KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah Presiden yang masa jabatannya terbilang singkat dalam sejarah pemerintahan Indonesia. Gus Dur menjadi Presiden hanya sekitar 21 bulan, terhitung sejak dilantik tanggal 20 Oktober 1999 sampai akhirnya dilengserkan secara politis pada 23 Juli 2001.
Walau tergolong singkat, masa pemerintahan Gus Dur bisa dikatakan menjadi salah satu masa pemerintahan paling menentukan dalam sejarah republik ini. Pasalnya, ketika Gus Dur menjadi Presiden, Gus Dur memiliki tugas berat untuk menjalankan pemerintahan dalam masa transisi yang dituntut menuntaskan berbagai agenda Reformasi setelah Orde Baru tumbang.
Masa transisi ini dibayangi oleh ancaman perpecahan/disintegrasi bangsa. Sebagaimana diketahui, saat Gus Dur berkuasa, di beberapa daerah sedang terjadi konflik yang menjurus pada kekerasan, seperti Poso, Ambon, Aceh, hingga Papua.
Berbagai konflik tersebut adalah konflik yang muncul karena kegagalan tata kelola pembangunan selama Orde Baru yang sentralistis dan otoriter. Akibatnya muncul kekecewaan masyarakat yang terekspresikan dalam bentuk tindak kekerasan di berbagai daerah.
Dalam sejarah Indonesia, salah satu konflik besar yang pernah terjadi dan berlangsung lumayan lama adalah konflik Aceh. Konflik ini sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan Indonesia. Ketika itu Daud Beureuh memproklamirkan Aceh sebagai bagian dari DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Menurut Dr. Darmansjah Djumala dalam Soft Power untuk Aceh: Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi (2013), tindakan Daud Beureuh merupakan bentuk kekecewaan yang disebabkan tiga hal; pertama, kekecewaan karena pemerintah pusat tidak menyetujui penerapan syariat islam di Aceh.
Kedua, politik sentralisasi yang diterapkan pemerintah pusat yang membuat Provinsi Aceh digabung dengan Sumatera Utara. Ketiga, tidak terakomodirnya nilai-nilai islam dalam pemerintahan di Aceh.
Konflik yang memuncak pada tahun 1950-an itu bisa diselesaikan setelah disepakatinya pemberlakuan Aceh sebagai Daerah Istimewa yang memiliki hak otonomi dalam bidang agama, adat, dan pendidikan. Namun, ketika Soeharto menjadi Presiden, ia justru menerapkan kembali kebijakan yang sentralistik dan mengabaikan Aceh sebagai Daerah Istimewa. Protes yang dilancarkan orang Aceh malah direspon Soeharto dengan pendekatan keamanan bersenjata dan kekerasan.
Kebijakan yang sentralistik tersebut menimbulkan kesenjangan ekonomi dan politik yang ujungnya melahirkan perlawanan secara masif dalam bentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM). GAM berdiri pada tanggal 4 Desember 1976 dengan Hasan Tiro sebagai pemimpinnya.
GAM berbeda orientasi dengan perlawanan Daud Beureuh. GAM berjuang untuk memisahkan diri dari Indonesia, sedangkan Daud Beureuh berjuang menegakan syariat islam di Aceh. Dengan adanya GAM, perlawanan bersenjata terhadap pusat resmi dilakukan. Konflik pemerintah Indonesia dengan GAM inilah yang dihadapi Gus Dur ketika menjabat sebagai Presiden.
Gus Dur tidak menerapkan kebijakan yang sentralistik untuk menyikapi konflik Aceh. Gus Dur justru mengedepankan dialog dengan pemuka GAM dan berbagai tokoh lokal Aceh. Ini yang berbeda dengan Orde Baru. Gus Dur bahkan berupaya meninjau kembali peran militer yang selama ini ditugaskan untuk menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Apa yang dilakukan Gus Dur ini, menurut Ahmad Suaedy dalam Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka, (2018), adalah bentuk upaya Gus Dur untuk menggeser pendekatan keamanan ke pendekatan sipil dalam menyelesaikan konflik Aceh.
