Tadi pagi (05/02) saya sowan ke KH Abdurahman Sholih (94 tahun) di Panyuran, Tuban di Ndalem (rumah) beliau yang “sederhana”. Ndalem beliau ini pernah dibuat tempat lamaran Gus Qoyyum Rembang saat meminang seorang dokter yang masih famili KH Abdurrahman Sholih.
KH Abdurrahman Sholih yang merupakan muassis (pendiri) PP Manbaul Huda ini pernah mondok di Tambakberas selama 4 tahun dengan sekolah di Muallimin. Di Muallimin, beliau seangkatan dengan Kiai Baqir Adelan, Kranji, Lamongan.
Sebelumnya, beliau mondok di Makam Agung lalu menghafalkan Alfiyah di Bangilan selama 6 bulan, baru ke Tambakberas. Beliau “menangi” (menjumpai) diajar Mbah Hamid Chasbullah yang wafat tahun 1956.
Kata KH Abdurrahman, saat itu Mbah Kiai Wahab Chasbullah sering di Jakarta karena menjadi anggota parlemen sehingga yang “menunggu” santri adalah Mbah Hamid dibantu KH Fattah. Dari Tambakberas, beliau pindah ke Lasem berguru kepada Kiai Baidlowi, Kiai Ma’shum, dan Syaikh Masduqi sekitar 3 tahun.
Setelah itu beliau Mondok di Tanggir, Tuban berguru kepada Kiai Muslih. Lalu tabarukan di Kiai Muslih Mranggen selama setahun.
Di Tambakberas yang beliau ingat dan sering disampaikan ke kami tadi pagi adalah falakiyah. Memang, saat itu, KH Djalil Abdurrahman (salah satu kiai yang mengajar di Muallimin Tambakberas) dikenal ahli Falak.
Lalu bagaimana kisah hizib Tuban? Tadi pagi Gus Imam bin KH Abdurrahman berkisah bahwa suatu saat, Gus Imam diminta oleh KH Anwaruddin Ringinagung, Pare, untuk mencari hizib Tuban. Lalu Gus Imam pulang ke Tuban dan berpikir apa mungkin maksudnya adalah doa dari Kiai Senori?
Selanjutnya Gus Imam bertanya kepada abahnya (KH Abdurrahman), maka dijawab oleh abahnya bahwa hizib itu adalah hizib Autad (yang saat dibacakan oleh KH Abdurrahman ke kami ada beberapa tambahan redaksi).
Hizib ini “senjata” para kiai Tuban terdahulu. KH Abdurrahman mendapatkan hizib tersebut dari Kiai Murtadho pondok pesantren Asshomadiyah, Makam Agung, Tuban.
Faedah hizib yang sampai saat ini istiqomah diamalkan oleh Kiai Abdurrahman adalah pada masa penjajahan, para kiai Tuban ikut berjuang melawan Belanda termasuk Kiai Anwar Tuban, Kiai Munif Burneh dan Kiai Raden Mustain Tuban dan para kiai lainnya. Kiai Raden Mustain adalah bupati era dahulu dan pernah menjadi Wakil Rais ‘Aam PBNU.
KH Raden Mustain dan para kiai lain pada tahun 1948 bergerilya bersama pejuang lainnya menghadapi Agresi Militer Belanda II. Nah, saat itu para kiai terdesak dan akhirnya mengatur strategi dengan bersembunyi dahulu di rumah orang tua KH Abdurrahman di Tasikmadu.
Belanda berkeliling di sekitar rumah dan menggeledah kampung itu. Tapi alhamdulilah mata Belanda dan para anteknya tidak melihat ada banyak kiai di rumah itu.
Di lain waktu, KH Abdurahman Sholih ada acara Bahtsul Masail di Pesantren Mbetet Madura sebagai utusan dari Tuban bersama KH Faqih langitan, KH Bisrol khofi Jenu, dan KH Fatah Plumpang (abahnya Prof Muhammad A S Hikam yang juga mantan menristek era Gus Dur). Sesampai di dekat Petrokimia Gresik, mobilnya kecelakaan, Alhamdulillah selamat, tanpa luka. Kata Kiai Abdurrahman, mobilnya juga tidak “apa apa”.