Berbicara tentang sastra pesantren memang masih menjadi diskursus menarik. Banyak dari pakar bahasa, sastrawan, hingga cendekiawan yang ikut rembug dalam menentukan kemana wacana sastra pesantren ini akan dibawa. Pro-kontra pun mewarnai setiap pembahasan yang berlangsung. Mulai dari pendefinisian, ruang lingkup, hingga perihal dunia pesantren sebagai objek sastra.

Pada tahun 1973, Gus Dur dalam esainya berjudul Pesantren dalam Kesusastraan Indonesia mencoba mengkritisi minimnya para sastrawan yang menjadikan pesantren sebagai ladang eksplorasi karya sastra. Gus Dur menilai bahwa sebab yang melatarbelakangi masalah di atas adalah hal-hal abstrak yang telah menjadi nafas pesantren sulit untuk difiksikan.

Sebab kedua adalah sakralisasi agama. Poin ini menjadi penting untuk dicermati, karena adanya pemahaman bahwa segala tafsir agama tidak  boleh dikritisi, dilabrak, atau direkronstruksi . Karena agama telah sempurna lagi kaffah. Hal ini dapat mengebiri minat dan keseriusan para penulis untuk menggali lebih dalam khazanah kehidupan pesantren.

Gus Dur menawarkan solusi dengan cara mencari persoalan dramatis yang tidak mengarah kepada satire atas keberagamaan. Yang perlu digarisbawahi bahwa karya sastra yang tumbuh dari rahim pesantren dapat menjawab dilema keagamaan universal dengan cara mempertemukan ketundukan pada nilai agama dan kebutuhan kehidupan modern.

Hampir setahun yang lalu, salah satu teman bercerita dengan semangat tentang cerita bersambung yang sedang viral di jagad media sosial, terutama facebook. Ia lantas menunjukkanku link serial Hati Suhita beserta laman profil dari penulisnya, Khilma Anis. Berbagai postingan yang diiringi  komentar bernada apresiatif  untuk membukukan cerita cinta ala pesantren ini menjadi satu novel yang utuh.

Beberapa hari yang lalu temanku, Mbak Hilda, berhasil mendapatkannya berkat temannya yang  menjadi panitia launching buku Hati Suhita di Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang. Sekaligus memperoleh tanda tangan langsung dari penulisnya yang mana pernah nyantri dan ngangsu kaweruh di pondok tersebut. Momen ini sekaligus bertujuan menyowankan anak rohaninya kepada para masyayikh. Inilah sekilas pengalamanku berkenalan dengan Suhita.

Novel ini bercerita tentang perjodohan yang lazim di kalangan pesantren terutama di pulau Jawa. Dengan Alina Suhita dan Gus Muhammad Al-Birruni sebagai tokoh utama. Seperti layaknya perjodohan dimanapun, pasti terjadi penolakan dan pemberontakan di salah satu pihak. Dan peran itu dijalankan dengan apik oleh Gus Birru yang menganggap istrinya sebagai orang aneh yang mengisi kamarnya.

Penolakan Gus Birru membuat hati Ning Alin patah, jangankan memimpikan untuk menjadi keluarga bahagia dan memiliki keturunan yang lucu, selama tujuh bulan lebih ia tidak sekalipun disentuh oleh suaminya. Sikap dingin suaminya membelenggu segala kenikmatan dan keindahan yang ingin diraihnya. Ditambah lagi kehadiran Rengganis, perempuan yang selalu dapat membuat hatinya hancur lebur karena menculik mustika Ampalnya,

Tak berhenti di situ, kehadiran Mas Dharma sebagai telaga yang menenangkan  setiap masalah yang merundung  Ning Alin membuat konflik yang terjadi semakin matang. Penulis sangat lihai membawa pembaca mengarungi setiap jengkal kehidupan para tokoh dengan tenang dan mendebarkan.

