Pagi itu ia tak berangkat ke madrasah seperti biasanya. Murid laki-laki ini pergi menyendiri di sebuah gubuk yang jauh dari madrasah. Ia sudah tak kuasa menahan malu di depan teman-teman dan gurunya.
Di antara teman-temannya, ia lah yang paling bebal (susah memahami pelajaran). Bertahun-tahun ia belajar sama sekali tidak menambah tingkat kecerdasannya. Ketika teman-teman seumuranya naik marhalah (tingkat) bahkan lulus, hanya ia yang masih tetap tinggal di kelas yang sama.
Namun demikian, Ibnu al-Ma’ad dalam Syadzarat al-Dzahab menerangkan, ia adalah sosok murid yang gigih. Meski sangat bebal (ba’id al-fahmi jiddan), ia memiliki semangat keilmuan yang luar biasa.
Ibnu al-Ma’ad mensifatinya dengan katsir al-ijtihad wa lam yu`ayyishu jumudu fahmihi min al-thalab; memiliki kemauan yang tinggi dan tak patah arang untuk belajar meski daya pemahamannya sangat-sangat tumpul. Bertahun-tahun mengikuti majelis gurunya dan tak pernah mengeluh sama sekali walau harus merasakan panasnya “pukulan” yang saban hari mendarat di tubuhnya disebabkan kepandirannya.
Laki-laki tersebut adalah Imam Sa’duddin al-Taftazani. Nama lengkapnya yaitu Sa’d al-Din Mas’ud bin Umar bin Abdullah, sebagaimana catatan Imam al-Suyuthi dalam Thabaqat al-Nuhat.
Berbeda dengan Ibn Hajar, dalam al-Durar al-Kaminah menyebutkan nama aslinya, yaitu Mahmud bin Umar bin Abdullah al-Taftazaniy. Berikut gelar yang disematkan kepadanya; al-Imam, al-‘Allamah, seorang pakar gramatikal dan sintaksis Arab, ahli sastra, Ma’ani, Bayan, Manthiq dan lain sebagainya.
Terbukti dengan karya-karyanya yang tersebar di belahan dunia, bahkan dikaji di pesantren-pesantren tradisional di Indonesia seperti Syarh al-Maqashid (ilmu kalam), Syarh al-‘Aqaid al-Nasafiyyah (akidah), al-Ni’am al-Sawabigh (linguistik), Tahzib al-Manthiq wa al-Kalam (mantik) dan lain sebagainya. Maka tak berlebihan jika Imam Sa’duddin Al-Taftazani dikatakan sebagai ulama beken cum prolifik dalam khazanah keislaman.
Lalu apa yang menjadikan Imam Sa’duddin menjadi begitu cerdas bahkan sundul langit? Berikut lanjutan kisah di atas yang diceritakan Ibn al-Maad dalam Syadzarat al-Dzahab.
Di tengah permenungannya atas kebebalan yang ia miliki, tetiba datanglah seorang lelaki yang samasekali tidak ia ketahui walau sekadar namanya. Lelaki itu berkata, “Berdirilah, wahai Sa’duddin. Mari ikut denganku pergi ke suatu tempat.”
“Pergi ke mana, wahai Tuan. Aku tidak sedang berkelana dan aku tidak memiliki ilmu samasekali. Lalu bagaimana muthala’ah dan belajarku bila aku ikut denganmu?” Jawab Sa’duddin. Lantas lelaki itu pergi meninggalkannya sendirian.
Tak berselang lama, lelaki itu kembali lagi menghampiri Sa’duddin dan mengulangi perkataan yang ia sampaikan kepada Sa’duddin barusan tadi. Demikian juga Sa’duddin, ia menjawab persis apa yang ia katakan kepada si lelaki tak lama tadi.
