus Dur dan Cak Nur itulah yang membuat umat Muslim Indonesia dikenal di belahan dunia, terutama di Barat. Mereka membawa arus perbuahan yang begitu signifikan dalam tubuh umat Muslim di Indonesia, khususnya ketika berbicara mengenai ilmu pengetahuan yang ada di Barat yang diasimilasikan dengan ajaran Islam yang ada di Indonesia.

Pengagum kedua tokoh ini tentu sudah hafal, bahwa Gus Dur dan Cak Nur tidak hanya sebagai cendekiawan muslim, melainkan juga sahabat dekat. Mereka pada masa Orde Baru kerap mengisi acara diskusi bersama dalam berbagai forum. Namun, tidak banyak yang tahu ternyata keduanya pertama kali bertemu bukan di Indonesia.

Dalam suatu waktu, pertemuan kedua intelektual muda asal Indonesia ini terjadi di Baghdad, Irak. Waktu itu Cak Nur mengikuti kegiatan kunjungan ke Amerika Serikat (AS) yang didanai oleh pemerintahan AS sendiri.

Ini terjadi atas saran dari ayah Cak Nur sendiri, untuk mengunjungi Gus Dur yang berada di Baghdad. Pertemuan pertama ini sudah lama ditunggu-tunggu dan menjadi cikal bakal persahabatan panjang dua sahabat pembaharu Islam di Indonesia itu. Allahummaghfir lahuma.

Leave a Response