Gus Dur ingin menempatkan GAM sebagai mitra dialog sejajar untuk mencari solusi damai, meskipun aspirasinya berseberangan dengan pemerintah. Dengan kata lain, Gus Dur menganggap GAM sebagai bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia yang punya hak bicara seperti kelompok lain.
Hal ini berbanding terbalik dengan kebijakan Orde Baru yang menempatkan GAM sebagai kelompok separatis yang tidak boleh diajak dialog sebelum mereka melepaskan aspirasi mereka dahulu. Gus Dur malah menganggap GAM mitra sejajar yang perlu diajak bicara baik-baik walau aspirasi mereka bertolak belakang dengan pemerintah (Suaedy: 219/2018).
Bentuk nyata dari sikap Gus Dur ini kemudian tercermin dengan dibentuknya berbagai forum formal maupun informal untuk memulai dialog antara pemerintah dan GAM. Diutuslah tokoh-tokoh terpercaya sebagai juru runding dalam berbagai forum tersebut. Salah satu tokoh yang pernah diutus adalah Bondan Gunawan.
Dalam buku Hari-Hari Terakhir bersama Gus Dur (2018), Bondan menceritakan pengalamannya bertemu dengan Panglima Militer GAM, Tengku Abdullah Syafi’ie. Menurut Bondan, pertemuannya itu adalah bentuk upaya pemerintah melakukan pendekatan dan dialog dengan petinggi GAM dan tokoh Aceh lain. Dari pertemuan informal tersebut dapat diketahui aspirasi GAM secara lebih mendalam yang berguna dalam perundingan selanjutnya.
Berbagai upaya dialog yang coba diinisiasi pemerintah ini akhirnya membuahkan hasil dengan ditandatanganinya perjanjian damai pada tanggal 12 Mei 2000, yang kerap disebut sebagai “Jeda Kemanusiaan.” Perjanjian tersebut singkatnya berisi kesepakatan berlakunya genjatan senjata dengan pihak GAM. Masa jeda perang tersebut diisi kedua belah pihak untuk mencari solusi penyelesaian konflik dan masalah Aceh secara keseluruhan.
Perjanjian tersebut adalah terobosan luar biasa dalam penyelesaian konflik Aceh yang selama ini terkesan berlarut-larut. Dengan “Jeda Kemanusiaan” pemerintah dan GAM telah sama-sama berjalan satu langkah menuju ke pintu perdamaian. Hal inilah yang menjadi salah satu sumbangsih Gus Dur beserta seluruh jajaran kabinetnya terhadap Indonesia di masa transisi.
Dengan mengupayakan dialog dan pendekatan sipil di Aceh, Gus Dur telah berhasil mengurangi dampak kekerasan yang timbul akibat konflik yang selama ini terjadi. Kalau saja Gus Dur tidak melakukan dialog terbuka dengan GAM, eskalasi konflik pemerintah dengan GAM di awal reformasi, bisa saja memantik konflik lainnya di berbagai daerah yang ujungnya menciptakan disintegrasi bangsa.
Inisiasi yang dilakukan Gus Dur dalam penanganan konflik Aceh menjadi pelajaran penting bagi para pemegang kekuasaan saat ini. Dalam masa singkat pemerintahannya, Gus Dur memberi teladan bahwa konflik tidak selalu harus diselesaikan dengan senjata atau kekerasan.
Dialog bukan hanya bisa menjadi alternatif, melainkan dapat menjadi jalan utama dalam penyelesaian konflik. Gus Dur membuktikan itu tidak hanya dalam upaya menghentikan konflik Aceh, melainkan juga dalam berbagai konflik lain di tanah air, seperti di Papua dan Poso.