Di negara jauh, bocah berbahagia gara-gara ibu dan buku. Pada saat masih kecil, ia belum berpikiran bakal bertualang ke Indonesia. Kebahagiaan di rumah dan tanah asal selalu terbawa saat ia dikenali di Indonesia sebagai ahli filsafat. Sejak puluhan tahun lalu, Franz Magnis-Suseno adalah pengajar filsafat dan penulis buku-buku bertema filsafat, selain teologi.
Buku termoncer dan membikin heboh adalah ulasan pemikiran-pemikiran Karl Marx meski publik mengingat buku menguak alam-hidup di Jawa. Ia bertumbuh sebagai manusia-buku sejak dalam pengasuhan ibu.
Pada 2004, ia menulis esai berjudul “Bukuku, Surgaku”. Tulisan penting bagi kita memperingati Hari Aksara Internasional (8 September 2021) dengan ketokohan ibu. Franz Magnis-Suseno mengenang: “Saya tidak ingat buku pertama yang saya baca. Tetapi, yang saya ingat betul bahwa di rumah kami sesudah makan malam, ibu selalu membacakan buku bagi kami, anak-anaknya. Setiap malam. Selama setengah atau satu jam. Kehebatan ibu membacakan buku tiada tandingnya…. Caranya membacakan, di satu pihak tenang dan jelas, tetapi di lain pihak sedemikian rupa sehingga seluruh keterangan dari cerita yang dibacakan terkomunikasi. Ia selalu mengalami kesulitan untuk berhenti karena kami selalu mendesak supaya jangan berhenti dulu.”
Keluarga dengan ketokohan ibu membacakan buku terselenggara puluhan tahun lalu, bukan di Indonesia. Semula, Franz Magnis-Suseno datang dari Eropa ke Indonesia sebagai orang asing. Kedatangan dengan biografi membaca-menulis terbentuk sejak kecil. Ibu adalah penentu.
Pada saat ia dewasa dan menggumuli filsafat, buku dan ibu menjadi pijakan. “Ibu membacakan buku untuk kami, tanpa kecual kami sekeluarga sejak kecil menjadi pembaca yang rajin,” ingatan dari masa silam menjadi berkah dalam menapaki hidup di Indonesia. Episode bocah di rumah dan beranjak dewasa dengan bersekolah tetap gandrung buku memicu pemahaman: “membaca itu betul-betul surga bagi saya.” Ibu telah mengantar dan menemani bocah bertemu dengan buku-buku: mencipta surga sepanjang hidup.
Ibu tak cuma membacakan buku tapi panutan bagi anak-anak dalam urusan menulis meski tak selalu harus cerita, puisi, atau artikel. Nostalgia keaksaraan itu dimiliki oleh Lies Marcoes Natsir (2004). Ia mengetahui bapak sebagai pembaca buku. Ibu bukan pembaca buku bercap tekun tapi pemegang pulpen untuk menulis. Benda selalu bersama ibu.
Ingatan mengharukan ibu bersama alat tulis. Anak menjadi saksi dan mengartikan itu tanggung jawab demi keluarga. Lies Marcoes Natsir menghormati sosok ibu sering “berkebaya dengan sanggul selalu bersunting batang pulpen.” Di mata anak, ibu itu cekatan dalam menulis nasib keluarga.
Kita simak: “Agar pulpennya mudah digenggam, ia selalu melilitnya dengan kertas yang diikat karet gelang. Cara menulis ibu sangat lucu. Hurufnya besar-besar. Tekanannya begitu kuat. Oleh karena itu, jejak tulisannya selalu timbul di halaman berikutnya. Saking besarnya tulisannya, baris-baris dalam buku ibu nyaris tak berguna. Tulisannya selalu melongkap dua baris atau turun naik melabrak garis. Lebih dari itu, ibu juga bertahan dengan ejaan lamanya.”
Ibu memiliki sikap dan ketetapan untuk menulis. Pulpen dan kertas membuktikan ibu memberi pengajaran terhadap anak-anak, bukan sebagi guru formal.
Ibu itu cuma lulusan sekolah rendah. Pulpen digunakan mencatat beragam hal: belanjaan orang di toko, mencatat utang-piutang, pemesanan belanjaan, dan surat tagihan. Sekian tahun, ibu menggunakan pulpen dan kertas dalam menghasilkan nafkah untuk turut menjadikan anak-anak menikmati pendidikan tinggi.
