Dalam pernikahan yang harus dipenuhi selama akad nikah adalah (1) suami, (2) istri, (3) wali, (4) dua orang saksi, (5) sighot atau redaksi ijab kabul.
Khusus yang bagian redaksi akad nikah ini menurut para ulama Syafi’iyah memiliki syarat-syarat:
ﻭﺷﺮﻁ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﻳﺠﺎﺏ ﻣﻦ اﻟﻮﻟﻲ ﻭﻫﻮ ﻛﺰﻭﺟﺘﻚ ﺃﻭ ﺃﻧﻜﺤﺘﻚ ﻭﻗﺒﻮﻝ ﻣﺘﺼﻞ ﺑﻪ ﻛﺘﺰﻭﺟﺘﻬﺎ ﺃﻭ ﻧﻜﺤﺘﻬﺎ ﺃﻭ ﻗﺒﻠﺖ ﺃﻭ ﺭﺿﻴﺖ ﻧﻜﺎﺣﻬﺎ
Berjabat tangan saat akad nikah antara Wali dengan mempelai pria adalah untuk menunjukkan makna langsung dari penyerahan dan penerimaan. Kalaupun tanpa jabat tangan oleh wali setelah mengucapkan lafal akad kemudian segera dijawab oleh calon suaminya dengan penerimaan, maka hukumnya sudah sah. Sejauh ini belum terdapat kitab yang menjelaskan tata cara akad nikah ditandai dengan salaman ini.
Artinya, berjabat tangan saat akad nikah lebih bersifat tradisi saja. Karena bagian dari tradisi/kebiasaan, maka boleh saja bila tidak dilakukan karena alasan tertentu. Lalu mana dalil yang menjelaskan masalah tersebut?
Imam Nawawi menjelaskan perihal kebiasaan Rasulullah shallallâhu alaihi wasallam ketika membaiat:
ﻭﺭﻭﻯ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﺟَﺎءَ ﺇﻟَﻰ اﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻟﻴﺒﺎﻳﻌﻪ ﻓﺄﺧﺮﺝ ﻳﺪﻩ ﻓﺈﺫا ﻫﻲ ﺟﺬﻣﺎء، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ اﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺿﻢ ﻳﺪﻙ ﻗﺪ ﺑﺎﻳﻌﺘﻚ، ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﻋﺎﺩﺗﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ اﻟﻤﺼﺎﻓﺤﺔ ﻓﺎﻣﺘﻨﻊ ﻣﻦ ﻣﺼﺎﻓﺤﺘﻪ ﻻﺟﻞ اﻟﺠﺬاﻡ
Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam hendak berbaiat. Ternyata tangannya ada penyakit judzam/kusta. Nabi bersabda: “Masukkan tanganmu. Aku sudah membaiatmu”. Nabi memiliki kebiasaan berjabat tangan namun Nabi tidak berkenan karena ada penyakit kusta. (Al-Majmu’, 16/268)
Menghindari berjabat tangan karena penyakit menular dan virus sudah ada fatwa secara khusus dari ulama Al-Azhar, yaitu oleh Syekh Hasanain Makhluf pada tahun 1947. Berikut kutipan fatwanya:
ﺳﺄﻟﻨﻰ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ اﻟﻨﺎﺱ ﺑﻤﻨﺎﺳﺒﺔ ﺗﻔﺸﻰ ﻭﺑﺎء اﻟﻬﻴﻀﺔ (اﻟﻜﻮﻟﻴﺮا) ﻓﻰ اﻟﺒﻼﺩ ﻋﻦ اﻟﺤﻜﻢ اﻟﺸﺮﻋﻰ ﻓﻰ ﺗﺮﻙ اﻟﻤﺼﺎﻓﺤﺔ ﺑﺎﻟﻴﺪ ﻋﻨﺪ اﻟﻠﻘﺎء – ﻓﺄﺟﺒﺘﻬﻢ ﺑﺄﻥ ﺩﻓﻊ اﻟﻀﺮﺭ ﻭﺩﺭء اﻟﺨﻄﺮ ﻋﻦ اﻷﻧﻔﺲ ﻭاﺟﺐ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :ﻭﻻ ﺗﻠﻘﻮا ﺑﺄﻳﺪﻳﻜﻢ ﺇﻟﻰ اﻟﺘﻬﻠﻜﺔ
“Banyak orang bertanya kepada saya perihal penularan wabah kolera di beberapa negara terkait hukum meninggalkan jabat tangan saat bertemu. Saya jawab bahwa menghindarkan keburukan pada jiwa adalah wajib, karena firman Allah: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” (Al Baqarah 195)”
ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻭﺳﻴﻠﺔ ﺇﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﻮ ﻭاﺟﺐ ﺷﺮﻋﺎ ﻭﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺗﺮﻙ اﻟﻤﺼﺎﻓﺤﺔ ﺑﺎﻷﻳﺪﻯ ﻋﻨﺪ اﻟﻠﻘﺎء ﻭﻋﻘﺐ اﻟﺘﺴﻠﻴﻢ ﻣﻦ اﻟﺼﻼﺓ ﻛﻤﺎ ﻳﻔﻌﻞ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ اﻟﻤﺼﻠﻴﻦ، ﻓﻘﺪ ﺗﻜﻮﻥ اﻟﻴﺪ ﻣﻠﻮﺛﺔ ﻭﻗﺪ ﺗﻨﻘﻞ اﻟﻌﺪﻭﻯ ﻭﻳﻨﺘﺸﺮ اﻟﻮﺑﺎء ﺑﻮاﺳﻄﺘﻬﺎ، ﻓﻤﻦ اﻟﻮاﺟﺐ ﺷﺮﻋﺎ اﺗﻘﺎء ﺫﻟﻚ ﺑﺘﺮﻙ اﻟﻤﺼﺎﻓﺤﺔ ﺻﻴﺎﻧﺔ ﻟﻷﺭﻭاﺡ ﻭﺃﺧﺬا ﺑﺄﺣﺪ ﺃﺳﺒﺎﺏ اﻟﺴﻼﻣﺔ ﻭاﻟﻨﺠﺎﺓ
Setiap hal yang menjadi perantara pada kebinasaan maka wajib dihindari. Diantaranya berjabat tangan saat bertemu atau sesudah shalat. Terkadang tangan masih kotor kemudian menular dan menyebarkan wabah penyakit karena salaman. Maka kewajibannya adalah menghindari penyebaran itu dengan meninggalkan salaman untuk keselamatan jiwa dan mencari aman. (Fatawa Al-Azhar, 7/240)
Pada kesimpulannya, berjabat tangan saat akad nikah bukanlah bagian dari syarat maupun rukun nikah. Ia merupakan bagian dari tradisi yang baik. Sehingga hukumnya sah apabila akad nikah tanpa melakukan jabat tangan dengan beberapa alasan, seperti sedang mewabah penyakit atau virus tertentu. Wallahu a’lam. (MZN)