Sekitar abad ke-16, di Indonesia telah lahir karya tafsir Alquran yang ditulis oleh ulama asal Aceh, Abdur Rauf al-Sinkili. Tafsir tersebut diberi judul Turjuman al-Mustafid yang ditulis lengkap 30 juz dengan bahasa Melayu.
Dalam perkembangan selanjutnya, pada paruh abad ke 19 Syekh Nawawi al-Bantani menulis tafsir bertajuk Tafsir Marah Labid yang juga dikenal dengan Tafsir Munir. Syekh al-Nawawi merupakan ulama kelahiran Banten dan menjadi orang Jawa pertama yang menulis tafsir Alquran. Syekh al-Nawawi menulis tafsirnya saat ia berada di Makkah. Tafsir ini juga ditulis secara lengkap 30 juz, akan tetapi dengan bahasa yang berbeda, yakni bahasa Arab.
Kemudian pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, lahir penulis tafsir Alquran dari Jawa ialah seorang ulama dari Semarang, yaitu KH. Muhamad Shalih al-Samarani. Ia kerap disapa dengan KH. Shalih Darat. Beliau menulis Tafsir Fayd al-Rahman dengan bahasa Jawa. Tafsir ini merupakan karya tafsir pertama dengan berbahasa Jawa, sayangnya tafsir ini tidak lengkap 30 juz.
Tafsir ini ditulis atas permintaan salah satu murid perempuannya, yang juga merupakan salah satu pahlawan perjuangan emansipasi wanita Indonesia, yaitu Raden Ajeng Kartini.
Sebagaimana penulis singgung di atas, nama asli KH. Shalih Darat adalah Muhammad Shalih Ibnu Umar al-Samarani. Nama yang pertama (Shalih Darat) lebih dikenal masyarakat karena beliau merupakan pendiri sebuah pesantren di wilayah pesisir Semarang yang dikenal dengan daerah “Darat”.
Beliau lahir di Desa Kedung Jumbleng pada 1235 H/1820 M dan wafat pada 1321 H/1903 M, lebih tepatnya pada hari Jumat 29 Ramadhan atau 18 Desember. Ayahnya bernama Kiai Umar, merupakan teman seperjuangan pangeran Diponegoro. Seorang pahlawan kemerdekaan Indonesia yang sangat berjasa besar dalam melawan kolonialisme. Melalui ayahnya inilah tampaknya sikap anti kolonial dalam KH. Shalih Darat ditanamkan.
KH. Shalih Darat tidak hanya belajar kepada ayahnya, menginjak dewasa ia juga melalang buana ke berbagai daerah untuk nyantri ke beberapa kiai di tanah Jawa. Puncak pencarian keilmuan KH. Shalih Darat adalah ketika kepergiannya ke kota Makkah. Di sanalah ia memperdalam dan mendapat justifikasi keilmuan untuk kemudian diajarkan pada masyarakat pribumi.
KH. Shalih Darat merupakan penulis yang prolifik sehingga banyak menghasilkan karya tulis. Ada sekitar 14 karya tulis yang berhasil beliau ciptakan. Mayoritas dari semua karyanya ditulis dengan bahasa Jawa beraksara pegon. Termasuk magnum opusnya, Tafsir Fayd al-Rahman.
Tafsir ini memiliki nama lengkap Fayd al-Rahman fi Tarjamati Kalam Malik al-Dayyan.Ditulis menggunakan tulisan Arab Pegon. Tafsir ini hanya terdiri dari dua jilid.
Pada jilid pertama ada dua surat yang dibahas, yakni surat al-Fatihah dan al-Baqarah. Sementara jilid kedua membahas surat Ali Imran dan al-Nisa’.
Meski terdiri dari dua jilid, masing-masing jilid terbilang cukup tebal. Jilid pertama ada sekitar 500-an halaman. Sementara jilid yang kedua sekitar 700-an halaman. Untuk jilid pertama bisa didapat dengan cuma-cuma (gratis) karena sudah ada versi pdf yang dapat didownload di internet. Sementara jilid yang kedua masih belum bisa didapat dengan semudah jilid yang pertama.
KH. Shalih Darat dalam menafsirkan Alquran memulainya dengan menampilkan ayat yang hendak ditafsirkan dengan sesuai kebutuhan. Oleh karena itu, biasanya ia menampilkan satu ayat penuh, dua ayat, atau bahkan tidak sampai satu ayat yang penuh. Untuk membedakan dengan penafsirannya, ayat-ayat tersebut diletakkan dalam garis kotak.
Setelah itu, KH. Shalih Darat mulai menafsirkan ayat dengan menerjemahkan terlebih dahulu ke dalam bahasa Jawa. Kemudian diikuti dengan penjelasan dengan bahasanya sendiri.
Penjelasan ini bisa dikatakan sebagai penjelasan makna secara dhahiriah (tekstual). Kemudian, KH. Shalih Darat menafsirkan ayat tersebut dari sisi dalam atau makna batin ayat, yang dalam hal ini beliau sering memberikan tanda dengan redaksi “Ma’na Isyari“.
Karena dengan metode inilah kemudian banyak para peneliti yang menyimpulkan bahwa metode yang digunakan KH. Shalih Darat dalam tafsirnya ialah metode tahlili.
Tafsir ini tergolong dalam corak tafsir sufi isyari. Karena sebagaimana disinggung di atas, banyak dari penjelasan KH. Shalih Darat yang mengarah pada orientasi sufistik yang menjelaskan makna batin ayat.
Meskipun demikian, ada yang unik dari tafsir Fayd al-Rahman ini. Menurut Abdul Mustaqim, tafsir corak sufistik mayoritas didominasi dengan nalar bayani. Hal ini berbeda dengan tafsir Fayd al-Rahman yang menggunakan nalar irfani. Hal inilah yang menjadikan Tafsir Fayd al-Rahman memiliki keunikan tersendiri dari tafsir sufistik lainnya.
Sebagai contohnya, penafsiran Qs. al-Baqarah/2: 3 yang berkaitan dengan perintah melaksanakan salat. KH. Shalih Darat menafsirkan ”..artine wa yuqiimuunashalaata iku kelawan nekani sholat limang waktu syarat adabe sholat dhahir aw batinan kelawan ora cukup isharoh rukune kelawan nekani huquqe sholat khusyu’. Tawadhu’, hibah khouf lan mesti kelawan shoduq lan ikhlas ingdalem niate”.
Artinya “wa yuqiimuunashalaata ialah dengan mendirikan salat lima waktu dengan memenuhi syarat adabnya secara dhahir maupun batin dengan tidak hanya melaksanakan rukunnya semata dengan mendirikan hak-haknya halat seperti khusyu’, tawadhu’, hibah, khauf dan yang pasti dengan benar dan ikhlas dalam niatnya.”
Dengan demikian, tafsir Fayd al-Rahman ini telah menjadi mahakarya ulama Nusantara yang turut menghiasi dan memperkaya khazanah tafsir dengan keanekaragaman didalamnya.