Kejadian itu berulang sampai tiga kali; si lelaki dengan perkataan yang sama, dan Sa’duddin dengan jawaban yang sama pula. Namun akhirnya, sebelum si lelaki kembali pergi, ia menegaskan kepada Sa’duddin, “Sungguh, tak pernah aku menemui orang yang sebebal kamu, wahai Sa’duddin!”
“Kau pun! Sudah berulang kali kukatakan; aku bukan pengelana.” Sahut Sa’duddin.
“Baiklah, aku hanya ingin mengatakan bahwa Rasulullah lah yang memanggilmu!” kata si lelaki.
Sa’duddin kaget bukan kepalang. Ia langsung menyusul si lelaki yang telah berjalan memunggunginya. Ia tak peduli berjalan telanjang kaki menebas panasnya gurun di siang bolong. Muzah (semacam sepatu) yang dikenakan ia tinggal begitu saja demi segera menemui Rasulullah Saw.
Hingga sampailah mereka berdua pada suatu tempat yang jauh dari madrasah Sa’duddin, di luar perbatasan negri. Di sana ia melihat Rasulullah Saw bersama para sahabat sedang menunggunya. Duhai. Betapa bahagianya hati Sa’duddin ketika melihat seorang lelaki yang semesta “tersenyum” atas kelahirannya, Rasulullah Saw, melemparkan senyum kepadanya?!
“Sudah berkali-kali utusanku memanggilmu, namun berkali-kali itu pula kamu tidak datang.” Tanya Rasulullah dengan welas asih kepada Sa’duddin.
“Ya Rasulullah, aku tidak menahu jika yang memanggilku adalah Engkau, apalagi utusanmu tidak bilang dari awal. Sementara Engkau kan lebih tahu akan buruknya pemahaman dan lemahnya daya ingatku. Buruk sangat malah. Oleh sebab itu aku ingin mengadukannya kepada Engkau.” Tukas Sa’duddin.
Kekasih Allah itu tersenyum lagi dan berkata, “Sekarang bukalah mulutmu!”
Sa’duddin segera membuka mulutnya. Bak sapi dicocok hidungnya. Ternyata Rasulullah meludahi mulut Sa’duddin dan lalu mendoakannya. Setelah agak lama dan semua usai, Rasulullah memerintahkannya kembali ke madrasah. Ia merasa di kepalanya ada semacam tanggul yang jebol tak kuat menahan tekanan air. Walhasil, Sa’duddin kembali dengan ilmu yang melimpah dan cahaya yang berpendar.
Esok harinya ia berangkat ke madrasah dan seperti biasa; teman-temannya menganggapnya tak berguna. Sampai tibalah ketika gurunya, Syekh ‘Adhud al-Din Abdurrahman al-Ijiy memberi pertanyaan kepada Sa’duddin.
Ia pun menjawabnya dengan enteng bla-bla-bla hingga membuat Syekh ‘Adhad menangis. Teman-temannya hanya mematung terdecak kagum.
Sang Syekh berkata, “Ceritakanlah kepadaku, Wahai Sa’duddin! Sekarang kau bukanlah dirimu yang dulu. (Sang Syekh berdiri) Duduklah di sini (menunjuk kursi duduk Sang Syaikh) dan ajarkanlah ilmumu kepada mereka.
Mulai hari ini, kursi ini menjadi haknya (Sa’duddin).” Sejak itulah Sa’duddin didapuk menjadi Imam dan kabar kealimannya dengan cepat menyebar ke seluruh antero.
Apa yang dapat kita teladani dari kisah Imam Sa’duddin al-Taftazaniy? Adalah kegigihan dalam belajar dan semangat keilmuan yang tinggi serta ketakzimannya kepada sang guru.
Itulah sebab yang mengantarkannya bertemu dengan Rasulullah Saw. dan mendapatkan futuh (pembuka hati dan pikiran). Cerita di atas melukiskan betapa sebuah hasil berbanding lurus dengan usaha, al-ajru qadr al-ta’ab. Dan bahwa ilmu itu mutlak milik Allah yang diberikan kepada siapa pun. Wallahu a’lam.