Sunan Bayat atau yang lebih akrab dengan sapaan Sunan Pandanaran atau Ki Pandanaran adalah seorang adipati dari Semarang yang kaya raya. Beliau sangat gemar berdagang. Mulai dari berdagang emas, permata, lembu, kerbau hingga kambing. Pada masanya beliau juga sibuk mengurusi pemerintahan.

Istrinya, anaknya, dan pelanggannya amatlah banyak. Namun ada satu sifat mengganjal yang ada pada dirinya yang tak terpuji. Yakni bakhil atau kikir.

Pada suatu hari, beliau didatangi seseorang untuk menjual rumputnya kepada beliau dengan harga 25.000. Sayangnya, beliau tidak mau. Beliau hanya ngasih harga 15.000. Akhirnya sepakat. Si penjual rumput pun akhirnya pergi.

Keesokan paginya, orang itu kembali mendatangi beliau membawa rumput segar. Rumput itu dibeli lagi oleh Ki Pandanaran (Sunan Bayat). Penjual rumput tak langsung pergi. Ia meminta sedekah kepada Ki Pandanaran.

Beliau langsung kasih uang dari sakunya dengan cara melemparkan uangnya ke tanah (tidak sopan). Namun orang itu menjawab, “Hamba tidak minta sedekah uang. Hamba minta bedug berbunyi di Semarang.”

Ki Pandanaran kaget mendengar ucapan itu dari si penjual rumput.  Berarti ia harus segera membangun masjid di Semarang.

“Kau jangan minta yang aneh-aneh pak tua. Sudahlah ambil uang itu dan cepatlah pergi dari sini,” jawab Ki Pandanaran dengan nada keras.

“Kalau hamba butuh uang, hamba cukup sekali cangkul tanah, hamba sudah dapat mengeruk emas,” kata si penjual rumput.

“Sombong betul kau ini pak tua! Kalau kau memang bisa sekali cangkul dapat mengeruk emas, tunjukkan. Kalau benar aku akan berguru denganmu. Tapi kalau tidak, jangan salahkan aku menjatuhkan hukuman berat untukmu.”

Akhirnya betul. Setelah si penjual rumput mencangkul tanah, tanah itu penuh dengan emas yang berkilauan. Ki Pandanaran pun kaget dan terbelalak melihat hal itu. Lama tanpa Ki Pandaran sadari saking kagetnya, ternyata si penjual itu sudah meninggalkan halaman rumahnya.

Setelah sadar kalau si penjual rumput tadi telah pergi, maka beliau mengejarnya. Setelah menguras tenaga barulah beliau dapat menyusul si pak tua tadi (si penjual rumput).

“Mau apa kau menyusul aku? Masih kurang dengan emasnya?” Tanya penjual rumput kepada Ki Pandanaran.

“Saya ingin berguru pada tuan!”

“Berguru? Mau berguru apa?”

“Saya ingin memperdalam agama Islam sehingga dapat membimbing rakyat kadipaten Semarang agar memeluk agama Islam.”

“Jadi kau memenuhi permintaanku untuk membunyikan bedug di Semarang?” Tanya pak tua tadi.

“Benar tuan!” Jawab Ki Pandanaran.

“Susullah aku di gunung Jabalkat.”

“Wahai tuan yang arif dan bijaksana, di manakah gunung Jabalkat, dan siapakah sesungguhnya tuan ini?”

“Gunung Jabalkat di daerah Tembayat. Dan aku adalah Sunan Kalijaga.”

Setelah Ki Pandanaran (Sunan Bayat) tau bahwa penjual rumput tadi adalah waliyullah, Sunan Kalijaga, Ki Pandanaran langsung berlutut minta ampun. Sampai akhirnya ia kembali tidak sadar bahwa Sunan Kalijaga telah pergi.

Lagi-lagi Ki Pandanaran menyusulnya ke gunung Jabalkat. Kali ini bersama istrinya, Ambarwati.

“Kau boleh ikut, tapi jangan membawa harta,” kata Ki Pandanaran kepada istrinya.

Beranjaklah mereka ke gunung Jabalkat. Istrinya di belakang membawa tongkat bambu yang isinya emas.

Di perjalanan, Ki Pandanaran dihentikan perampok. Karena tidak membawa apa-apa, Ki Pandanaran dilepas. Istrinya yang di belakang digeledeh, diberhentikan oleh perampok itu. Tongkatnya dirampas dan diambil emasnya.

Ia menangis dan berteriak memanggil Ki Pandanaran: “Kakang, Mas……!!!! Ini ada tiga orang berbuat salah…..” Ambarwati akhirnya berhasil menyusul suaminya dan menceritakan kejadiannya tadi.

“Bukankah aku sudah mengatakan tadi, jangan membawa harta,” kata suaminya, Ki Pandanaran pada istrinya Dewi Ambarwati.

Lagi dan lagi, belum sampai ke gunung Jabalkat, Ki Pandaran diberhentikan seorang perampok. Perampok itu bernama Ki Sambang Dalan.

“Serahkan hartamu, jika tidak, akan kuhajar kau hingga babak belur.”

“Aku tidak membawa harta,” jawab Ki Pandanaran.

Ki Sambang Dalan tidak percaya dan terus mengeluarkan ancaman pada Ki Pandanaran.

“Kau ini keras kepala seperti domba,” kata Ki Pandanaran. Seketika itu juga kepala Ki Sambang Dalan berubah menjadi kambing.

Suatu saat datanglah Sunan Kalijaga ke tempat itu, tempat Ki Sambang Dalan kepalanya menjadi domba. Mereka bersumpah di hadapan Sunan Kalijaga untuk mendengarkan nasihatnya.

Secara ajaib, kepalanya Ki Sambang Dalan sudah kembali ke semula. Akhirnya mereka dididik oleh Sunan Kalijaga untuk belajar agama Islam. Bahkan diangkat menjadi wali Allah.

Ki Pandanaran disebut Sunan Bayat dan Ki Sambang Dalan disebut Syech Domba karena kepalanya pernah menjadi kepala domba. Makam Sunan Pandanaran atau Sunan Bayat berada di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Makam ini menjadi makam yang ramai dikunjungi para peziarah.

Wallahu a’lam bis shawab.

 

Sumber: Buku ‘Karomah Para Wali’ karya Ahmad Farih Masyhadi | Halaman 8-9.

Leave a Response