Sembilan puluh dua tahun lalu, pemuda Indonesia bersatu untuk mewujudkan kemerdekaan yang semula hanya hadir dalam mimpi atau angan-angan. Kemerdekaan yang semula masuk dalam kalimat pengandaian itu 17 tahun setelahnya berdiri tegak dengan kalimat deklarasi atau kita kenal dengan sebutan Proklamasi.

Sumpah yang diikrarkan dengan penuh kesadaran dan penjiwaan melahirkan kesungguhan dalam perjuangan. Berbangsa dan bertumpah darah satu, Indonesia, merupakan dua sumpah yang dijiwai dengan tindakan nyata. Barisan pemuda yang mewakili suku dan daerah masing-masing membawa para peserta kongres itu mengucapkan sumpah ketiga, yakni menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Dipilihnya bahasa Melayu sebagai dasar bahasa Indonesia ini bukan tanpa alasan. Ajip Rosidi dalam tulisannya berjudul Demokratisasi dan Politik Bahasa di Indonesia menduga pemilihan Bahasa Melayu sebagai dasar bahasa Indonesia karena sudah menjadi lingua franca, digunakan di seluruh wilayah Nusantara. Perdagangan internasional di wilayah Indonesia saat itu sudah menggunakan bahasa tersebut sehingga memudahkan siapa saja berkomunikasi. Bahasa Melayu juga sudah digunakan dalam percetakan buku dan pers.

Selain itu, bahasa Melayu juga tidak mengenal tingkatan sehingga mudah dipelajari dan digunakan oleh siapapun. Hal demikian juga guna memudahkan interaksi dalam masyarakat demokratis yang pada saat itu akrab dengan kalimat, sama rata sama rasa. Tidak ada yang perlu dibeda-bedakan, hatta soal bahasa.

Tidak ada perbedaan dalam berbicara dengan siapa saja dan kata khusus untuk berbincang dengan orang tertentu. Hal ini tidak terdapat dalam bahasa Jawa ataupun Sunda yang memiliki penutur lebih banyak di masa itu. Dua bahasa ini memiliki beberapa level yang digunakan pada kondisi dan situasi tertentu.

Kuatnya arus globalisasi membuat bahasa apapun mudah diterima oleh masyarakat. Terlebih bahasa Inggris yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat dunia. Bahkan bahasa tersebut dipelajari secara khusus oleh pelajar-pelajar kita.

Lebih lanjut lagi, bahasa Inggris telah menjadi salah satu syarat utama di perguruan tinggi dan dunia pekerjaan. Tanpa kemampuan yang cukup dalam berkomunikasi secara verbal dan tulis dalam bahasa tersebut, maka kita tidak bisa banyak berharap untuk kebaikan masa depan.

Persaingan ketat antarbangsa memaksa kita untuk mempelajari bahasa tersebut. Namun parahnya, kita seakan lupa dengan bahasa ibu kita. Tidak sedikit masyarakat kota berkomunikasi sehari-hari dengan menggunakan bahasa Inggris dengan koleganya, bahkan dalam lingkup keluarganya.

Bahasa Indonesia sudah tidak lagi dijadikan sebagai bahasa utama. Seolah-olah menggunakan bahasa Inggris memberikan kesan tersendiri, entah mewah, berharkat, atau terpelajar, terhadap pembaca atau pendengarnya. Alif Danya Munsyi dalam Bahasa Menunjukkan Bangsa menyebut gejala demikian dengan istilah nginggris.

Pemerintah melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengampanyekan agar mengutamakan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.

Entah karena kampanye yang belum maksimal ataupun bangsa ini yang bebal, naga-naganya gejala itu masih ada. Bahkan di kalangan masyarakat daerah sendiri, berbahasa Indonesia juga menjadi semacam nginggris sehingga bahasa daerah kian termarjinalkan.

Jika menilik ke belakang, yakni teks Sumpah Pemuda, jelas sekali disebutkan bahwa mereka mengusung bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Perlu ditekankan di sini, menjunjung bahasa persatuan, bukan bahasa yang satu. Tentu akan memberikan makna yang jauh berbeda. Bahasa persatuan itu bahasa yang menjadi pemersata, sedangkan bahasa yang satu itu hanya ada satu bahasa.

Sementara kita ketahui bersama, terdapat lebih dari 700 bahasa daerah di Indonesia. Bahasa Indonesia ini hadir di tengah keragaman itu untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang sudah sejak dulu ada sehingga muncul adagium Bhinneka Tunggal Ika yang dicetuskan Mpu Tantular. Namun para pemuda masa kini dengan tanpa merasa bersalah mengikis bahasa Indonesia dari kehidupannya. Tanpa sadar, mereka tengah menghapus persatuan bangsa Indonesia.

Kita tidak bisa membayangkan bagaimana bisa terbentuk negeri ini tanpa adanya bahasa bahasa Indonesia yang disepakati bersama. Sebab, bagaimanapun juga komunikasi menjadi hal paling utama dalam kehidupan, sementara bahasa adalah alat utama terjalinnya kegiatan tersebut.

Saat para pendahulu kita sudah memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai pemersatu tentu sudah mempertimbangkan berbagai konsekuensinya secara matang. Kita tidak lagi perlu untuk membuatnya lagi, tinggal mempertahankannya saja atau mengembangkannya, bukan malah merusaknya dengan seenaknya menggunakan bahasa asing di luar tempat yang semestinya.

Bahasa Indonesia adalah identitas kita sebagai warga dan bangsa Indonesia. Sudah semestinya hal ini menjadi warisan yang patut kita jaga sekuat tenaga dengan segala daya upaya. Salah satu upaya sederhana adalah dengan mengutamakannya, menggunakan bahasa tersebut pada kondisi yang semestinya digunakan, seperti bercakap dengan sesama warga bangsa Indonesia yang sudah berbeda bahasa daerah ataupun dalam acara resmi.

Hal terakhir ini bahkan termaktub dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Mestinya, orang yang melanggarnya mendapatkan sanksi, tetapi hingga hari ini masih banyak yang dibiarkan begitu saja.

Bangsa Indonesia mestinya bersyukur dengan adanya bahasa Indonesia karena bisa bersatu dengan cukup baik. Singapura harus mengakomodasi empat bahasa sekaligus, Filipina tidak menemukan bahasa persatuannya, India juga belum berhasil. Dengan segala kerendahan hati masyarakatnya, Indonesia bisa memiliki bahasa persatuan tanpa ada pertumpahan darah.

Oleh karena itu, penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk tetap mengutamakan bahasa Indonesia sebagai warisan kebudayaan para pendiri bangsa. Lebih dari itu, penjagaan bahasa ini sebagai bentuk menjaga persatuan yang sudah sejak dahulu terjalin di antara kita, sesama bangsa yang meminum, makan, dan sujud dari dan di tanah air yang sama.

Leave a Response