Telah mafhum di kalangan pengkaji tasawuf bahwa ajaran Ibnu Arabi (w. 638 H) sangat penuh dengan term-term filsafat. Beberapa kalangan menyebut sebagai tasawuf-falasafi. Tak hanya itu, tidak sedikit juga yang menganggap Ibnu Arabi sebagai pelopor lahirnya tasawuf-falsafi dalam tradisi mistik Islam.

Ajaran tasawuf-falsafi sendiri mengandaikan integrasi antara tasawuf dan filsafat secara harmonis. Sehingga membentuk ajaran baru yang khas bercorak teosofi, yakni sebentuk tasawuf yang bercorak filsafati. Artinya, filsafat mengambil bentuk dalam tubuh tasawuf yang bersifat rasional.

Salah satu anggapan mengenai ide sufisme Ibnu Arabi yang bercorak tasawuf-falsafi terletak pada ajaran wahdatul wujud. Kendati begitu, Ibnu Arabi sendiri tak pernah menyebut istilah ini.

Wahdatul wujud adalah suatu bentuk ajaran yang beranggapan bahwa Tuhan dan makluk pada dasarnya adalah satu dan tidak terpisahkan. Dalam tradisi filsafat, sistem seperti ini biasanya sangat dekat dengan filsafat monisme.

Hemat penulis, pandangan bahwa kiranya harus ada peninjauan ulang perihal sufisme Ibnu Arabi yang bercorak tasawuf-falsafi. Sebab, dalam peninjauan terhadap kajian biografi Ibnu Arabi, baik penulisan biografi awal maupun pada masa modern, riwayat hidup beliau sama sekali tidak menandakan ada unsur-unsur filsafat yang hadir dalam seluruh perjalanan hidupnya.

Tesis ini juga sekaligus untuk mematahkan hampir semua pandangan siapapun yang menganggap bahwa Ibnu Arabi adalah seorang teosof.

Salah satu sebab terpenting mengapa penyematan filsafat begitu masif kepada ajaran sufisme Ibnu Arabi adalah lantaran kurangnya penelitian yang berbasis pada kajian riwayat hidup Ibnu Arabi.

Dengan mencermati riwayat hidupnya, mau tidak mau seorang pengkaji akan masuk dalam ranah kesufian sebagai laku kesalehan yang sufi alami. Karena kesufian menurut Ibnu Arabi–dan umumnya kaum sufi–adalah lingkup terberi (baca: intuisi) yang memungkinkan mereka mendapatkan penyingkapan ketuhanan.

Selain itu, penyebab penyematan filsafat dalam sufisme Ibnu Arabi adalah karena interpretasi para pengkaji terhadap karya-karyanya cenderung menghadirkan term-term filsafat. Dengan kata lain, bahasa yang Ibnu Arabi gunakan dalam karya-karyanya sangat khas bercorak filosofis.

Perlu kita tegaskan bahwa interpretasi filosofis sangat berbeda dengan ajaran yang memang berbasis pada tradisi kefilsafatan. Interpretasi filosofis itu mirip seperti pendekatan filosofis dalam mengkaji sesuatu. Artinya, objek kajian tidak harus berkaitan dengan filsafat, hanya pendekatan dan metodologinya saja yang bercorak filosofis.

Pengkaji Ibnu Arabi boleh jadi ada pada posisi ini, yakni mendekati pemikiran sufisme Ibnu Arabi pada tataran filsafat. Sehingga seolah-olah pemikiran sufisme Ibnu Arabi yang murni berbasis mistik juga sekaligus berbasis pada filsafat.

Tentu saja cara pandang dan cara mendekati sufisme Ibnu Arabi yang seperti ini bisa berakibat fatal terhadap hasil penelitiannya. Tak hanya itu, pemikiran Ibnu Arabi bukan hanya akan dikacaukan oleh keterselubungan interpretasi filsafat, tetapi juga pemikiran sufismenya akan kehilangan keotentikannya. Dan tentu saja bukan Ibnu Arabi lagi sebagai sosok objek kajian.

Muhammad Yunus dalam Biografi Ibnu Arabi (2015), mengatakan bahwa dengan mencermati riwayat hidup Ibnu Arabi secara terperinci, penyematan sifat filsafat kepada pengalaman sang sufi menjadi bermasalah. Sifat filsafat itu tak pernah hadir dalam laku kesufian Ibnu Arabi.

Hal ini karena sifat tersebut tak pernah hadir. Maka tak mungkin mengatakan sebagai tasawuf falasafi, filsafat kesufian, filsafat takwil, atau kemungkinan filsafat lain yang bersandar dengan sifat baru.

Untuk itu, perlu kiranya menata ulang bangunan kesufian Ibnu Arabi melalui penelusuran kajian biografis. Tujuannya adalah untuk memurnikan pengalaman mistik Ibnu Arabi dari terminologi filsafat. Hal ini sebagaimana selama ini banyak pemerhati tasawuf yang memahami secara keliru khususnya pada pemikiran Ibnu Arabi sendiri.

Alexander D. Knysh dalam Ibnu Arabi in the Later Islamic Tradision (1999: 25-48) menyebut, sejauh ini ada sekitar lima belas naskah biografi Ibnu Arabi. Sebagian besar karya tersebut ditulis pada masa ketika Ibnu Arabi masih hidup. Adapun sebagian lainnya merupakan tulisan orang-orang yang pernah berjumpa dengan Ibnu Arabi.

Dari kelima belas penulis itu, hanya ada dua penulis saja yang menampakkan sikap negatif atau kebencian dengan Ibnu Arabi. Keduanya yakni al-Dhahabi (w. 748 H) dan al-Qastallani (w. 686 H).

