Sudah jamak diketahui jika KH Abdurrahman Wahid, atau biasa disapa Gus Dur, adalah seorang poliglot; orang yang cakap dalam menggunakan berbagai bahasa. Beliau tak hanya lihai, namun juga dapat menempatkan bahasa yang klop dengan lawan bicaranya.
“Salah satu kehebatan Bapak berbahasa adalah dia mampu berbicara kepada orang yang berbeda dengan bahasa yang berbeda.” Demikian kata Inayah Wahid, putri Gus Dur, seperti dikutip dalam buku Jagat Bahasa Nasional.
Kelihaian Gus Dur itu tidak dilakukannya hanya dalam satu bahasa saja. Pemimpin-pemimpin negara Arab tergelak ketika mendengar cerita Gus Dur, yang tentu disampaikannya dalam bahasa Arab.
Seorang guru besar dan pengamat politik asal Amerika bernama R. William Liddle pernah dibuat malu setelah ia bertanya dalam bahasa Indonesia. Tetapi, Gus Dur malah menjawabnya dalam bahasa Inggris yang bagus dan fasih.
Sepiawai apapun dalam berbagai bahasa, ada yang tak boleh dilupakan adalah Gus Dur terlahir di lingkungan pondok pesantren tradisional di Jawa. Sebagaimana tradisinya, dalam keseharian Gus Dur dibiasakan Ayah dan Ibunya untuk menggunakan bahasa Jawa. Apalagi bahasa Jawa kromo halus ketika berbicara kepada orang yang lebih tua.
Bahkan, dalam hal pendidikan ini, keluarga dikenal Gus Dur agak tegas. Penggunaan bahasa Jawa ini terus digunakannya ketika di rumah, meskipun rumahnya berpindah ke Jakarta. Hal ini lalu diteruskan juga pada keempat putri Gus Dur, seperti yang diakui Inayah dalam buku di atas.
Pendidikan bahasa Jawa secara keras yang dialami Gus Dur itulah, menurut saya, salah satu yang membuat Gus Dur dapat menempatkan bahasa yang tepat dengan lawan bicaranya. Karena, kita tahu sendiri, bahasa Jawa adalah bahasa yang bertingkat-tingkat, sesuai dengan status sosial.
Dalam bahasa Jawa, apa yang mesti diucapkan kepada orang tua berbeda dengan gaya pembicaraan kepada yang lebih muda. Bahasa Jawa memiliki tempatnya masing-masing untuk diucapkan.
Berbeda dengan Gus Dur, dalam hal ini, adalah Pramoedya Ananta Toer yang secara keras menolak penggunaa bahasa Jawa saat menapaki remaja. Meskipun, ia pada waktu kecil sempat menggunakan bahasa yang diwarisi dari orang tuanya itu. Bahkan, ia tergolong ‘ekstrem’.
Saat indekos di Jakarta bersama Moedigdo, Pram benar-benar tak mau menyahut jika disapa dengan bahasa Jawa oleh pamannya itu. Ia hanya mau berinteraksi menggunakan bahasa Indonesia, yang saat itu masih disebut bahasa Melayu. “Bahasa Indonesia memberikan kebebasan bagi saya sehingga saya tak perlu merangkak-rangkak lagi,” kata Pram.
Namun, apa yang dilakukan Pram ini dapat dimaklumi jika kita melihat kondisi sosial-politiknya. Waktu itu, saat ia remaja, Indonesia sedang dicengkeram kolonialisme Belanda, lalu disusul Jepang. Sehingga prinsip Pram tadi dapat dikatakan sebagai penguatan identitas kebangsaan.
Hal ini berbanding lurus dengan semangat nasionalisme yang terus ditiupkan Mastoer, ayah Pram. Dalam sejarahnnya, ayahnya pernah rela meninggalkan pekerjaan sebagai guru di sekolah Belanda untuk memimpin Institut Boedi Oetama, yakni sekolah yang didirikan Dr. Soetomo, putra bangsa sendiri.
Terlepas dari perbedaan prinsip penggunaan bahasa Jawa, Gus Dur dan Pram sama-sama kita kenal lihai berbahasa Indonesia, baik dalam bahasa tutur maupun bahasa tulis.
Pram, dalam buku “Jagat Bahasa Nasional”, dikenal sangat disiplin mengucapkan kata demi kata. Ia penutur bahasa yang baik. Baginya, kedisiplinan berucap dapat berdampak pada karakter. Maka tak heran jika ia mengkritik keburukan penutur bahasa yang berseliweran di televisi.
Selain itu, dalam dunia tulisan, sudah tak perlu diragukan lagi kepiawaiannya. Dialah sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia. Banyaknya buku yang terbit dari tangannya adalah bukti. Mendekam di penjara sama sekali tak menghentikan laju penanya.
Gus Dur pun sama. Sejak SD, beliau sudah memenangkan lomba pengarang nasional, saat diadakan di Lapangan Ikada, Jakarta. Jika Pram banyak menulis lewat novel, Gus Dur cenderung menyalurkan ide-ide cemerlangnya lewat esai yang terbit di media massa, terutama pada tahun 1970-an, setelah kepulangannya dari studi di Baghdad dan Kairo. Sedemikian banyaknya esai yang terbit, membuktikan jika Gus Dur sangat piawai dalam berbahasa.
Terakhir, satu lagi kesamaan Gus Dur dan Pram. Keduanya merupakan pembaca yang tekun bahkan sejak kecil, sebuah kebiasaan yang sudah sukar ditemui untuk anak zaman sekarang.