Habib Husein Ja’far Al-Hadar melalui channel Youtube Cahaya Untuk Indonesia beberapa kali berkolaborasi bersama para public figure termasuk para komedian yang membahas berbagai isu, salah satunya yakni isu keagamaan di Indonesia.

Bib Ja’far, sapaannya, merupakan seorang dai milenial, penulis, dan conten creator. Ia seorang sarjana Filsafat Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan menempuh program Magister Tafsir Al-Qur’an di universitas yang sama.

Pada suatu kesempatan, Bib Ja’far berkolaborasi dengan Abdur Arsyad. Abdur, sapaannya, merupakan seorang finalis Stand-Up Comedy Indonesia musim keempat, atau singkatnya SUCI 4. Ia lahir di Flores Timur (NTT) dan kini seorang sarjana dan magister Studi Matematika di Universitas Negeri Malang.

Tema yang sedang dikupas oleh Bib Ja’far dan Abdur adalah bertajuk Agama dan Canda. Percakapan mereka berdua diabadikan dalam bentuk video berdurasi dua puluh lima menit berjudul “Agama Itu Meluruskan yang Bengkok, Komedi Itu Membengkokkan yang Lurus”.

Sekilas frasa tersebut sangatlah kontras, tampak ada dualisme yang bertolak belakang, namun apakah benar demikian? Lalu bagaimana komedi menurut Habib Husein Ja’far dan Abdur?

Abdur menjelaskan bahwa komedi itu selalu membutuhkan objek (target atau korban). “Misal kita membicarakan tentang diri kita, maka kita jadiin diri kita jadi obyeknya untuk ditertawakan. Jadi tertawa itu butuh bahannya dan bahannya itu butuh obyeknya”, ungkap Abdur.

Dalam komedi, pasti ada saja orang yang tersinggung. Meskipun ketersinggungannya sebenarnya tidak bermaksud untuk menghina obyek tersebut.

Bahkan dengan komedi, kata Abdur, ia bisa memilih siapa obyek yang ingin ia singgung yang menurutnya statemant atau kebijakannya “tidak beres”. Ia memosisikan orang yang dibuat tersinggung itu di pihak yang tidak sejalan dengan apa yang diyakini banyak orang.

Itulah alasan latar belakang kenapa tema ini dibahas. Menurut Bib Ja’far, maksud “Agama Itu Membengkokkan yang Lurus, Komedi itu meluruskan yang bengkok” adalah komedi bukan untuk menyesatkan atau membengkokkan agama.

Terkadang dalam sebuah komedi sudah biasa jika bahan yang digunakan adalah fakta yang dibalik (putar balik fakta), semua itu dilakukan sebagai “patahan” agar menjadi lucu. Tujuannya tak lain adalah membuat orang lain tertawa, mengajak mereka untuk bahagia dengan canda, bukan untuk meyakini fakta dari bahan komedi tersebut.

Selanjutnya Abdur melontarkan pertanyaan kepada Bib Ja’far, “Nah itu, bagaimana komedi dalam Islam itu sendiri?”

“Sekarang itu seolah-olah menjadi masalah kalau dua itu (agama dan komedi) digabungin kan. Seolah-olah ini dua hal yang tidak ada irisannya, tidak boleh digabungkan. Padahal menurut gua sih beda antara ‘membercandakan agama’ dan ‘mengagamakan bercanda’”.

Habib Ja’far mengaku bahwa yang selama ini ia lakukan bersama para komedian adalah ‘mengagamakan canda’. Selama ini, asumsi orang bahwa tujuan canda itu membuat orang lain tertawa.

Hal itu bisa menjadi sebuah pahala, karena membuat orang lain senang itu adalah ibadah mulia dengan memasukkan kebahagiaan ke dalam hatinya  (idkhalussurur fi qalbil ikhwan).

“Komedi bisa menjadi medium untuk dakwah sebenarnya, bukan sekedar memberi pahala bagi kita, tapi juga memberi pencerahan kepada orang lain,” ujar Bib Ja’far.

Habib Ja’far juga menyadari ada beberapa komedian yang mencoba bercanda dengan membawa tema agama tanpa membaca terlebih dahulu atau tanpa didampingi oleh ahlinya.

