Salah satu filosof muslim yang mempunyai perhatian lebih terhadap etika Islam adalah Ibnu Miskawaih. Ibnu Miskawaih sendiri pada dasarnya adalah seorang sejarawan, tabib, ilmuwan dan sastrawan. Akan tetapi, beliau mempunyai pengetahuan luas tentang kebudayaan Romawi, Persia, India dan juga filsafat Yunani.
Beliau lahir di Ray, Persia 320 H/932 M, versi lain menyebutkan beliau lahir 325 H/937 M. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khosim Ahmad Ibn Muhammad bin Ya’kub bin Miskawaih. Tentang pendidikan formal Ibnu Miskawaih tidak begitu banyak diketahui.
Karena beliau sendiri juga tidak pernah menuliskan autobiografinya dan para penulis riwayatnya juga tidak memberikan informasi yang jelas tentang pendidikan dan perjalanan intelektual Ibnu Miskawaih. Namun, bisa diprediksi Ibnu Miskawaih juga tidak berbeda dari kebiasaan para anak yang menuntut ilmu pada masa itu.
Sebutan bapak etika Islam kepada Ibnu Miskawaih tidak lain, karena beliulah yang pertama kali mengemukakan teori etika sekaligus menulis buku tentang etika. Pemikiran-pemikiran Ibnu Miskawaih tentang etika mendapat banyak sorotan, karena sedikitnya para filosof muslim yang membahas hal tersebut.
Walaupun secara praktik, ketika sudah berkembang di dunia Islam karena di dalam Islam sendiri banyak muatan tentang akhlak. Bahkan tujuan diutusnya Nabi Saw adalah untuk meyempurnakan akhlak. Akan tetapi, Ibnu Miskawaih mecoba menaikkan taraf kajiannya tentang etika dari praktis ke teoritis filosofis, tanpa sepenuhnya meninggalkan aspek praktis.
Moral, etika atau akhlak dalam pandangan Ibnu Miskawaih adalah sikap mental yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan. Sikap mental sendiri terbagi menjadi dua yaitu yang berasal dari watak dan yang berasal dari kebiasaan dan latihan.
Mental yang berasal dari watak lebih banyak menghasilkan akhlak yang kurang terpuji, sedangkan mental yang berasal dari kebiasaan dan latihan lebih banyak menghasilkan akhlak yang terpuji. Oleh karena itulah, Ibnu Miskawaih juga sangat menekankan pentingnya pendidikan pada masa kanak-kanak, yang dalam pandangannya merupakan mata rantai antara jiwa hewan dengan jiwa manusia.
Adapun inti yang dibicarakan dalam kajian akhlak atau etika adalah tentang kebaikan (al-khair), kebahagiaan (as-sa’adah) dan keutamaan (al-fadha’il).
Kebaikan adalah suatu keadaan di mana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan. Kebaikan sendiri terbagi menjadi dua, yaitu kebaikan umum dan kebaikan khusus. Kebaikan umum merupakan kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan yang kedua inilah yang kemudian disebut dengan kebahagiaan. Oleh karena itulah, bisa dikatakan bahwa kebahagiaan itu berbeda-beda bagi tiap manusia.
Tentang kebahagiaan, setidaknya ada dua pandangan dari para filsuf Yunani yaitu Plato dan Aristoteles. Dalam hal ini, Plato menyatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Oleh karena itu, selama manusia masih berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan.
Menyikapi dua pandangan para filsuf besar tersebut, Ibnu Miskawaih mencoba untuk mengkompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu. Bagi Ibnu Miskawaih, pada diri manusia itu ada dua unsur yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya.
Kebahagiaan yang bersifat benda juga mengandung sebuah kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwa untuk mendekat kepada Tuhan. Sehingga kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna, yang juga suatu saat mampu mengantar manusia berderajat malaikat.
Dalam hal keutamaan, Ibnu Miskawaih mempunyai pendapat bahwa asal keutamaan adalah cinta kepada sesama manusia. Tanpa cinta, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Ibnu Miskawaih juga memandang bahwa sikap Uzlah (memencilkan diri dari masyarakat atau keramaian) sebagai sikap yang hanya mementingkan diri sendiri. Karena Uzlah tidak bisa mengubah masyarakat menjadi baik walaupun yang Uzlah menjadi baik.
Sebagai bapak etika Islam, Ibnu Miskawaih telah merumuskan dasar-dasar etika di dalam kitabnya Tahdzib Al-Akhlak Wa Tathir Al-A’raq. Selain kitab tersebut, masih ada beberapa kitab Ibnu Miskawaih yang juga membahas tentang pendidikan etika dan akhlak seperti Tartib Al-Sa’adah, Al-Siyar, dan lain sebagainya. Selain menulis tentang akhlak, Ibnu Miskawaih juga menulis tentang sejarah dan kedokteran sebagaimana beliau juga seorang sejawaran dan tabib atau dokter.