Dikisahkan, suatu hari Syeikh Hasan Bashri—salah seorang sufi besar yang terkenal alim dan zuhud pada masanya—duduk-duduk di halaman depan rumahnya. Tak lama setelah itu, sebuah iringan jenazah lewat melintasi Syeikh Hasan Bashri lengkap dengan rombongan para pelayat yang mengekor di belakangnya.
Di bawah keranda yang diusung, terdapat seorang gadis kecil yang berjalan sembari menangis tersedak-sedak. Dia adalah anak dari orang yang meninggal tersebut.
Esoknya, setelah sholat Subuh, gadis kecil itu bergegas menuju makam ayahnya. Karena merasa janggal, Syeikh Hasan Bashri pun mengikutinya dari belakang sampai ke makam.
Dengan maksud agar tidak diketahui oleh gadis tersebut, Syeikh Hasan Bashri bersembunyi di balik pohon sembari menyaksikan gadis kecil itu yang berjongkok di sekitar makam ayahnya.
Kemudian, gadis kecil itu meneteskan air mata dan mengungkapkan perasaannya.
“Ayah, bagaimana keadaanmu di sana? Bagaimana kondisi Ayah di dalam sana yang gelap tanpa ada cahaya?” kata gadis kecil tersebut.
“Ayah, malam kemarin, aku masih menyalakan lampu untuk Ayah. Sekarang, siapa yang menyalakan lampu untuk Ayah? Malam kemarin juga aku masih membentangkan tikar untuk Ayah tidur. Sekarang, siapa yang melakukannya untuk Ayah?”
“Ayah, malam kemarin aku masih memijat tangan dan kaki Ayah karena Ayah kelelahan bekerja. Semalam, siapa yang memijatnya? Aku juga masih ingat ketika aku memberikan Ayah minum karena Ayah kehausan. Tapi kini, siapa yang memberikan Ayah minum agar Ayah tidak lagi kehausan?”
Mendengar rintihan suara disertai isak tangis dari gadis kecil itu, Syeikh Hasan Bashri tak kuat menahan rasa sedihnya. Air mata Syeikh Hasan Bashri mengucur deras. Ia keluar dari tempat persembunyiannya dan melangkah cepat menuju gadis kecil tersebut dengan menahan kesedihan yang luar biasa.
“Wahai gadis kecil!” kata Syeikh Hasan Bashri.
“Jangan berucap seperti itu. Tetapi, ucapkanlah: “Ayah, kuhadapkan engkau ke arah Kiblat, apakah engkau masih seperti itu, atau telah berubah? Ayah, aku mengafanimu dengan kain kafan terbaik yang bisa aku dapatkan, masih utuhkah, kain itu sampai sekarang?
“Ulama mengatakan bahwa hamba yang mati akan ditanya tentang keimanannya. Ada yang menjawab dan ada yang tidak. Bagaimana dengan Ayah? Apakah Ayah bisa mempertanggungjawabkan imanmu, Ayah?”
“Ulama mengatakan, kubur bisa menjadi taman surga atau justru menjadi jurang menuju neraka. Kubur terkadang juga membelai orang mati seperti halnya kasih ibu, atau kadang mengimpit hingga menjadikan seseorang seperti tulang-belulang yang berserakan. Apakah engkau dibelai, atau diimpit, Ayah?”
“Kata Ulama juga, orang yang dikebumikan akan menyesal, mengapa ia sewaktu di dunia tidak memperbanyak amalnya. Sedangkan orang yang ingkar menyesal dengan banyaknya maksiat yang ia lakukan. Engkau, Ayah, apakah menyesal karena maksiat atau karena amal baikmu yang sedikit?”
“Ayah, engkau telah tiada. Mungkin aku sudah tidak lagi bisa berjumpa denganmu hingga hari kiamat tiba nantinya. Ya Allah, Tuhan semesta alam, janganlah Engkau rintangi pertemuanku dengan Ayah di akhirat nanti.”
Gadis kecil yang sedari tadi mendengarkan ungkapan indah dari Syeikh Hasan Bashri akhirnya menengok lalu menatap dengan penuh kagum sembari berderai air matanya.
“Betapa indah tutur kata yang kau ucapkan untuk Ayahku. Dan terima kasih atas semua doamu. Engkau ingatkan aku dari lelap lalai,” ucap gadis itu dan berjalan meninggalkan makam bersama Syeikh Hasan Bashri, diiringi tangis haru di antara mereka berdua.
***
Semua orang yang hidup sudah pasti akan mengalami apa yang disebut dengan kematian. Semua orang akan merasakannya. Itu adalah janji dari Allah yang tidak mungkin bisa kita hindari.
Yang bisa kita lakukan hanya sebatas bersiap-siap, dan beramal sebanyak mungkin untuk kita jadikan bekal nanti. Karena hanya amal baik inilah, yang bisa menolong kita di akhirat nanti. Bukan sahabat kita, bukan kekasih kita, atau bahkan keluarga kita sekalipun.
Hal ini sejalan dengan apa yang tertera dalam Al-Qur’an surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi:
“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.”
Itulah kenapa, kita diperintah untuk berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan, Fastabiqul khoirot. Berlomba-lomba di sini dalam artian, jangan sampai kita kalah dalam beramal baik dengan orang lain. Kita harus bisa lebih cepat dan lebih banyak dalam beramal daripada orang lain.
Bagaimanapun juga, hanya amal itulah yang bisa menyelamatkan kita. Bahkan, orang tua kita, yang sejak bayi hingga kita dewasa merawat, mengasuh, menasihati, dan membimbing kita tidak akan bisa berbuat apa-apa ketika kita meninggal nantinya.
Kisah dari Syeikh Hasan Bashri dan gadis kecil tadi sudah cukup untuk kita jadikan sebagai cermin tentang kematian; tentang kondisi bagaimana ketika kita meninggal nanti.
Maka, sudah sewajarnya bagi kita untuk mulai beramal sebanyak mungkin untuk diri kita, sebelum malaikat maut menjemput.
Sumber bacaan:
Abdullah Ali, Kisah Hikmah Par Sufi dan Ulama Salaf, Yogyakarta: Qudsi Media, 2018.