Selain itu, Abdur juga pernah mendengar temannya sesama komedian melawak dibumbui kisah Nabi Saw., namun cerita yang ia sampaikan dirasa kurang tepat, meskipun ujungnya dapat membuat penonton tertawa dan itu yang dikejar hanyalah lucunya saja.

Nah, inilah sebuah kesalahan yang menurut Bib Ja’far disebut dengan “membercandakan agama”, bukan “mengagamakan canda”.

Kata Habib Ja’far, “Seharusnya yang di atas itu adalah agamanya, canda hanyalah mediumnya saja”. Menurutnya, komedi adalah cara paling efektif untuk mendakwahkan ajaran agama.

Selain karena komedi itu adalah “bahasa” paling awam, semua orang bisa mengerti komedi. Beda dengan agama, tidak semua orang bisa mengerti dan mempelajarinya, sama halnya dengan matematika, astronomi, ilmu falak dan sebagainya. Komedi tanpa katapun masih bisa, seperti Mr. Bean atau Tom And Jerry, dan lain-lain.

Tuntutan agama mewujudkan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Maka, keefektifan komedi sebagai sarana untuk berdakwah menjadi sangat penting karena dapat menyentuh semua orang dalam stratifikasi sosial apapun.

Komedi ini bisa menjadi medium nyindir paling enak. Hal ini yang terpenting, karena agama itu ingin menyindir banyak orang dengan kesalahan-kesalahannya, tapi yang sekiranya orang itu tidak tersinggung.

“Karena kalau tersinggung, dia akan denier, dia akan menutup diri,” terang Bib Ja’far menyayangkan jika komedi tidak dijadikan medium untuk dakwah Islam.

Habib Husein Ja’far Al-Hadar menceritakan bahwa Nabi Saw. juga pernah di-prank oleh Nu’aiman, seorang sahabat Nabi yang suka bercanda dan jail.

Alih-alih ia membeli madu untuk menghadiahkan kepada Nabi, justru malah Nabi sendiri yang akhirnya membayar madu tersebut setelah si penjual mengetuk pintu rumah Nabi dan menagihnya.

Dalam kisah ini, Nabi tidak tersinggung atau marah. Malah beliau tersenyum melihat kelakuan sahabatnya. Beliau paham sebenarnya Nu’aiman sangat mencintai dirinya.

Komedi juga bisa untuk mengkritik perilaku masyarakat, di mana ada kasus ekologis tetapi cara menyelesaikan masalahnya hanya dengan teologis saja.

“Banjir misalnya, iya di sana banyak judi, memang judi bermasalah, mabok-mabokan juga bermasalah, tapi bukan itu pemicunya, pemicunya ekologis, karena lo nggak jaga kebersihan laut, atau kebersihan sungai dan lain sebagainya,” tambah Bib Ja’far.

Melihat fenomena pendakwah tanah air yang humoris, Abdur bercerita ketika ia mendengarkan pengajian KH. Zainuddin MZ., bahwa dalam beberapa candaan beliau memenuhi kaidah set-up dan punchline.

Abdur juga terbahak dengan candaan profesional khas KH. Anwar Zahid “Qulhu ae, Lek!” yang mengkritik para imam jamaah di masjid-masjid “persinggahan” yang membaca surat terlalu panjang. Padahal para makmumnya adalah lansia atau sedang capek sehabis kerja dan segera ingin pulang ke rumah.

Hal ini bisa saja terjadi di masjid atau musala di tempat-tempat pemberhentian transportasi umum, misalkan terminal, bandara, pelabuhan, stasiun, dan lain-lain.

Dikhawatirkan apabila surat yang dibaca imam itu panjang, nanti jam terbang menjadi telat bahkan tertinggal.

Habib juga mengkritik imam yang tidak membaca Qunut, tidak memberi jeda sebentar bagi makmumnya yang ingin Qunut. Hal ini terjadi ketika antara imam dan makmum beda mazhab dalam fikih.

Simak video selengkapnya:Habib Husein Ja’far X Abdur Arsyad

Leave a Response