Pendek kata, spirit tauhid adalah pembebasan manusia dari segala bentuk perendahan (subordinasi), diskriminasi, dan penindasan manusia atas segala dasar apa pun. Gagasan teologis ini, tulis Husein, hendak menempatkan manusia secara terhormat. Perempuan sebagai manusia adalah bebas, mandiri dan dalam posisi yang adil. Keadilan dalam konteks ini tidak berbicara tubuh tetapi soal nilai, substansi dan kualitas.

Untuk menguatkan tesis-tesis ini, Husein mengutip al-Qur’an dalam surat al-Rum [30]: 21 bahwa termasuk tanda kebesaran Allah Swt adalah menciptakan istri dari jenis yang sama dengan diri kita sendiri. Dalam sebuah hadis misalnya disebut poin keadilan, resiprokal. Ibnu Abbas berkata:

“Aku senang untuk berhias dan tampil baik untuk istriku sebagaimana aku senang jika istriku tampil cantik dan baik buatku”.

Lalu bagaimana merespons beberapa narasi tafsir keagamaan yang kerap dijadikan landasan normatif kekerasan dan peminggiran pada perempuan? Maka menurut Husein tidak ada cara lain kecuali mereinterpretasi dan kontekstualisasi pemahaman keagamaan tersebut.

Ia mengutip Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang ulama bermazhab Hanbali yang menyatakan bahwa di mana saja keadilan ditemukan maka di sana ada hukum Allah Swt. Jadi titik tolak tafsir keagamaan baik berupa hukum maupun narasi agama adalah nilai keadilan bagi siapa pun, termasuk bagi laki-laki dan perempuan.

Selain pemaknaan dan pemahaman tauhid pembebasan seperti di atas, menurut Husein takwa harus dijadikan manifestasi dalam sikap-sikap sosial. Sementara dalam tataran teknis operasional kontekstualisasi dan reinterpretasi pemahaman bisa melalui pendekatan kebahasaan. Inventarisir makna bahasa, korelasi dengan dalil lain, harmonisasi teks adalah langkah pertama ini.

Kedua, mentarjih atau menguatkan akal rasionalitas. Karena hukum Islam poinnya adalah rasionalitas. Untuk kepentingan ini, ia mengutip al-Razi, seorang pemikir terkemuka mazhab Syafi’i. Jadi jika ada narasi-narasi keagamaan absen di dalamnya rasionalitas ilmu maka narasi tersebut perlu didiskusikan.

Ketiga, memperhatikan realitas kehidupan yang terus bergerak maju. Realitas dan konteks ini di sini meliputi budaya, sosial, politik, ekonomi dan teknologi. Realitas menjadi poin penting dalam perumusan hukum. Absennya realitas dalam pengambilan hukum mengakibatkan rumusan hukum kering dan tidak menyentuh substansi ajaran Islam.

Pada poinnya, dalam pandangan Kiai Husein pembacaan teks-teks keagamaan yang dibimbing visi ketuhanan dan tujuan agama (maqasid al-Syariah), melalui pendekatan kontekstual, rasional, dan empiris merupakan cara penting untuk memahami teks-teks tersebut secara proporsional, dinamis dan memberi kemanfaatan.

Sebenarnya poin lain dari pemikiran Kiai Husein yang banyak memberi kemanfaatan bagi perempuan adalah pemikirannya tentang pendidikan bagi perempuan, kesehatan reproduksi, program keluarga berencana dan larangan melakukan tindak kekerasan bagi perempuan.

Dalam masalah pendidikan perempuan misalnya, ia menyebut bahwa pendidikan niscaya bagi laki-laki maupun perempuan. Sebab ayat atau hadis yang memotivasi untuk menuntut ilmu mencakup berbagai jenis kelamin. Dalam tataran yang lebih jauh, sebenarnya Islam datang memang mengangkat martabat perempuan. Dalam sebuah kesempatan ia mengutip Umar ibn Khattab:

“Kami semula di zaman Jahiliyah tidak menggap keberadaan kaum perempuan. Ketika Islam datang dan Allah Swt. menyebut mereka, kami melihat bahwa perempuan juga memiliki hak.”

Dalam kasus bolehnya suami memukul istrinya, Husein memberi catatan. Menurutnya, kekerasan dalam bentuk apa pun apalagi diatasnamakan relasi laki-laki dan perempuan adalah tidak dibenarkan. Sebab di samping juga berbahaya secara psikis juga ada beberapa dasar normatif lain yang menentangnya. Misal dalam sebuah hadis, nabi pernah bersabda:

“Tidak disebut laki-laki mulia kecuali mereka yang memuliakan perempuan. Dan tidak menghinakan mereka kecuali laki-laki hina”.

Secara lebih tegas, nabi juga bersabda:

“Sebaik-baiknya kalian adalah mereka yang baik kepada keluarganya dan aku adalah paling baiknya laki-laki kepada istirnya”.

Husein Muhammad betapa pun kontroversi dan penolakan terhadapnya tetap bisa disebut sosok yang memiliki kontribusi tidak sedikit, khususnya pengarusutamaan kajian gender dan Islam di Indonesia. Dari tangan dinginnya, lahir banyak pemikir muda yang terinspirasi dari tindak-tanduknya.

Di tengah kerasnya pertarungan wacana akademik yang ia emban selama ini, ia tak lupa menyeburkan diri dalam aspek yang paling romantis dalam Islam. Aspek itu bernama sufisme. Husein, sebagaimana bisa dilihat dari beberapa presentasi dan tulisan-tulisannya, kerap mengutip banyak bijak bestari misal pelaku sufi seperti Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, Syams al-Tibrizi, dan lain sebagainya.

Dari itu misalnya, Husein tampil sebagai kiai idola banyak orang. Ia pintar memberi hikmah-hikmah kebijaksanaan. Darinya juga ditimba nasihat-nasihat sufistik banyak tokoh dari berbagai lintas batas pemikiran. Jadilah Buya Husein seperti kita lihat hari ini: Seorang kiai romantis idola kaum perempuan.

Leave a Response