Jika Anda belajar sejarah atau antropologi, Anda akan tahu kalau leluhur atau kakek-nenek moyang kita, sejak ribuan atau jutaan tahun lalu, pada mulanya adalah golongan nomad yang hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mereka bisa pindah, migrasi atau hijrah kemana saja sesuka hati mereka karena negara atau kerajaan dengan batas teritorial yang jelas belum ada.

Mereka juga belum mengerti teknologi bercocok tanam seperti kelak dilakukan oleh kelompok agriculturalist atau horticulturalist. Mereka juga belum mengerti teknik beternak seperti yang kelak dilakukan oleh kelompok pastoralist.

Lalu, apa yang mereka lakukan supaya bisa bertahan hidup? Berburu – baik berburu binatang liar maupun ikan bagi yang tinggal di kawasan laut atau sungai. Inilah yang disebut dengan “foragers” atau “foraging society”.

Kadang-kadang bukan hanya berburu hewan tetapi juga “berburu” tumbuhan yang bisa dikonsumsi sebagai suplemen tambahan. Jika berburu hewan dilakukan oleh kaum pria, berburu atau mengumpulkan tumbuhan dilakukan oleh kaum perempuan. Itulah sebabnya kenapa leluhur kita dulu, selain “foragers”, juga disebut “hunters & gatherers.”

Dalam melakukan perburuhan itu, mereka selalu berpindah-pindah tergantung musim atau cuaca. Ketika dalam perjalanan, mereka menemukan sumber air, maka mereka mulai berpikir untuk menetap di area itu—menjadi “settlers” bukan “nomad” lagi.

Sumber air tentu barang yang sangat berharga bagi orang-orang yang tinggal di Timur Tengah yang sebagian besar areanya kering-kerontang. Bagi masyarakat Timur Tengah, hewan bisa didapat dimana saja tetapi air tidak. Udara bisa didapat dimana-mana tetapi air tidak.

Maka, ketika para leluhur itu menemukan sumber air melimpah – sungai, danau, atau sumur – mereka akan menetap disitu kemudian beradaptasi dengan sistem dan pola hidup baru, membangun peradaban baru, dan sekaligus mempertahankannya dari serbuan kelompok lain. Air pun kemudian menjelma bukan hanya menjadi “sumber kehidupan” atau “sumber peradaban” saja (Mesopotamia dikenal sebagai “cradle of civilization”) tetapi juga “sumber pertikaian”.

Itulah yang terjadi di Mesopotamia Kuno, Mesir Kuno, Makkah Kuno dan seterusnya. Bangsa Mesir berebut menguasai Sungai Nil, bangsa Mesopotamia berebut menguasai Sungai Tigris & Eufrat, dan Bangsa Makkah berebut menguasai Sumur Zamzam.

Sejarah mencatat, sebagaimana Mesir, Mesopotamia Kuno menjadi “battleground” atau “ajang berperang & pertumpahan darah” atau “highway of conquest” berbagai suku-bangsa yang silih berganti berperang dan saling menguasai: Sumeria, Akkadia, Assyria, Babilonia, Partha, Sasania, Roma, Arabia dlsb. Apa yang mereka perebutkan? Air.

Makkah pra-Islam dulu juga menjadi “battleground” berbagai kelompok suku dan klan: Jurhum dari Syam (Suriah), Khuza’ah (Yaman), Quraisy (Arabia) dlsb. Apa yang mereka perebutkan? Air. Hingga kini, berbagai faksi politik-agama dan kelompok suku-bangsa masih berusaha menguasai kawasan-kawasan itu. Tentu saja bukan air lagi yang mereka perebutkan tetapi sumber kehidupan & penghidupan lain.

Jabal Dhahran, Jazirah Arabia

Artikel ini dikutip dari laman facebook Sumanto Al Qurtuby.

Leave a Response