Pada masa berbeda, pulpen sering bertengger di sanggul terus tergunakan dalam mencatat hasil panen, tabungan teman-temang pengajian, dan pelajaran agama selama mengikuti pengajian. Ibu menulis demi hidup, bukan capaian atau pameran keintelektualan.
Kita beralih mengikuti nostalgia Melani Budianta (2004). Kritikus sastra dan rajin menulis isu-isu perempuan itu mengingat ibu tak lekas pada ketetapan sebagai pembaca buku atau penulis. Sosok terbedakan dari ingatan ibu oleh Franz Magnis-Suseno dan Lies Marcoes Natsir. Ibu dalam kenangan Melani Budianta tetap berperan besar dalam pengajaran keaksaraan bagi anak-anak.
Ibu mengharukan demi buku dan anak. Melani Budianta membuka ingatan: “Suatu ketika terjadi kebakaran di rumah tetangga, yang membuka bisnis bengkel mobil. Apinya mulai menjalar ke atap kamar kakak saya, yang letaknya bersebelahan dengan dinding rumah tetangga. Ibu menarik anaknya satu per satu keluar halaman. Tetapi, ia kemudian masuk kembali unttuk mendorong lemari buku kakak keluar rumah, dibantu beberapa orang pembantu kami yang setia. Sebelum merembet jauh, api berhasil dipadamkan.
…Kami semua bernapas lega. Tetapi sampai sekarang, bayangan ibu yang mendorong lemari buku itu tidak pernah saya lupakan. Mungkin itu ungkapan cinta ibu terhadap anaknya. Tetapi pesan lain yang disampaikan, betapa berharganya buku-buku!”
Kita pun mendapat pelajaran memastikan ibu bertanggung jawab atas nasib buku. Tanggung jawab demi anak-anak mengalami hidup beradab dan terhormat berpijak kasih ibu dan buku-buku.
Tiga ibu dari masa lalu. Kita ikut mengenang dan meneladani meski mulai kebingungan berbagi cerita tentang ibu-ibu pada masa berbeda. Ibu-ibu di Indonesia masa Orde Baru masih mungkin memiliki pengalaman dengan buku-buku edisi cetak. Pada masa berbeda, buku-buku tetap ada tapi godaan-godaan terbesar memusat ke gawai.
Ibu-ibu masih berbuku tapi bergawai. Sekian pengisahan memastikan keluarga-keluarga di Indonesia menghadirkan buku di rumah dengan jumlah terbatas dan sedikit peristiwa. Konon, gawai mengubah tatanan keluarga pernah berhagia bersama buku-buku.
“Anak kecil adalah sumber kebahagiaan utama bagi kebanyakan orang Indonesia yang saya temui,” tulis S Sasaki Shiraishi dalam buku berjudul Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (1997). Ibu menjadi pusat dalam mencipta dan mengawetkan kehangatan dalam keluarga. Ibu mengarahkan kasih dan memberi kehangatan kepada anak-anak dengan busana, makanan, mainan, dan lain-lain.
Pada masa lalu, buku masuk daftar dalam misi mencipta kehangatan keluarga. Ibu sebagai pembaca buku untuk rutinitas sebelum tidur. Anak-anak dan buku makin mengesahkan sebagai sumber kebahagiaan. Berlatar lakon hidup masa Orde Baru, Sasaki Shiraisi menjelaskan: “Hierarki keluarga sejatinya ditopang dan digerakkan oleh cinta orangtua, yang secara praktis berarti cinta ibu.”
Buku memang tak gamblang dicantumkan tapi kita bisa mengandaikan pembentukan ibu-ibu menuruti ideologi Orde Baru berurusan sebagai pendidik-mula: membaca dan menulis di rumah. Ibu turut dalam pertanggungjawaban besar selain pihak sekolah.
Pada saat wabah belum punah dan hidup berselera digital, ibu-ibu mengalami perubahan peran dan dampak. Ibu bergawai seolah “kewajiban” bila mengikuti petunjuk-petunjuk pendidikan dikeluarkan pemerintah. Di rumah, anak-anak terus belajar. Gawai itu keharusan. Buku-buku pelajaran tetap ada.
Ibu bersama anak dan buku pelajaran. Buku-buku cerita mungkin ada untuk selingan atau “pelarian” setelah situasi jemu dan sebal gara-gara sekolah dari rumah. Kita menantikan cerita-cerita ketabahan para ibu menanggungkan wabah. Sikap untuk memberi kasih kepada anak-anak dengan bimbang dalam pertimbangan bermanja bersama gawai atau buku. Begitu.