Sementara itu penulis karya-karya Ibnu Arab antara lain Ibnu Nuqta (w. 629 H), Ibnu al-Dubaythi (w. 637 H), dan Ibnu Najjar (w. 643). Mereka lebih menekankan pada objektivitas dan menghadirkan kehidupan Ibnu Arabi secara apa adanya.

Ada beberapa hal penting dari catatan Kynsh tentang Ibnu Arab. Bahwa, hampir semua penulis biografi awal tentang riwayat Ibnu Arabi sama sekali tidak menghadirkan sosok Ibnu Arabi yang dekat dengan dunia filsafat.

Maksudnya, riwayat hidup Ibnu Arabi tampak sama sekali tidak bersentuhan dengan term-term filsafat. Hal ini baik dalam pengertian perjumpaan Ibnu Arabi dengan para filosof pada zamannya maupun ajaran-ajaran yang ia tulis langsung melalui karya-karyanya.

Pada masa modern, permulaan usaha untuk menghadirkan riwayat Ibnu Arabi sebagai seorang sufi yaitu sejak Asin Palacios (1871-1944). Ia merupakan seorang pendeta dan orientalis asal Spanyol. Asin menulis kajian dengan judul–dalam terjemahan Arabnya–“Ilm Nafs ‘inda Muhyiddin Ibnu Arabi”. Dalam bahasa Indonesia berarti, Sebuah Kajian Ilmu Jiwa dalam Pandangan Ibnu Arabi.

Hanya saja, dalam karya ini ada banyak kecacatannya. Hal ini sebagaimana tergambar dalam perkataan Asin, “Berkat jasa Ibnu Arabi, ruh Neo-Platonisme dan Kristen bisa mencerap ke dalam kehidupan dan pemikiran-pemikiran Islam”.

Kajian riwayat hidup Ibnu Arabi menurut Asin bukan malah menghadirkan hidupnya pengalaman kesufian yang memperoleh bentuknya dari kesalehan para sahabat dan Nabi. Di tangannya, kesalehan Ibnu Arabi tak lebih hanyalah batu loncatan dari kesalehan Neo-Platonisme dan Kristen untuk meresap ke dalam kehidupan Islam. Tentu saja, cara baca seperti ini malah menghancurkan kesalehan Islami yang hidup dalam pengalaman mistik Ibnu Arabi.

Pada tahun 1958, Henry Corbin, seorang pakar kajian Islam dari Prancis mencoba membenahi kesalahan Asin Palacios. Ia menulis buku berjudul Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi.

Buku ini menarik karena selain kedalaman kajian, juga hadir dengan bahasa yang mengagumkan. Buku ini kiranya cukup berhasil dalam menggabungkan antara kecenderungan ilmiah dan kecenderungan sastrawi sehingga daya pikat pemikiran Ibnu Arabi menjadi semakin menarik dan memukau.

Meski begitu, kajian riwayat hidup dalam buku ini, Henry Corbin tampak mengaburkan sufisme Ibnu Arabi. Dengan secara jelas ia membaurkan kajian filsafat kepada sang sufi ini. Lebih cacat lagi, Corbin juga mendudukkan Ibnu Arabi dalam lingkup tradisi Syi’ah.

Corbin ingin mengetengahkan satu anggapan bahwa kesalehan Ibnu Arabi adalah bagian dari tradisi Syi’ah. Tentu saja, penafsiran seperti ini terkesan agak memaksakan, karena sikap Ibnu Arabi terhadap Syi’ah sudah jelas. Dirinya mengecam dengan keras cara berpikir dan perilaku kaum Syi’ah dalam menjalankan praktik agama.

Beberapa tahun setelah meninggalnya Henry Corbin, Claude Addas merusaha membenahi alur riwayat hidup Ibnu Arabi. Ia menulis buku berjudul Quest for the Red Sulphure; The Life of Ibnu Arabi. Buku ini berusaha melacak riwayat hidup Ibnu Arabi dari sumber-sumber pokok yang mungkin dapat dicapai. Dari awal sampai akhir, mencoba merunut kejadian-kejadian yang ada dalam kehidupan Ibnu Arabi.

Apa yang Addas lakukan dalam buku ini adalah mencoba melacak riwayat hidup dan ajaran sufisme Ibnu Arabi secara apa adanya. Hasilnya menunjukkan bahwa pengalaman hidup dan mistik Ibnu Arabi betul-betul berada dalam rem tasawuf. Artinya, kesalehan sufistik Ibnu Arabi bersifat otentik dan tidak ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Ibnu Arabi akrab dengan pemikiran kefilsafatan.

Dalam beberapa literatur tentang kajian biografi Ibnu Arabi di atas kiranya dapat menjadi sedikit bukti nyata bahwa apa yang dialami oleh Ibnu Arabi bukanlah pengalaman filsafat. Semata-mata, semua hal-ihwal yang dilakukan dan diucapkannya adalah murni pengalaman kesufian yang bersumber dari praktik keagamaan para sahabat dan Nabi Muhammad.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini memang belum menyentuh pada aspek ajaran-ajaran mistik Ibnu Arabi. Karena titik fokusnya lebih pada pengkajian riwayat hidup Ibnu Arabi.

Hal-hal yang berkaitan dengan ajaran sufisme Ibnu Arabi akan disajikan pada kesampatan lain. Tentu saja bertujuan untuk makin memperkuat klaim teoritis bahwa pemikiran sufisme Ibnu Arabi secara keseluruhan bersih dari klaim-klaim filsafat.

Leave a Response