Kelebihan penulis yang lain adalah kekuatan karakter setiap tokohnya dan konflik masa lalu yang begitu hidup. Alina merupakan putri kyai Jabbar yang telah disiapkan untuk menjadi mantu Kyai Hannan, pengasuh pondok Al-Anwar. Sejak kecil hidup di dalam lingkungan pesantren dan tradisi Jawa yang kental yang ia peroleh dari cerita wayang Mbah Kung sangat membekas dalam dirinya. Salah satunya ajaran filosofi Jawa “mikul nduwhur mendem jero” membuat ia tetap bertahan atas segala yang perlakuan suaminya.

Hal ini begitu kontras dengan kehidupan Mas Birru, walaupun dia adalah putra Kyai Hannan, pewaris tunggal pesantren Al-Anwar ia malah menempuh jalan hidup sebagai aktivis pergerakan. Segala urusan mengenai pesantren ia serahkan pada istrinya, jalan hidupnya selalu ditentang oleh abahnya, termasuk kafe miliknya. Sikap beku dan tak acuhnya tak lain karena ia belum bisa mencintai Alina dengan utuh karena baying-bayang rengganis, kekasih sekaligus masa depannya yang gagal ia wujudkan berkat ambisi orangtuanya dan kehadiran Alina.

Secara tidak langsung novel ini berusaha membongkar tradisi yang telah maklum di kalangan pesantren dan mendedahkan di kalangan umum. Isu-isu yang dibawakan seperti perjodohan ini sangat jarang dibawa ke ruang publik, untuk itu usaha menarasikan kisah ini dengan apik  patut mendapat apresiasi. Selain itu, dengan berani penulis memakai istilah “kerajaan” untuk menggantikan kata pesantren. Dan secara halus mengandung pesan bahwa salah satu tujuan perjodohan adalah memperkuat hubungan antar kerajaan dan agar eksis menghadapi gempuran jaman dan modernitas.

Salah satu kelebihan khusus novel ini adalah usaha penulis menggabungkan kultur pesantren yang kental akan nilai-nilai keislaman dengan budaya Jawa yang sangat filosofis. Perpaduan ini mengingatkanku pada usaha dakwah yang dilakukan oleh para walisongo untuk merebut hati masyarakat jawa, yaitu dengan meleburkan ajaran ketauhidan dengan khazanah kebudayaan Jawa.

Dengan plot yang santai penulis mengurai betapa dalam ajaran leluhur kita yang tersimpan rapi dalam serat-serat, kakawin, tembang,dan juga dari kisah-kisah lakon pewayangan yang disarikan dari kitab Mahabarata. Seperti halnya ketika Aruna menjelaskan kepada Alina tentang filosofi dari Asmaragama yang ia kutip dari Serat Nitimani.

Sebelum mencapai asmaragama harus melewati lima tahap yaitu Asmara Nala (Landasan cinta), Asmara Tura (Kekaguman melihat), Asmara Tutida (Kebanggan mendengar), Asmara Dana (Kesenangan dalam bicara), Asmara Tantra (kesenangan dalam mencecap). Baru kita akan mencapai kesempurnaan dalam Asmaragama (Olah asmara).

Selain itu tradisi pesantren yang kuat mulai dari sema’an, ziaroh kubur para wali Allah, tabarrukan,rasa takzim santri kepada kyai dan dzurriyahnya, anak ke orang tuanya terasa sangat mengharukan. Terlihat saat Ning Alin sudah putus asa dan berniat mengakhiri segala rasa cintanya dengan  kabur menuju pesarean Sunan Tembayat atau masyhur dikenal Sunan Pandanaran guna mencari ketenangan dari segala kekalutan hati.

Dari segi alur, pembaca dimanjakan dengan alur yang pelan dan santai. Banyak juga pengulangan kalimat bahkan paragraf  yang sering kita jumpai. Mungkin itu bertujuan sebagai penekanan dan penguatan atas karakter tokoh. Juga terdapat beberapa kesalahan kata yang sedikit mengusik pembaca, penggunakan kata ta’ dengan tanda petik. Kecil, tapi sangat mengganggu.

