Pernikahan dalam Islam adalah salah satu bentuk ibadah mulia. Melalui pernikahan, laki-laki dan perempuan dapat saling memadu kasih dan memikul tanggung jawab secara bersama. Dengan begitu di antara keduanya akan tercipta ketenteraman dan kecintaan yang bertaburkan rahmat dari Allah SWT yang menjadi tujuan utama dan ekspektasi terbesarnya.
Melalui pintu pernikahan pula manusia dapat membentuk keluarga ideal. Tentu yang diharapkan dilengkapi dengan kehadiran keturunan-keturunan guna melestarikan kehidupan. Di samping juga membangun peradaban serta budaya Islami sesuai dengan norma-norma yang digariskan agama.
Akhir-akhir ini kita mendapatkan informasi di media massa tentang praktik-praktik pengangkatan anak yang terjadi di masyarakat. Praktik ini umumnya dilakukan oleh pasangan suami-istri yang belum dikaruniai keterunan sepanjang umur pernikahannya. Salah satu tujuannya agar anak angkatnya nanti dapat menjadi penerus bagi kehidupannya kelak.
Akibatnya muncul kekeliruan pemahaman di masyarakat. Di antaranya yakni menjadikan anak angkat layaknya anak kandung yang dapat dinasabkan kepada dirinya. Tidak hanya itu, bahkan banyak yang menganggap anak angkat dapat mewarisi harta kekayaannya dan orangtua angkat berhak menjadi wali bagi anak yang diangkatnya tersebut.
Dalam istilah Islam, praktik anak angkat atau pengangkatan anak disebut at-tabanni, kalau di Indonesia disebut adopsi. Pada dasarnya praktik ini sudah dikenal secara luas dan berkembang di masyarakat jauh sebelum Islam yang dirisalahkan Nabi Muhammad. Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh bangsa Yunani, Romawi dan lainnya.
Dikalangan bangsa Arab sendiri, praktik pengangkatan anak yang terjadi pada masa jahiliyyah sudah menjadi suatu tradisi yang dilakukan secara turun-temurun. Bahkan sebelum kenabian, Rasulullah pernah mengangkat anak seorang pemuda gagah yang bernama Zaid bin Haritsah.
Lantas beliau menasabkan kepada dirinya seraya mengganti nama ayahnya “Haritsah” dengan sebutan Zaid bin Muhammad, kemudian mengumumkannya di depan khalayak ramai. Namun, setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, maka turunlah wahyu berupa surat Al-Ahzab ayat 4-5.
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ، ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri) yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Wahyu ini memberikan ketegasan larangan pengangkatan anak dengan implikasi hukumnya menasabkan dan saling mewarisi di antara keduanya (ayah dan anak angkat).
Terdapat dua macam cara bagi seseorang yang dapat dilakukan ketika hendak mengangkat anak. Pertama, mengadopsi anak milik orang lain yang diakui keabsahannya secara legal-formal dan tidak menasabkan kepada dirinya.
Dalam hal ini pengangkatan anak didasari atas alasan hanya ingin mengasuhnya saja disebabkan merasa kasihan kepada anak tersebut yang tidak terurus karena orang tua kandungnya terhempit penderitaan ekonomi. Sehingga anaknya tidak memperoleh asupan gizi yang baik, tidak memperoleh pendidikan dan lainnya.
Kedua, mengadopsi anak milik orang lain yang diakui keabsahannya secara legal-formal dan menasabkan kepada dirinya. Dalam hal ini pengangkatan anak di dasari atas alasan menginginkan anak angkatnya tersebut menjadi anak kandungnya yang dapat mewarisi seluruh harta kekayaan miliknya. Dan juga menghapuskan nasab orangtua kandung yang sebenarnya untuk diganti dengan nasab orang tua angkatnya.
Sejatinya, hukum yang berkaitan anak angkat atau pengangkatan anak (adopsi) dalam perspektif Islam lebih dititikberatkan kepada menjaga nilai-nilai kemanusiaan baik dalam bentuk perawatan, pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut.
Karenanya praktik pengangkatan anak tidak berimplikasi kepada hilangnya nasab, namun lebih kepada peralihan tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan menjaga agar tidak terlantar. Islam tidak melarang praktik pengangkatan anak selama nasab orang tua kandungnya tidak dihilangkan atau tidak diganti kepada nasab ayah angkatnya.
Selain itu, perlu dipahami juga bahwa semua ketentuan yang berlaku bagi anak kandung tidak boleh diberlakukan bagi anak angkat misalnya kewarisan dan perwalian dalam nikah.
Islam dengan tegas membatalkan tradisi praktik-praktik pengangkatan anak yang berlaku pada masa jahiliyyah, karena telah bertentangan dengan syara’ dan berdampak negatif berupa memutus pertalian darah (mengaburkan nasab). Wallahu A’lam Bishawab.