Jika Anda bertanya; siapa pemikir feminis Muslim dengan latar belakang pesantren yang paling kesohor belakangan ini? Tidak ada jawaban lain kecuali akan menyebut Husein Muhammad atau yang lebih dikenal Buya Husein. Kiai Husein memiliki trade mark feminis pesantren bukan hanya karena pernah menempuh pendidikan cukup lama di pesantren tetapi ia juga seorang pengasuh pesantren di Cirebon, Jawa Barat.
Ia adalah alumnus Pesantren Lirboyo Jawa Timur. Di pesantren ini ia mendalami kajian-kajian keislaman secara mendalam. Sebab sedari dulu, Lirboyo memang dikenal dengan iklim pendidikan agamanya yang memang pilih tanding. Setelah itu, Husein kemudian mengasuh Pesantren Dar al-Tauhid, pesantren peninggalan leluhurnya di Cirebon Jawa Barat.
Awal mula kesadaran Husein Muhammad dalam tema feminisme dan gender adalah ketika tahun 1993 tepatnya saat ia diundang di sebuah seminar tentang “Perempuan dalam Pandangan Agama-Agama”. Sejak itu, ia sadar bahwa perempuan, termasuk di Indonesia mengalami sebuah masalah. Adalah Masdar Farid Mas’udi yang dalam cerita Husein Sendiri banyak mempengaruhi dirinya dalam masalah gender ini.
Masdar yang pada waktu itu menjadi direktur sebuah organisasi mengajak Husein untuk merealisasikan pandangan agama, termasuk terhadap masalah perempuan. Peran Masdar, sebut Kiai Husein dalam sebuah wawancara, juga berhasil mengenalkan gagasan keagamaan kritis termasuk masalah subordinasi pada perempuan.
Tulisan ini akan berusaha memotret Husein Muhammad, baik dari segi biografi sosial intelektualnya hingga kiprah pemikirannya.
Husein Muhammad adalah santri tulen. Ia dilahirkan di Cirebon pada tanggal 9 Mei 1953. Ia adalah putra Kiai Asyrofuddin, Pengasuh Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun. Pendidikan agama ia terima dari keluarganya sendiri. Setelah dirasa cukup, ia kemudian berkelana ke Jawa Timur, tepatnya di daerah Kediri. Ia masuk pesantren yang memiliki tradisi akademik bagus, Pesantren Lirboyo Kediri.
Setelah dari Lirboyo, ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an di Jakarta tamat tahun 1980. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke al-Azhar Mesir. Di tempat ini, ia bisa kuliah di kampus keislaman tertua di dunia dan juga bisa mengaji kepada ulama-ulama besar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan keagamaan.
Pada tahun 1983 ia kembali ke Indonesia untuk melanjutkan perjuangan leluhurnya: mengasuh Pesantren Dar al-Tauhid. Di samping aktif sebagai kiai pesantren, tampaknya ia juga memiliki jiwa gerakan. Buktinya pada tahun 2001, ia banyak mendirikan lembaga swadaya untuk perempuan. Misal Puan Amal Hayati, Rahima, Fahmina Institute, dan Alimat.
Pada tahun 2008 ia mendirikan perguruan tinggi Fahmina di Cirebon, menjadi pembina dan inisiator KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) dan penanggung jawab media mubadalah.com. Jejak perjuangannya membela perempuan juga terbaca dari keterlibatannya menjadi anggota komisioner Komnas Perempuan selama dua periode.
Tidak berhenti di situ, ia juga menulis dengan sangat produktif dan menyebarkan gagasannya melalui tulisan. Ia sudah melahirkan banyak karya, yang paling monumental adalah Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, sebuah buku yang konon menjadi rujukan utama banyak aktivis gender di Indonesia.
Karya lainnya adalah Islam yang mencerahkan dan Mencerdaskan: Memikirkan Kembali Pemahaman Islam Kita, Islam Agama Ramah Perempuan, Ijtihad Kiai Husein: Upaya Membangun Keadilan Gender, Dawrah Fiqh Perempuan, Fiqh Seksualitas, Fiqh HIV/AIDS, Mengaji Pluralisme Pada Guru Pencerahan, Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur, Menyusuri Jalan Cahaya; Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus, Menangkal Siaran Kebencian Perspektif Islam, Toleransi Islam, Islam Tradisional yang Terus Bergerak dan karya lain-lainnya.
Atas segala dedikasi dan perjuangannya Husein Muhammad mendapat banyak penghargaan besar. Misal ia pernah menerima Heroes to End Modern-Day Slavery, tahun 2006. Namanya juga pernah tercatat sebagai “The 500 Most Influential Muslims” yang diterbitkan oleh The Royal Islamic Strategic Studies Center Amman Yordania selama beberapa tahun. Yang terbaru ia menerima penghargaan berupa doktor kehormatan (Honoris Causa) dari UIN Walisongo Semarang, Jawa Tengah.
Pertemuan Husein dengan Masdar di sebuah acara pada tahun 1993 benar-benar menjadi tiitk baru dalam hidupnya. Sejak itu Husein mulai tahu banyak masalah yang dihadapi perempuan. Maka, mulai sejak itu ia mencoba mengurai beberapa masalah tersebut dengan pendekatan keilmuannya, yaitu agama.
Mula-mula Husein menyebut bahwa perempuan bukan hanya sekadar tubuh yang bisa dieksploitasi. Ia adalah ruh, jiwa manusia. Ia juga menolak budaya patriarki terhadap perempuan. Islam yang mengusung ajaran tauhid, yang bermakna pengesaan makna secara luas adalah menolak upaya-upaya penghambaan pada selainnya. Pemilik otoritas yang Absolut adalah Allah Swt., bukan yang lainnya.