Kisah cinta Ning Alin dan Mas Birru berhasil disatukan dengan bahagia melalui doa kedua oang tua mereka dan juga berkat kisah yang dituturkan Mbah Kung tentang kesetiaan Dewi Sawitri terhadap suaminya, hingga suaminya dihidupkan kembali.

Cerita itulah yang membuat Ning Alin bahwa apa yang ia lakukan adalah salah, dan segala duka yang dihadapi adalah bentuk ujian terhadap kesetiaannya. Ditambah juga sajian diksi yang terbilang berani untuk ukuran novel islami berlatar pesantren,  ketika membicarakan hal-hal erotis. Tentunya dengan tidak menabrak nilai-nilai yang dipegang penulis sendiri.

Dari sekian banyak uraian diatas, setidaknya novel ini telah menjawab keresahan Gus Dur akan minimnya sastrawan dan penulis yang bergelut di bidang sastra menulis dengan objek pesantren dan segala hal yang meliputinya.

Di dalam novel ini juga disinggung sebuah komunitas yang dibikin oleh Gus Birru untuk mentraining para santri, baik santri kota maupun pelosok, agar melek jurnalistik profesional. Serta menerbitkan majalah dari hasil pelatihan tersebut dan distribusikan ke khalayak ramai. Mungkin inilah salah satu langkah kongkrit untuk memajukan Sastra Pesantren.

Selain itu hari ini telah banyak sekali penulis muda yang lahir dari rahim pesantren, guna melanjutkan  estafet kesusastraan Indonesia yang sebelumnya dikuasai oleh sastrawan senior, seperti Gus Mus, Acep Zamzam Noer, Hamdy Salad, Danarto, Ahmad Tohari, Emha Ainun Najib. Kita bisa sebut nama Usman Arrumy dengan bukunya Kasmaran. Atau anak-anak yang berkumpul dalam Komunitas Kutub Jogja yang telah menghasilkan berbagai karya sastra bahkan mempunyai percetakan sendiri.

Juga banyak  para penerjemah muda dari kalangan santri menerjemahkan berbagai puisi dan cerpen dari sastrawan Arab kontenporer, seperti Abbas Mammoud Al-Aqqad, Mahmoud Darwis, Musthafa Al-Manfaluthi, Ahmed Syauqi, Kahlil Gibran, Nizar Qabbany, Naguib Mahfoud dan sastrawan dari Negara lain. Website seperti sastraarab.com juga mendorong para santri untuk ikut andil dalam kontestasi kesusastraan Indonesia.

Untuk Prosa nama Fauz Noor mungkin bisa juga bisa menjadi acuan bagaimana seorang yang hidup di lingkungan pesantren bisa dengan bebas menyelami khazanah pemikiran dan filsafat Islam tanpa sedikit pun risih dengan pemikiran barat. Dari Tapak Sabda yang terbit pada tahun 2004 dan disusul Semesta Sabda yang terbit setelahnya, kita bisa menyusuri peta sejarah pemikiran dari para cendekiawan muslim generasi emas hingga kontempoler dengan lebih rileks. Tidak kaku seperti halnya membaca buku diktat atau kitab kuning yang membosankan.

Saya juga sepakat dengan Acep Zamzam Noor yang mengatakan, “ukuran sastra sebagai karya adalah kreativitas, tanpa harus memerdulikan siapa dan dari kalangan mana penulisnya.Begitu juga tema yang diangkatnya.” Dengan begini sudah jelas bahwa kaum sarungan harus lebih kreatif lagi dalam mengolah imajinasi, apapun itu. Mengeksporasi lebih dalam makna kehidupan sekaligus mempertajam bahasa dan rasa sebagai upaya berkebudayaan dan berperadaban.

Kemanakah arah masa depan sastra pesantren? Jawabannya berada di tangan dan imajinasi generasi kaum sarungan hari ini.

Tabik!

Leave a Response